25 Tahun Berlalu, Reformasi Gagal Terwujud, PENA 98 Beri Catatan Menohok

  • Bagikan
Pose bersama pemateri dan peserta diskusi interaktif Refleksi 25 Tahun Reformasi yang digelar aktivis PENA 98. (Foto: Ist)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Mengenang Gerakan Reformasi 1998, Persatuan Nasional Aktivis 1998 (PENA 98) menggelar diskusi interaktif Refleksi 25 Tahun Reformasi, bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo (FIB UHO) di Gedung Teater, Rabu (17 Mei 2023). Hadir ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan di UHO dalam diskusi.

Gerakan mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia yang menuntut reformasi pada 1998 silam menjadi catatan sejarah penting bangsa ini. Presiden Soeharto turun dari jabatannya saat itu, namun sebelum mundur terjadi kerusuhan besar di ibukota, korban jiwa, harta benda dan berbagai pelanggaran terjadi. Perjuangan harus bertukar dengan pengorbanan.

Ada enam agenda tuntutan reformasi, mengadili Soeharto dan kroninya, mencabut dwifungsi ABRI, menegakkan supremasi hukum, memberantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), amandemen undang-undang, serta memberikan hak otonomi kepada daerah seluas-luasnya. Lantas, apakah itu terwujud?.

Aktivis 98 di Sultra, Hartono mengatakan, momentum 25 tahun reformasi ini tidak boleh lewat begitu saja. Para aktivis wajib merefleksi, perjuangan saat itu dan tidak boleh sia-sia.

“Terimakasih kepada rektor UHO yang memfasilitasi acara ini. Refleksi 25 tahun reformasi kita selenggarakan di seluruh wilayah Indonesia, hari ini bertepatan penutupan pameran foto di sekretariat nasional PENA 98,” jelas komisaris BUMN PT. Krakatau Steel ini.

Hadir sebagai narasumber diskusi para aktivis 98 Sulawesi Tenggara yang kini berkiprah di jalur masing-masing, yakni Hidayatullah yang kini Praktisi Hukum juga Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sultra, Dekan FIB UHO Akhmad Marhadi, dan CEO media Telisik.id Nasir Idris. Dipandu moderator Gugus Suryaman dari Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sultra.

Menurut Bang Dayat (sapaan akrab Hidayatullah), reformasi saat ini gagal dilaksanakan. Semua agendanya tidak ada yang tuntas. Bahkan, kata dia, ada tuntutan yang bahkan saat ini lebih parah dari masa orde baru. Harus kembali ke settingan lama. Pemberantasan KKN misalnya, para pejabat tidak takut lagi melakukan korupsi, yang ditakuti hanya lembaga KPK, perbuatannya tidak.

“Perubahan tidak bisa dilakukan di daerah, harus di pusat. Karena semua kebijakannya masih di Jakarta. Suharto tidak pernah diadili, ABRI masih bisa berkuasa, lihat saja penjabat kepala daerah saat ini, Mendagrinya dari Polri. Hukum masih tumpul ke atas, daerah tidak mendapatkan hak otonomi secara penuh,” ujar mantan Ketua KPU Sultra ini.

Nasir Idris, sebagai praktisi media yang puluhan tahun malang melintang, tidak melihat perubahan yang signifikan pasca reformasi. Bahkan pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Media besar masih dikuasai politisi peninggalan orde baru. Di lain sisi, media kecil seringkali dijerat undang-undang ITE.

“Gerakan-gerakan perubahan di zaman ini, ada di tangan teman-teman mahasiswa. Sosial media menjadi alat yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Namun ada hal fundamental yang hilang, budaya baca dan diskusi di kalangan mahasiswa. Ini yang harus dibenahi jika menginginkan perubahan,” ucap Nasir Idris yang pernah aktif di pers kampus.

Akhmad Marhadi sebagai dekan di UHO mengaku, pihak kampus memberikan kebebasan kepada mahasiswa menyuarakan pendapat sebagai agent of change. Dia justru meminta mahasiswa mengawal agenda reformasi secara bersama. Meminta arahan dari para senior aktivis yang masih peduli dengan isu isu sosial.

“Kita berharap jangan ada jarak antar generasi, ruang diskusi antara mahasiswa dan para aktivis senior sering dilakukan. Gedung teater FIB ini bisa menjadi sarananya. Silahkan demo isu sosial, kami dukung. Tapi jangan rumah sendiri. Ini tempat berproses. Kalau mau demostrasi, harus berisi, riset dulu literatur. Diskusi dulu dengan ahli, jangan langsung turun ke jalan tapi tidak paham,” kata pria yang karib dengan sapaan Adji Nipo ini.

Para mahasiswa yang terlibat diskusi mempertanyakan berbagai hal, salah satunya Sukma dari jurusam Antropologi Sosial angkatan 2020 FIB.

Para mahasiswa yang terlibat diskusi mempertanyakan berbagai hal, salah satunya Sukma dari jurusam Antropologi Sosial angkatan 2020 FIB. Dia masih awan dengan peran masyarakat dan publik terhadap reformasi itu sendiri.

Para narasumber bersepakat, reformasi harus kembali ke kampus. Mengawal reformasi memang tanggungjawab bersama, mahasiswa adalah motor penggerak yang paling diandalkan saat ini. Tentu mesti dilakukan dengan cara millenial, berkolaborasi dengan berbagai pihak yang peduli pada perubahan sosial di negeri ini.

Laporan: Hasrul Tamrin

  • Bagikan