5 Miskonsepsi Terkait Kurikulum Merdeka

  • Bagikan
Ilustrasi Kemendikbud Ristek

SULTRAKINI.COM: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) meluncurkan Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar pada Merdeka Belajar Episode ke-15 lalu. Kurikulum Merdeka ini ditujukan untuk mengatasi krisis pembelajaran yang terjadi salah satunya akibat dampak dari pandemi. Belakangan program ini mulai muncul miskonsepsi terkait Implementasi Kurikulum Merdeka sehingga perlu adanya pelurusan terhadap kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat.

Nah berikut 5 miskonsepsi yang harus diluruskan dalam implementasi Kurikulum Merdeka dilansir dari akun IG Direktorat SMP Kemendikbudristek, Kamis (4 Agustus 2022):

  1. Ganti kurikulum adalah tujuan

Miskonsepsi yang pertama adalah “ganti kurikulum merupakan tujuan”. Padahal yang ingin ditekankan di sini adalah bagaimana melihat Kurikulum Merdeka ini sebagai alat untuk mencapai tujuan pemulihan pembelajaran.

Apabila kita memandang ganti kurikulum sebagai tujuan maka hal yang terjadi adalah kita akan disibukkan dalam urusan administratif seperti ganti istilah atau ganti format dokumen. Jadi, jangan memandang ganti kurikulum sebagai tujuan utama.

  1. Terdapat penerapan Kurikulum Merdeka yang benar atau salah secara absolut

Banyak yang memiliki persepsi bahwa terdapat penerapan Kurikulum Merdeka yang benar ataupun salah secara absolut karena setiap satuan pendidikan mempunyai karakteristik berbeda, tentunya Kurikulum Merdeka yang diterapkan di sebuah sekolah akan berbeda dengan sekolah lainnya. Hal ini menyebabkan benar atau salahnya penerapan kurikulum bukanlah absolut, melainkan kontekstual.

Kriteria utama dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah bagaimana implementasi yang dilakukan bisa menstimulasi tumbuh kembang karakter dan juga kompetensi peserta didik. Guru menjadi salah satu elemen yang dapat mengetahui keberhasilan dari implementasi Kurikulum Merdeka yang telah dilakukan.

  1. Harus menunggu pelatihan dari pusat

Dalam implementasi Kurikulum Merdeka masih banyak yang mengira harus menunggu pelatihan dari pusat terlebih dulu untuk bisa menerapkan Kurikulum Merdeka. Kemendikbud Ristek percaya satuan pendidikan dan juga guru bisa mengambil inisiatif untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri.

Peran Kemendikbud Ristek dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah menyediakan perangkat-perangkat pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru dan sekolah secara mandiri untuk meningkatkan kapasitas di masing-masing konteks. Jadi, tidak ada pelatihan yang seragam untuk peningkatan kapasitas. Semuanya harus mencoba untuk memahami dan menerjemahkan secara mandiri untuk konteksnya masing-masing.

  1. Proses instan

Miskonsepsi selanjutnya adalah dalam proses belajar mengajar mengimplementasikan Kurikulum Merdeka ini seolah-olah bisa dilakukan secara instan. Nyatanya tidak ada proses belajar instan, terlebih lagi untuk hal yang sekompleks penerapan kurikulum baru untuk mengubah cara kita mengajar di dalam kelas.

Jadi, implementasi Kurikulum Merdeka pasti membutuhkan proses. Akan ada maju-mundur ataupun turun-naiknya. Hal yang terpenting adalah para guru dan juga sekolah tidak pernah berhenti berproses, serta terus merefleksikan diri untuk memperbaiki proses yang telah dijalankan.

  1. Hanya bisa diimplementasikan di sekolah dengan fasilitas lengkap

Miskonsepsi yang terakhir adalah seolah-olah Kurikulum Merdeka hanya dapat diimplementasikan pada sekolah yang memiliki fasilitas lengkap. Hal ini keliru karena Kurikulum Merdeka fleksibel sehingga bisa dioperasionalkan menjadi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan di sekolah mana pun, termasuk sekolah dengan fasilitas minim.

Jadi, semua sekolah bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka tanpa perlu memikirkan apakah fasilitas yang ada sudah memadai atau belum. Hal yang terpenting adalah kesiapan dan juga dukungan seluruh warga sekolah dalam penerapan Kurikulum Merdeka. (C)

Laporan: Wa Ode Rezki Nurdianti
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan