Abdi Negara Harus Monokrom, Tidak Boleh Warna-Warni

  • Bagikan

SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Salah satu kewajiban para abdi negara adalah bekerja profesional dan tidak berpihak ke salah satu golongan. Mengabdi pada negara dan masyarakat menjadi sumpah mereka.

Dalam konteks ini, menurut Ketua Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Prof Dr Zudan Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH, profesionalitas dan netralitas ASN adalah seperti uang logam dengan dua sisi. Fokus bekerja profesional adalah pada pencapaian kinerja yang sudah dituangkan dalam program daerah yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD.)

Netral berarti tidak masuk dalam percaturan politik untuk dukung mendukung pasangan calon dalam kampanye ataupun kegiatan pasangan calon.

Dukungan dari anggota korpri kepada pasangan calon cukup diberikan saat di bilik suara, tidak lebih. “Untuk menjaga agar karier dan kehidupan anggota korpri terjaga secara paripurna saya instruksikan agar seluruh anggota korpri menghayati dan mereaktualisasikan Panca Prasetya Korpri dalam setiap gerak langkahnya,” kata Zudan.

Zudan mengibaratkan, Korpri adalah mesin penggerak pembangunan. Tanpa ASN aktivitas negara bisa berhenti, dan lumpuh. Bisa dibayangkan akibatnya dalam suatu daerah, gubernur petahana maju kembali mencalonkan diri. Kemudian di saat bersamaan sekretaris daerah setempat juga ikut maju mencalonkan diri. Tak pelak aktivitas pemerintah daerah bisa sangat terganggu.

“Visi dan misi pemerintahan tidak tercapai, ASN menjadi terkotak-kotak dan tidak fokus menjalankan tugas melayani masyarakat,” katanya.Soal jabatan dan proses meritokrasi, Zudan menegaskan, para ASN yang profesional tidak perlu waswas. Sebab, karier bukan tergantung oleh atasan, tetapi sesuai dengan tingkat kompetensi, kualifikasi dan kinerja yang tinggi.

“Seluruh anggota Korpri saya minta untuk kembali menghayati dan melakukan reaktualisasi Panca Prasetya Korpri yang diwujudkan melalui kerja-kerja profesional yang penuh inovasi, integritas dan semangat pantang menyerah,” kata Zudan.

Netralitas politik sebenarnya sudah menjadi bagian kode etik bagi ASN. Itu ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Keberpihakan PNS pun dapat diberikan sanksi tegas. Mulai dari teguran keras, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemecatan. Sanksi ini secara rigid diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Dalam PP 53/2010 itu juga telah diatur seluruh larangan bagi PNS untuk menjaga netralitasnya. Larangan tersebut mulai dari ikut serta dalam penyelenggaraan kampanye, mengerahkan PNS di lingkungan kerjanya, hingga sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.

PNS harus monokrom

Satu hal yang pasti, abdi negara harus monokrom, tidak boleh ‘berwarna’ apalagi ‘warna-warni’ karena bertentangan dengan semangat Korpri ‘baru’, yaitu profesional, netral dan sejahtera. Tetapi, menjaga netralitas pelayan masyarakat ternyata tak mudah di momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017.

Menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi, politisasi kaum birokrat oleh petahana yang kembali maju dalam Pilkada masih acap terjadi. Calon penantang memanfaatkan sentimen anti petahana atau kedekatan identitas juga tak jarang terjadi.

“Temuan pelanggaran netralitas PNS pada tahun 2015 berjumlah puluhan. Walau laporan yang masuk per November 2016 ini berkurang setengahnya, jumlah ASN yang terungkap ini diyakini baru sebagian kecil,” kata Sofian Effendi di Jakarta, kembali dilansir Korpri.id, Minggu (18/12/2016).

Kenapa ASN harus netral? Bukankah ASN memiliki hak politika sebagai warga negara? Pertanyaan ini pun dijawab oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Asman Abnur.

Asman secara gamblang menjelaskan, keterlibatan PNS dalam politik praktis mengakibatkan mereka tak fokus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik.

Menteri PANRB ini secara tegas menyatakan, tugas utama seorang ASN adalah melayani publik dengan profesional.

“Apabila ASN terlibat politik praktis, dikhawatirkan akan mengganggu pelayanan publik. Sebab ASN lebih disibukkan dengan urusan politik,” kata Menteri Asman Abnur.

Lebih dari itu, dengan berpolitik praktis akan membuat pegawai negeri akan terkotak-kotak untuk kepentingan kelompok tertentu. Walhasil, pelayanan ASN tidak akan maksimal.

Prerogatif kepala daerah

Aturannya itu sudah ada, dan jelas sanksinya. Tapi kok masih banyak ASN yang nekad dan bandel? Menurut pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, ada sejumlah alasan sehingga ASN terbetot arus memenangkan salah satu kandidat.

Pertama, perihal bargaining position ASN pasca pencoblosan. “Hal ini sulit dibendung karena memang terkadang ada oknum-oknum PNS dilibatkan oleh pejabat tertentu atau melibatkan diri, dengan harapan mendapatkan jabatan strategis usai pemilihan nantinya,” papar Firdaus pada suatu kesempatan.

Makanya, dia beranggapan, masih sangat sulit untuk menjaga netralitas PNS dalam perhelatan politik lima tahunan tersebut. Sebab, setiap PNS pun dinilai punya kepentingan tersendiri untuk karir pemerintahannya ke depan.

Konsekuensinya, kata Firdaus, beberapa PNS mesti jeli melihat peluang kepada siapa dia menyerahkan dukungannya kelak. “Karena kalau salah, bisa saja dia (PNS) di-rolling dari jabatannya dan dilempar ke jabatan yang tidak menguntungkan. Begitu pun sebaliknya,” ujarnya.

Selain itu, dengan majunya incumbent, secara otomatis membuat beberapa PNS ikut memenangkan ‘bos’-nya kembali. Meski, dikatakan Firdaus, hal tersebut akan dipoles dengan berbagai nuansa yang tidak secara terang-terangan mengampanyekan salah satu kandidat.

“Bahkan bisa saja incumbent sudah lama memainkan PNS dalam bentuk program-program dan itu tidak dapat diingkari. Peluang incumbent itu besar, karena memiliki simpul-simpul di PNS, yang mana itu pun berjejaring. Misalnya, safari ramadan atau bantuan dari Pemda, tapi sebetulnya itu pencitraan bagi pemimpinnya,” jelasnya.

Dia cukup berharap, PNS tidak dipolitisasi atau dimobilisasi oleh salah satu kandidat, untuk menggiring ke suatu keputusan politik tertentu. Meski, Firdaus menganggap, hal itu begitu sulit untuk dilakukan.

Firdaus pun kembali mengingatkan, PNS mesti patuh terhadap UU ASN yang melarang untuk ikut dalam berpolitik praktis. “Begitu pun dengan UU Pilkada. ASN itu tidak boleh terlibat, dan perlu diketahui ketika itu terjadi, maka hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran,” terangnya.

Di sisi lain, lanjutnya, yang membuat PNS ikut dalam berpolitik, lantaran sistem pemerintahan yang ada saat ini. Firdaus menjelaskan, posisi seorang PNS di sebuah pemerintahan, ditentukan oleh hak prerogatif kepala daerah yang pada saat itu memimpin.


(Kemenpar RI)

  • Bagikan