Ada Mafia Tanah pada Lahan Milik Warga Korumba Kendari ?

  • Bagikan
Kuasa hukum warga, Faisal Ahmad SH, saat melakukan konfrensi pers bersama rekan-rekan media, (Foto Ifal Chandra/SULTRAKINI.COM)
Kuasa hukum warga, Faisal Ahmad SH, saat melakukan konfrensi pers bersama rekan-rekan media, (Foto Ifal Chandra/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Perseteruan lahan seluas kurang lebih 24 Hektar antara Warga jalan Buburanda, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari dengan pihak Koperasi Perikanan Perempangan Soananto (Kopperson) rupanya masih alot.

Pasalnya, Menurut salah seorang pemilik lahan, Kadar Siantang, bahwa ada mafia tanah dalam sengketah tersebut.

Selain itu, menurutnya, pihak Kopperson sendiri sudah tidak memiliki andil dalam lahan tersebut, usai Hak Guna Usaha (HGU) yang digunakan untuk pengelolaan lahan empang itu telah dicabut oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Pada tahun 1999, setelah adanya SK Gubernur Sultra untuk digunakan selama 15 tahun.

“Jadi awalnya itu kan mereka ini para pengurus Kopperson mengajukan ke Dinas Perikanan seluas 25 Hektar, kemudian mereka bermohon untuk dikeluarkan SK Gubernur, dan di BPN disitu keluarlah HGU nya, namun sampai habis masa berlakunya itu tidak pernah ada usaha, kecuali usaha empang milik salah satu pengurus kopperson pak Wongko,” ungkap Kadar saat ditemui SultraKini.com, Jumat (30/8/2018).

“Saat itu pak Wongko dia tarik teman-temannya dan membentuk Kopperson dimana saat itu Lasipala sebagai Kepala Koperson, H Liani Hatta sebagai Sekretaris dan Wongko selaku bendaharanya, kemudian mereka menggunakan lahan Wongko untuk usaha empang peliharaan ikan bandeng yang disetujui Dinas Perikanan,” tambahnya.

“Intinya Kopperson itu kantornya tidak jelas, tidak pernah bayar pajak ke negara, tidak pernah perlihatkan laporan pertanggung jawabannya. Sehingga dari situlah saya melihat bahwa Kopperaon ini ada hanya untuk akal-akalan mereka,” tambahnya lagi.

Sementara itu, hal yang sama dilontarkan Faisal Ahmad selaku Kuasa Hukum warga setempat, dijelaskannya bahwa pemohon eksekusi tersebut berawal dari putusan tahun 1993 dimana salah satu poinnya yakni mengacu pada berita acara yang tidak bisa menetapkan dilakukannya eksekusi pada lahan tersebut.

“Dimana saat itu berita acaranya tidak bisa dinyatakan eksekusi, karena salah satu acuannya yakni tidak dapat diletakan eksekusi karena alasan ada kurang lebih ratusan warga yang memiliki rumah dan menguasai lahan, tapi tidak ikut tergugat kemudian pihak Kopperson bersama BPN saat itu hadir untuk menentukan batasnya, namun Kopperson tidak bisa menentukan batas lahannya,” ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, dalam SK tersebut juga terdapat hal yang mengganjal, dimana tertera HGU tersebut berlaku selama 15 tahun, namun dinyatakan bahwa pemberian HGU itu dilakukan mulai 1974 hingga 1999.

“Setelah HGU berakhir, seharusnya dilakukan perpanjangan,tapi perpanjangan itu dapat dilakukan  dengan dua syarat utama, yakni lahannya masih dikuasai dan masih diusahakan. Tapi faktanya, lahan itu tidak pernah dikuasai dan tidak pernah ada upaya Kopperson untuk mengelola lahan ini sebagaimana izinnya yakni perempangan. Justru yang mengelolanya adalah warga yang mendiami lahan tersebut,” kata Faisal.

“Jika kita lebih detail dan cermat melihatnya, pada proses gugatan, badan hukum yang mengajukan gugatan yakni badan usaha koperasi yang didirikan pada tahun 1970 atau 1971, sedangkan pada saat permintaan eksekusi, yang mengajukan diri sebagai pemohon adalah badan hukum pendirian tahun 2016,” jelasnya.

Faisal juga menambahkan, bahwa Kopperson tersebut memiliki dua badan hukum berbeda dengan nama yang identik, tapi pihak pengadilan salah menilai itu. Dimana dalam Akta yang diajukan merupakan pendirian bukan akta perubahan pengurus koperasi yang menunjuk para pemohon ini sebagai pengurus baru. Para pemohon ini, seolah-olah adalah pemegang HGU yang mengajukan gugatan pada 1993 silam, padahal hal itu berbeda.

Sedangkan soal sertifkat yang dimiliki masyarakat, Faisal menjelaskan, bahwa setiap sertifikat pasti memilih buku tanah dengan rekam pencatatannya, entah itu pembebanan seperti hak guna, tanggungan, atau terjadi proses penyitaan. Sita eksekusi itulah yang seharusnya menjadi dasar untuk dicatatkan di BPN, tetapi karena tidak berhasil diletakkan sita eksekusinya sehingga terbitlah sertifikat tersebut.

“langkah upaya hukum yang akan dilakukan pihak warga yang mendiami lahan tersebut yakni akan melakukan peninjauan lahan kembali kepada warga yang memiliki sertifikat berdasarkan akta jual beli. Warga juga akan melakukan perlawanan jika eksekusi pada lahan tersebut dilaksanakan,” tutupnya.

Laporan: Ifal Chandra

Editor: Habiruddin Daeng

  • Bagikan