Ahli Hukum: Made Wastawa Tidak Bersalah

  • Bagikan
Made Wastawa. (Dok.SULTRAKINI.COM)
Made Wastawa. (Dok.SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Kasus dugaan penistaan agama oleh seorang Anggota DPRD Kabupaten Muna Barat, Made Wastawa mendapat perhatian khusus dari akademisi hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Terlebih Made Wastawa dijadwalkan menghadiri undangan klarifikasi dari Sat Reskrim Polres Muna pada Senin, 23 April 2018.

Dosen Hukum Pidana UMK, Abdul Jabar Rahim misalnya. Dia berpandangan kasus tersebut tak meski sampai ke meja kepolisian. Seharusnya kata dia, konstruksi komunikasinya dianalisa terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Sebab, secara substantif ia melihat bahwa unggahan halaman Facebook Jokowi Untuk Indonesia hanya berkaitan dengan budaya, tidaklah menyinggung persoalan agama Islam.

“Secara filsafat bahwa agama dan budaya sangatlah jauh relevansinya, ketika kedudukannya disamakan maka akan terlihat kualitas manusianya sangat keliru dalam menafsirkan ilmu,” ujar Jabar Rahim dalam rilisnya diterima SultraKini.Com, Minggu (22/4/2018).

Menurut ahli hukum ini, masih banyak masyarakat belum memahami secara memadai terkait budaya Arab dalam hal penggunaan busana cadar. Kebanyakan orang saat ini memahami konteks agama dan budaya hanya separuh ilmu saja sehingga kasus ini dianggap sebagai pelanggaran hukum menurut keyakinan.

“Di Negara Mesir, menurut anggota Parlemen Mesir Amma Nosseir mengungkapkan bahwa cadar bukan merupakan tradisi Islam, melainkan merupakan tardisi Arab bangsa Yahudi sebelum Islam masuk sebagai agama,” tambahnya.

Menurut Dosen lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini, penggunaan cadar sebagai hijab merupakan perpaduan tradisi Arab dan Agama. Ia juga berpendapat, penggunaan hijab harus dilihat konteks dan konsep model pakaian tersebut yang mana benar-benar ajaran di dalam Al Quran begitu pula sebaliknya. Konteks ini kata dia, perlu dipahami oleh umat Islam Indonesia, untuk dapat membedakan budaya Arab dan syariat Islam.

“Memang demikian kita melihat secara objektif dari konten foto yang diunggah oleh “Jokowi Untuk Indonesia” sifat dan arahnya merupakan unsur sara, namun harus dilihat secara subjektifnya bahwa postingan tersebut bukan perbuatan pidana atau peristiwa pidana menurut UU ITE yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Karena konten foto tersebut tidak menyebut agama Islam atau pakaian Islam dan penggunaan cadar bukan diperuntukan khusus Islam, namun bangsa Arab pada umumnya juga menggunakan cadar sebagai simbol tradisi Arab, bahkan memang jauh sebelum Islam turun ke bumi, pakaian cadar merupakan pakaian tradisi Arab bangsa Yahudi,” ucapnya.

Sebagai orang yang sering dimintai keterangannya sebagai Ahli dalam kasus pidana, dia mengatakan, dalam Surat Al-Ahzab Ayat (59) secara substansi hukum Islam menyampaikan suatu perintah agar kaum muslim berhijab untuk menutupi aurat yang sifatnya dapat terganggu dari berbagai godaan manusia. Dalam surat Al-Ahzab Ayat (59) tersebut, lanjutnya, tidak menyatakan penggunaan hijab harus menggunakan cadar sehingga perintahnya adalah hijab dalam arti luas, yakni segala macam pakaian yang dapat menutupi aurat.

Sehubungan dengan unggahan tersebut dengan unsur UU ITE Pasal 28 ayat (2) dan/atau Pasal 45 ayat (2), perlu adanya kajian khusus mengenai asas-asas penggunaan pakaian cadar itu adalah milik agama Islam sehingga unsur-unsur pidananya dapat terpenuhi.

Namun demikian konten foto yang dibagikan tersebut tidak memenuhi unsur penistaan dalam Pasal 156 KUHP dan UU ITE Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) sehingga hal tersebut bukan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Karena, sarana hukum untuk menjangkau unsur-unsur tersebut belum memadai, sebab belum ada regulasi hukum mengenai pakaian cadar merupakan hak milik khusus agama Islam. Perlu dipahamai bahwa untuk terpenuhinya unsur-unsur tersebut, haruslah terbentuk konstruksi hukum sebagai dasar hukum.

“Saya menegaskan, tujuan Made Wastawa membagikan postingan tersebut tidak termaknai dengan sifat unsur-unsur sengaja untuk mengkerdilkan salah satu agama di Indonesia. Tetapi, konten gambar yangg dibagikan untuk membandingkan antara budaya Arab bangsa Yahudi dan budaya nusantara, tidak ada maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan di lingkungan masyarakat,” terangnya.

Ditambahkannya, dalam kajian kriminologi hukum, sifat kejahatan harus terwujud menurut istilah Actus Reus (kejahatan yang dilakukan) dan Mens Rea (Sikap batin pelaku saat melakukan kajahatan). Istilah ini merupakan perwujudan sebuah unsur-unsur pidana pada umumnya untuk mengukur kualitas kejahatan dalam pembentukan pidana.

“Saya berharap, istilah ini harus sering digunakan dalam pelaksanaan pembentukan pidana dalam proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, tujuaannya demi keadilan dan kepastian hukum serta tercapainya wibawa hukum yang bertabat,” katanya.

  • Bagikan