Analisis Yuridis Eksistensi Hukuman Kebiri Kimia dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

  • Bagikan
Asrandi
Asrandi

Oleh: Asrandi (Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo)

Kasus pelanggaran hak anak dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komisi  Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan Kasus pengaduan yang masuk di KPAI, tahun 2015 berjumlah 4.309 kasus, tahun 2016 mencapai 4.622 kasus, tahun 2017 berjumlah 4.579 kasus dan tahun 2018 meningkat sebanyak 4.885 kasus.

Pelanggaran hak anak di tahun 2018, KPAI mendapati kasus anak berhadapan dengan hukum (yang disingkat ABH) masih menduduki urutan pertama yaitu sebanyak 1.434 kasus, anak yang berhadapan dengan hukum didominasi kasus kekerasan seksual. Di mana pada tahun 2019 saat ini isu kekerasan seksual kembali menjadi perhatian pasca putusan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap Terpidana pemerkosa sembilan anak atas nama Muh. Aris Bin. Dalam amar putusannya menjatuhkan pidana tambahan
berupa kebiri kimia, yang pada akhirnya menjadi isu hukum nasional yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

Oleh sebab itu, dalam penulisan ini, penulis berupaya untuk merefleksi ulang eksistensi sanksi kebiri kimia melalui analisis yuridis khususnya dalam UU No. 17 Tahun 2016, yang diantaranya sebagai berikut: Rasio Legis Sanksi Kebiri Kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016. Secara komprehensif ratio legis diregulasinya sanksi kebiri kimia yakni berangkat dari amanat konstitusi Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 yang selanjutnya menjadi konsiderans huruf a UU No. 17 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, artinya adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak yang dijamin dalam konstitusi, lebih lanjut secara yuridis dalam konsiderans huruf c UU No. 17 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang telah ada belum memberikan efek jera, dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Koherensi sanksi tindakan kebiri kimia dengan prosedur pembentukan PERPU No. 1 Tahun 2016, sebagai kegentingan yang memaksa.Secara yuridis eksistensi sanksi kebiri kimia dimulai pada saat berlakunya Perpu
No. 1 Tahun 2016, yang menempatkan posisi sanksi kebiri kimia sebagai upaya penghukuman yang lahir akibat andanya kegentingan yang memaksa. Secara formal, syarat lahirnya Perpu adalah adanya kegentingan yang memaksa. Mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sendiri, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tiga parameter.

Pertama, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Jikalau menganalisis undang-undang perlindungan anak yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Perpu No. 1 Tahun 2016, sebagaimana yang telah di ubah menjadi UU No. 17 Tahun 2016. Maka baik rumusan pasal terkait klasifikasi perbuatan kekerasan seksual anak sebagaimana
yang di atur dalam pasal 76D UU No. 17 Tahun 2016, maupun jenis-jenis pelaku beserta sanksi pidananya baik minimum dan maksimumnya sebagaimana yang di atur dalam pasal 81 Ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 17 Tahun 2016 terhadap pelaku kekerasan seksual anak, sesungguhnya tidak jauh berbeda dan telah secara eksplisit di atur dalam Undang-UU No. 23 Tahun 2002 maupun UU No. 35 Tahun 2014. Sehingga urgensi terhadap adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak, untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang terhadap pelaku kekerasan seksual anak, sebagaimana yang didalilkan dalam pembentukan Perpu No. 1 Tahun 2016 menurut hemat penulis tidaklah terpenuhi. Sebab penyelesaian secara hukum berdasarkan undang-undang terhadap pelaku kekerasan seksual anak, telah ada dan masih berlaku yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Berdasarkan tidak terpenuhinya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. maka secara sistematis kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai sebagaimana yang didalilkan dalam poin kedua sebagai syarat diterbitkannya Perpu, harus dinyatakan tidak terpenuhi.

Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dengan tidak terpenuhinya poin ke satu dan kedua, maka menurut hemat penulis poin ke tiga pada intinya menyatakan adanya ketidakpastian hukum, tidak dapat dijadikan pertimbangan atau gugur dengan sendirinya. Sebab tidak ada indikasi terjadi kekosongan hukum, sehingga ketidakpastian hukum sebagaimana yang didalilkan dalam poin ke tiga ini tidak terpenuhi.

Dengan demikian Menurut penulis Perpu No. 1 Tahun 2016 khususnya peregulasian sanksi kebiri kimia adalah keputusan yang bersifat terburu-buru dan prematur yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebab Dalam menerbitkan Perppu, seharusnya pemerintah berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2016, tidak ada kebutuhan mendesak, apalagi kekosongan hukum. Sebab, masalah kejahatan seksual telah diakomodir dalam UU No. 23 Tahun 2002 maupun UU
Nomor 35 Tahun 2014. Persoalan masih maraknya kekerasan seksual terhadap anak, menurut penulis harus dari aspek penegakkannya, jika aturannya telah ada dan jelas, tahap selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah proses penegakkannya.

Sebab menurut penulis akar permasalahan dari lemah dan atau tidak efektifnya aturan perundang-undangan yang telah ada dalam menghadapi perilaku kekerasan seksual anak, sebagaimana yang termuat dalam UU No. 35 Tahun 2014, dan UU No. 23 Tahun 2002 serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya terkait kesusilaan, Sesungguhnya berasal dari lemahnya penegakkan hukum atau aturan perundang-undangan yang telah ada, sebab jikalau aturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kesusilaan atau kekerasan seksual yang telah ada dimaksimalkan dalam bentuk penegakkan hukum, maka perilaku kekerasan seksual dapat dicegah atau diturunkan, sebagai contoh apabila Undang-Undang pornografi yang banyak mengatur terkait penyebarluasan perilaku yang melanggar norma-norma kesusilaan dalam masyarakat, apabila dalam penegakkan undang-undang pornografi tersebut dilakukan secara
maksimal maka perilaku yang melanggar norma kesusilaan yang menjadi asal usul lahirnya perilaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dicegah dan atau di minimalisir, serta mampu memaksimalkan sanksi maksimum dalam peraturan perundang- undangan khususnya Undang-Undang Perlindungan anak. Sehingga sekali lagi tidaklah tepat apabila menyatakan bahwa telah terjadi kegentingan yang memaksa terhadap produk hukum Indonesia dalam menghadapi kekerasan seksual sebagaimana yang
dinisbatkan dalam perumusan sanksi kebiri kimia. Sebab Hukum positif Indonesia sendiri telah memiliki aturan perundang-undangan yang responsif dalam merespons kekerasan seksual terhadap anak, namun memiliki kendala dalam pengakkannya.Analisis Prosedur Penerapan Sanksi Tindakan Kebiri Kimia Secara Parsial dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016

Jikalau menelaah lebih dalam melalui analisis yuridis dari prosedur pelaksanaan kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 terlihat jelas adanya kendala yang mengakibatkan berbagai bentuk ketidakpastian baik dalam hal ketidakpastian hukum maupun ketidakpastian secara medis. Sebab pengaturan pelaksanaan kebiri kimia
dalam UU No. 17 tahun 2016, tidak mengatur secara komprehensif terkait pelaksanaan kebiri kimia secara medis, seperti siapa yang menjadi eksekutor ?, atau tindakan-tindakan medis seperti apa yang harus dilakukan dalam penerapan kebiri kimia ?, pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal-hal yang harus terpenuhi dalam pelaksanaan kebiri kimia. terlebih lagi jika menelaah berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait, maka adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan kebiri kimia dapat dibuktikan dengan tidak adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut terkait pelaksanaan dari UU No. 17 tahun 2016 sebagaimana esensi dari peraturan pemerintah adalah peraturan pelaksana dari undang-undang. oleh karena itu segala bentuk ketidakpastian yang terjadi dalam prosedur
pelaksanaan hukuman kebiri kimia, adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap salah satu tujuan hukum yakni adanya kepastian hukum.

Kemudian jikalau melihat salah satu substansi Pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2016, terkait pelaksanaan kebiri kimia, yakni Pasal 81A ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi”. Menurut menurut hemat penulis melakukan rehabilitasi kepada pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri adalah suatu bentuk kemunduran terhadap tujuan dari rehabilitasi, terlebih lagi apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 23 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya.

Keseluruhan interpretasi dari ketentuan rehabilitasi tersebut merupakan upaya memperbaiki pelaku ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima komunitasnya dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Sebab jikalau rehabilitasi dilakukan terhadap seseorang pelaku kekerasan seksual anak yang telah dikebiri kimia, maka dia akan dilatih atau dibina tentang tata cara  mengengendalikan jiwa dan atau hasrat seksualnya dalam keadaan hormon testosteron pada organ reproduksi yang tidak normal atau rendah. Sehingga mengakibatkan pelaku atau pasien tidak terlatih atau terbina dalam mengengendalikan jiwa dan atau hasrat seksualnya dalam keadaan hormon testosteron yang normal. Sehingga pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya sebab pelaku tidak pernah dibina mengendalikan mentalnya dalam kondisi normal seutuhnya atau tampa adanya efek kebiri kimia.

Lebih lanjut jika melihat ketentuan pasal 81A ayat (1) yang menyatakan “Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok”. Berdasarkan rumusan pasal tersebut secara sederhana kebiri kimia yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan mempunyai jangka waktu penerapan atau efek Riversible, sehingga bersifat sementara, oleh karena tidak ada jaminan perubahan psikologis pelaku ketika kembali dimasyarakat sebagaimana yang dijamin oleh sanksi tindakan rehabilitasi yang sangat menitikberatkan pada pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima
komunitasnya dan tidak lagi mengulangi perbuatan.

Koherensi Sanksi Tindakan Kebiri Kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Semenjak berlakunya sanksi tindakan kebiri kimia dalam UU No. 17 tahun 2016, bentuk dan jenis kekerasan seksual pun mulai bertambah. Komnas Perempuan mencatat sedikitnya ada 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu : (1)
Pemerkosaan, (2) Intimidasi Seksual Termasuk Ancaman Atau Percobaan Perkosaan, (3) Pelecehan Seksual, (4) Eksploitasi Seksual, (5) Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, (6) Prostitusi Paksa, (7) Perbudakan Seksual, (8) Pemaksaan Perkawinan, Termasuk Cerai Gantung, (9) Pemaksaan Kehamilan, (10) Pemaksaan Aborsi, (11) Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi, (12) Penyiksaan Seksual, (13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, (14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasikan perempuan, (15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Jika menelaah keseluruhan bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sebagaimana yang diuraikan di atas maka terlihat jelas dan gamblang bahwa dari ke 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual yang dirumuskan oleh Komnas Perempuan terdapat 13 (tiga belas) bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat reproduksi. Sedangkan dua bentuk kekerasan seksual lainnya lebih cenderung menggunakan organ reproduksi yakni (1)
pemerkosaan dan (2) Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi, akan tetapi jika ditelaah lebih jauh dalam pelaksanaannya, perbuatan perkosaan terhadap seseorang seringkali dibarengi dengan kekerasan sesksual di luar dari alat reproduksi seperti menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. hal tersebut juga
berlaku terhadap bentuk kekerasan pada Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi.

Sehingga menurut penulis, jikalau hendak menelaah bentuk-bentuk kekerasan seksual kaitannya dengan sanksi tindakan kebiri kimia dalam UU No. 17 Tahun 2016 terhadap pelaku kekerasan seksual anak, maka sesungguhnya yang menjadi salah satu pokok permasalahan adalah substansi sanksi tindakan kebiri kimia itu sendiri, sebab sasaran utama dari penghukuman kimia yakni mengamputasi dan atau membuat disfungsi
organ reproduksi manusia. Padahal dalam perkembangannya kejahatan kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, intensitas maupun modus operandinya. Sehingga apabila kekerasan seksual terhadap anak hanya menitik
beratkan pada permasalahan kelamin atau organ reproduksi seseorang, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk kekeliruan dalam menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang dapat berakibat pada ketidakefektifan dalam implementasinya, Sebab berdasarkan fakta yang ditemukan peran alat kelamin atau
organ reproduksi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan bagian kecil dari ruang lingkup faktor-faktor kekerasan seksual anak.

Oleh karena itu, prespriktif yang dapat diberikan dalam penulisan ini yakni dengan melihat sasaran utama dari penghukuman kimia yakni mengamputasi dan atau membuat disfungsi organ reproduksi manusia. Maka, seyogyanya diperlukan upaya pembentukan regulasi penghukuman pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang berorientasi pada pembinaan, sebab tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak merupakan hasil
dari ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol orientasi seksual, akan tetapi apabila melihat kondisi saat ini, di mana keberlakuan sanksi kebiri kimia telah memiliki legalitas dalam hukum positif Indonesia, maka perlunya upaya untuk meregulasi Peraturan Pemerintah sebagai regulasi yang mengatur mekanisme
pelaksanaan sanksi kebiri kimia, sekaligus sebagai upaya memenuhi kepastian hukum sebagaimana yang di ikhtiarkan dalam tujuan hukum itu sendiri. Equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum). ([email protected])

  • Bagikan