Balada Utang di Negeri Zamrud Khatulistiwa

  • Bagikan
Wd Deli Ana (Praktisi PAUD).Foto:ist

Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati (peribahasa).

Anda sepakat dengan peribahasa di atas? Tentu saja.   Toh utang hukumnya memang wajib dibayar.  Namun bagaimana bila utang terlanjur menggunung? Kedengarannya seperti kondisi negeri kita saat ini.  Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama mengungkapkan, utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan cukup signifikan.  Bahkan Riza mengatakan, hingga saat ini utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp 7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta. “Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 bulan Februari menembus angka Rp 4.034,8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun,” ujar Riza (kompas.com).

Fantastis.  Satu kata yang tepat menggambarkan angka-angka di atas. Terbayang  bila utang rumah tangga bisa buat mendadak insomnia,  apalagi yang satu ini.   Tak heran banyak pihak  mulai cemas.  Kekhawatiran muncul salah satunya dari mantan Menteri Keuangan RI, Fuad Bawazir. Beliau khawatir utang pemerintah yang naik 13,46% per Februari 2018 lalu ini akan membengkak, karena kurs rupiah cenderung melemah. Sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak lebih besar lagi untuk pembayaran utang dalam valas (nusantaranews.co).  Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam juga  mengingatkan pemerintah akan beban bunga utang yang makin bertambah. “APBN kita habis dipakai untuk membayar bunga utang. Di outlook APBN 2018, pos pembayaran bunga utang sebesar Rp 249 T dan akan bertambah menjadi Rp 275 T dalam RAPBN 2019. Ini sudah tidak sehat,” kata Ecky saat dihubungi di Jakarta, Minggu (26/8/2018)(teropongsenayan.com).  Jelas bila APBN sudah terlibat, rakyat ikut geliat.   Minimal pajak bisa diprediksi akan lebih menguras.

Dibalik batas aman

Walau demikian Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut total utang Indonesia yang mencapai Rp 4.180 triliun hingga akhir April 2018 masih berada di bawah batas aman. Dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini sebesar Rp14 ribu triliun, batas aman utang Indonesia sesuai Undang-Undang (UU) Keuangan Negara no. 17/2003   mencapai Rp 8.400 triliun. Sebab masih menurut beliau, dalam UU tersebut, batas aman pinjaman Indonesia maksimal 60 persen terhadap PDB. “Sekarang utang kita sekitar Rp 4.000 triliun,” ujar Sri Mulyani. (cnnindonesia.com).

Tentu sah bila ibu Menteri berpandangan demikian.   Nyatanya memang  angka 4000 masih jauh dari 8400.   Hanya saja dalam penjelasan UU yang sama juga disebutkan pada Pasal 12 ayat (3) bahwa defisit anggaran harus dibatasi maksimal 3 % dari Produk Domestik Bruto.  Jika mengacu pada PDB Indonesia tahun 2016 lalu misalnya, yang besarnya senilai USD 932.26 miliar atau senilai Rp. 12.585 triliun (indonesia-investmens.com).

Maka berapa nilai 3% dari PDB? Nilai 3% PDB yang menjadi batas yang diperbolehkan oleh UU adalah sebesar Rp. 377 triliun.  Sementara berdasarkan data Bank Indonesia, utang pemerintah sepanjang tahun 2017 telah bertambah Rp. 476 triliun atau 3,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Melambung di atas 3%! Demikian antara lain diungkap Salamuddin Daeng,  Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (teropongsenayan.com,17/12/17). Belakangan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),  Zulkifli Hasan tak ketinggalan ikut berkomentar.  Dari liputan6.com, beliau menilai pemerintah tidak bisa klaim rasio utang sekitar tiga persen adalah aman.  Tak pelak, polemik pun terjadi.  Lepas dari itu fakta yang tersaji tetap saja mencengangkan publik.  Kewajiban membayar utang Rp 400 triliun per tahun sungguh sangat besar.  Apa jadinya bila uang sebanyak itu digelontorkan untuk pendidikan dan kesehatan? Luar biasa tentu pengaruhnya pada masyarakat.   Sebab seperti yang diucapkan Ketua MPR, “Itu setara tujuh kali dari dana yang disalurkan ke desa-desa, enam kali anggaran kesehatan,”  (liputan6.com).

Agenda ‘penjajahan’ di balik utang luar negeri?

Harus diakui peliknya persoalan ini.  Di lain sisi keinginan rakyat sejatinya sederhana.  Harga kebutuhan pokok, listrik dan bahan bakar terjangkau.  Akses pendidikan dan kesehatan yang mudah dan murah.  Sayangnya kapitalisme yang diterapkan saat ini membuat segalanya jauh panggang dari api.  Sistem ekonomi berbasis riba yang dianut sistem ini nyata menyengsarakan rakyat.   Bagaimana tidak bila bunga berbunga menjerat di balik utang. Beban rakyat pun semakin berat.  Tak hanya itu,  kemandirian negara pun rawan tergadai.  Terbelenggu syarat dan ketentuan para negara donor yang notabene negara maju.  Jika dibiarkan negara berisiko bangkrut dan kehilangan nilai tawar.  Bila demikian lantas apa bedanya dengan negara terjajah? Sadar atau tidak era neokolonialisme alias penjajahan dengan format baru sedang terjadi. Terlihat merdeka secara fisik namun dijajah secara ideologi dan ekonomi.  Hal yang diakui oleh John Perkins dalam bukunya, “Negara akan memastikan anak–anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandera (dengan utang –pen).  Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali.” (Penulis buku Confessions of an Economic Hit Man).

Islam,  solusi cerdas tuntas!

Defisit anggaran di suatu negara adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis sekuler, negara sosialis komunis, maupun di negara  yang menerapkan Islam secara kaffah (komprehensif). Yang berbeda adalah metode jalan keluarnya.  Secara umum solusinya ada tiga, yaitu: menambah pendapatan, mengurangi belanja, dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri.  Bila kapitalisme menempuh cara privatisasi – menjual aset negara pada swasta dan asing – dan utang dengan riba sebagai penambal defisit,  Tak demikian Islam.

Islam rinci mengatur masalah kepemilikan dan tegas mengharamkan riba.   Pendapatan negara digenjot dengan mendudukkan segala sesuatu berdasarkan status kepemilikannya.  Terdapat tiga jenis kepemilikan dalam Islam,  kepemilikan individu,  umum dan negara. Sabda Rasul saw,  “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal:  padang rumput, air, dan api. ”(HR Ibnu Majah).  Dengan demikian sumber daya alam (SDA) yang berlimpah merupakan milik umum.  Tidak boleh dimiliki pribadi, swasta maupun golongan. Terlebih dijual,  haram hukumnya. Negara wajib mengelola SDA dan memperuntukkan hasilnya sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat.  Semua rakyat tanpa kecuali. Adapun harta milik negara juga telah ditentukan Allah.  Negara berhak mengelolanya sesuai dengan pandangan dan ijtihad khalifah. Zakat, ghanimah (harta rampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah adalah beberapa di antara milik negara.

Bagaimana dengan utang? Utang diakui Islam sebagai hal yang lazim dalam kehidupan.  Bahkan di level individu, memberi utang hukumnya sunnah. Nabi saw. bersabda,  “Barang siapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.”(HR.
Muslim).  Sedang membayar utang hukumnya wajib. “Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi.”(HR Imam Ahmad).

Sementara riba jelas diharamkan. Lugas Allah Swt. berfirman, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al Baqarah:279).

Demikianlah syariat mengatur tentang pengelolaan SDA. Juga  kebolehan berutang dengan tidak melalaikan haramnya riba. Namun hal tersebut baru sejumput dari syariat Islam yang paripurna. Sempurna mengatur segala aspek kehidupan. Menerapkan secara total  semata konsekuensi dari iman.  Dengannya manusia akan bebas dari ketundukan pada selain Allah. Bukankah hanya Allah,  Dzat Maha Penolong lagi Maha Perkasa?      Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”(QS Asy Syu’ara:9).  Wallahu a’lam.

Wd Deli Ana (Praktisi Pendidikan)

  • Bagikan