Baliho Pilkada Menjamur, Pentingkah Ditertibkan

  • Bagikan
Edi Sulkipli, S.H Seorang Peneliti di Epicentrum Politica.

Oleh : Edi Sulkipli, S.H Seorang Peneliti di Epicentrum Politica

No. Hp : 0823-4512-7274

Email : [email protected]

SULTRAKINI.COM: Tidak terasa pilkada serentak tahap III semakin dekat. Sulawesi Tenggara sendiri akan menggelar pilkada untuk Pilgub dan tiga daerah, yaitu Kota Baubau, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Kolaka. Tensi persaingan semakin memanas jelang pertarungan yang akan berlangsung delapan bulan lagi. Tak hanya perang saling klaim partai saja yang cukup fenomenal belakangan ini, tetapi juga perang baliho antara bakal calon gubernur dan bakal calon bupati/wali kota yang cukup menyita perhatian. Perang baliho setiap calon menjadikan kota ibarat “medan perang.”

Meski banyak alat peraga kampanye (APK) yang dipakai para calon atau kandidat, baliho sering menjadi pilihan prioritas. Baliho menjadi cukup popular digunakan dalam sosialisasi bakal calon di pilkada selama ini, karena diyakini mampu memberi efek psikologis pada pemilih. Keberadaannya sangat dibutuhkan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas calon. Baliho beserta tagline-nya diyakini sangat efektif untuk menyampaikan keinginan para calon untuk memperkenalkan diri. Penggunaan tagline dalam baliho pun akan lebih menarik jika terpampang bersama foto para calon, tinggal bagaimana designnya dibuat semenarik mungkin untuk menggaet suara pemilih.

Meski demikian, pemasangan baliho sering tidak mengindahkan kaidah pemasangan yang baik. Seperti yang terjadi di Kota Kendari. Sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari dalam beberapa waktu terakhir dipenuhi baliho setiap tokoh yang hendak menguji nasib di Pilkada serentak Sultra 2018 mendatang. Jumlah baliho yang terpasang ibarat ‘bersaing’ jumlah pepohonan yang tumbuh di Kota Kendari. Pemasangannya pun sangat semrawut. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi tidak respek terhadap kampanye dengan peraga baliho tersebut, karena justru malah merusak keindahan kota.

Sebenarnya pemasangan atau pendistribusian baliho sebagai bagian dari alat peraga kampanye (APK) sudah diatur dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum PKPU Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pasal 28 huruf (a). baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 (empat) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 5 (lima) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kabupaten/kota; b. Umbul-umbul paling besar ukuran 5 (lima) meter x 1,15 (satu koma lima belas) meter, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap kecamatan; dan/atau c. Spanduk paling besar ukuran 1,5 (satu koma lima) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 2 (dua) buah setiap Pasangan Calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.

PKPU Nomor 4 Tahun 2017 ini adalah peraturan KPU yang telah ada sejak pilkada serentak tahap II. Sejak ditetapkan, pelaksanaannya masih jauh dari harapan, bahkan untuk persiapan tahap III ini pun kita masih dapat menemukan pemasangan baliho disembarang tempat, kita akan mudah menemukan fasilitas umum seperti tiang lampu jalan, tiang listrik, papan nama jalan, tembok-tembok pembatas, yang ramai digunakan untuk sandaran baliho, belum lagi jika ada lebih dari satu baliho yang berjejer rapi, membuat tepi jalan menjadi barisan iklan kampanye para calon, dan mengurangi fungsinya sebagai fasilitas umum. Pemasangan baliho dengan memaku pohon pun sebenarnya sangat merusak lingkungan. Jadilah baliho bersaing dengan warung pinggir jalan yang banyak berjejer di trotoar.

Karena itulah penulis memberikan saran bahwa: pertama, bakal calon maupun tim sukses dari masing-masing calon harus memperhatikan peraturan terkait pemasangan APK, hal tersebut adalah bentuk partisipasi politik yang nyata untuk mendukung kampanye yang lebih beretika.

Kedua, walaupun masih status bakal calon harusnya seluruh elemen terkait seperti penyelenggara pilkada dan pemerintah setempat tetap mengawal dan mengawasi peraturan ini, agar hal ini tidak menjadi masalah serius dan segera dapat ditangani, utamanya kepada Bawaslu dan jajarannya untuk menertibkan pemasangan baliho yang melanggar PKPU. Selama ini publik menilai Bawaslu sering mendiamkan kasus pemasangan baliho yang melanggar aturan, entah karena alasan anggaran, maupun karena kebetulan yang punya baliho orang kuat.

Ketiga, penulis berharap agar pemerintah memberi perhatian khusus dan segera menertibkan baliho-baliho yang dipasang sembarangan terutama yang terpasang di fasilitas umum guna mewujudkan kebersihan dan keindahan kota.

  • Bagikan