Bank Sultra Perlu Maju Bersama Masyarakat

  • Bagikan
Syarif Hidayat Hadaid
PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sultra atau yang dikenal sebagai bank sultra merupakan bank milik masyarakat sultra . Kepemilikan masyarakat terhadap bank diwakili oleh kepala daerah selaku pemegang sahamnya. Sejatinya bank ini sudah setengah abad berdiri dan beroperasi di sulawesi tenggara. Namun sayangnya belum mampu memberikan sumbangsih lebih bagi perekonomian masyarakat umum. Menjadi penguasa dan mitra masyarakat di rumah sendiri atau yang biasa dikenal sebagai regional champions bagi bank sultra masilah menjadi cita cita. Yah regional champions, merupakan suatu jargon yang kemukakan oleh ASBANDA sebagai wadah persatuan bank pembangunan daerah seluruh indonesia agar BPD menjadi juara di rumahnya sendiri.
Banknya PNS
Citra yang selalu dikenal masyarakat ketika mendengar bank sultra atau bpd sultra yakni banknya PNS. Yah citra ini sangat lekat dengan bank ini. Bagaimana tidak hampir seluruh PNS yang ada di bumi anoa selalu berhubungan dengan bank sultra. Hilir mudik korps baju coklat ini selalu dapat dijumpai di area bank. Apalagi pada saat payday, pasti selalu disesaki para abdi negara ini. Bahkan untuk memperoleh pinjaman para abdi negara ini dapat hanya dengan menggadai SK pengangkatan. Prosesnya pun tidak terlalu lama hanya membutuhkan satu atau dua hari kerja, pinjaman pun dapat dinikmati, hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan masyarakat non PNS. Tenor pinjamanpun dapat lebih lama bahkan sampai dengan 20 tahun. Bukan hanya itu suku bunga yang ditawarkan sangat murah dibandingkan dengan suku bunga pinjaman untuk masyarakat umum non PNS.
Citra inilah yang harus dihilangkan oleh bank sultra dari mata masyarakat umum. Hal inilah yang seharusnya menjadi tantangan bagi jajaran manajemen bank bahwa layanan terhadap masyarakat non PNS dapat dikompetisikan  dengan bank umum lainnya.
Seharusnya bank sultra dapat menjadi wadah ekonomi masyarakat, baik itu permodalan maupun investasi. Tetapi nyatanya saat ini untuk memperoleh permodalan dari bank sultra rasanya sangat sulit bagi masyarakat umum. Masyarakat selalu memandang bahwa untuk mendapatakan permodalan dan pinjaman pada bank sultra adalah sangat sulit, waktu proses yang lama, dan biaya yang tinggi. Bahkan untuk mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) pun dirasa cukup sulit bagi masyarakat walaupun berbagai agunan telah diajukan untuk dijadikan jaminan.
Setelah kami mengamati dan wawancara lebih lanjut, ternyata yang membuat waktu proses kredit yang lama pada bank sultra adalah proses yang ada di dalamnya. Bagaimana tidak proses suatu kredit umum membutuhkan alur yang sangat rumit dan berbelit belit serta harus mendapat pertimbangan dari berbagai pihak. Bahkan nasabah yang memiliki kemampuan bayarpun akan diproses sangat lama dan bisa jadi tidak mendapatkan persetujuan pinjaman. Kiranya  proses yang rumit ini yang harus diurai oleh pihak manajemen agar bank sultra tidak terus mendapat stigma banknya PNS.
Intervensi Pemda
Berbicara mengenai bank sultra tentunya tidak lepas dari yang namanya pemerintah daerah, pejabat maupun sejenisnya. Pemerintah daerah disini berperan sebagai pemegang saham yang diwakili oleh kepala daerah. Sementara disisi lain pemerintah daerah juga dapat dikatakan sebagai pengguna jasa utama bank ini, bahkan dapat dikatakan bank sultra merupakan kasir daerah.
Sebagian besar Dana Pihak Ketiga yang dihimpun oleh bank sultra adalah dana Pemerintah Daerah (Pemda), baik itu berupa Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), Rekening Instansi, Rekening Program, Deposito Berjangka  dan lain sebagainya. Karena dana pemda ini ditempatkan dibank daerah tentunya pemdapun menginginkan imbal hasil dari penempatan dana tersebut, baik dalam bentuk deviden maupun imbal jasa giro yang nantinya dapat dinyatakan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Yang lebih parahnya jika dana ini disimpan dalam bentuk deposito berjangka. Jika dana ini disimpan dalam bentuk deposito berjangka ada dua pihak yang akan terkena imbasnya. Pertama masyarakat, dana yang seharusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan dan pembangunan malah dialihkan dalam bentuk deposito berjangka. Sehingga pembangunan yang kiranya terasa oleh masyarakat malah tertunda sebelum deposito tersebut jatuh tempo, bahkan perekonomian daerah sulit bergerak. Kedua Pihak Bank. Bank akan tersandera permintaan suku bunga premium dan biasanya harus membayar PPh Pasal 4 Ayat 2 terkait bunga deposito. Mau tidak mau bank harus menyanggupi permintaan suku bunga premium tersebut. Alhasil bank akan kehilangan margin karena harus membayar biaya dana (cost of fund) yang lebih besar. Untuk menutupinya tentu dengan melempar dana tersebut ke pasar uang atau ke sertifikat bank indonesia (SBI) dan bahkan dengan peningkatan suku bunga pinjaman.
Karena kedekatan bank ini dengan pemerintah daerah, maka tidak sedikit “anak pejabat” yang nyambi sebagai karyawan bank sultra. Dari pengamatan kami karyawan karyawan ini merupakan keluarga langsung dari pejabat tersebut, misalnya anak, saudara, sepupu, ipar, mantu dan lain sebagainya. Biasanya mereka ditempatkan dikantor kantor strategis diperkotaan, sehingga dana dana pemda atau instansi tetap berada di bank sultra.
Namun perekrutan pegawai yang merupakan keluarga pejabat ini tentunya menyimpan berbagai persoalan yang nantinya menjadi bom waktu bagi perusahaan. Selengkapnya kami rinci sebagai berikut.
Pertama sebagian besar karyawan nyambi ini biasanya bukanlah merupakan tenaga terampil atau profesional, sehingga menghalangi tenaga terampil lainnya untuk dapat menempati posisi didalam kota atau posisi strategis atau zona nyaman yang mana mereka memiliki keterampilan untuk menghimpun dana masyarakat lebih baik dibanding anak pejabat tersebut.
Kedua, mereka dapat melakukan praktik kejahatan keuangan misalnya fraud. Tindakan ini dapat terjadi karena mereka merasa merupakan orang yang spesial (anak pejabat), sehingga ketika kasus ini terungkap oleh auditor tidak akan di “blow up” atau mereka hanya akan mendapatkan hukuman ringan (sebut saja : Peringatan / Teguran).
Layanan yang dekat dengan Masyarakat
Sebagai bank daerah harusnya bank sultra lebih dekat ke masyarakat. Memang sih beberapa waktu belakangan bank sultra sudah membuka kantor layanan di beberapa tempat. Namun hal ini tidaklah terlalu efisien demi mendekatkan diri kepada masyarakat. Cobalah tengok program LAKUPANDAI (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keunangan Inklusif) milik bank tetangga sebut saja BRI atau bank BNI yang sedang ekspansi. Hampir disetiap kecamatan bahkan kelurahan/desa kita dapat menemukan agen mereka. Mereka tidak perlu membuka kantor layanan ataupun menggaji karyawan pemasar, tetapi manfaatnya dapat dirasakan baik itu dalam bentuk fee base income, dana pihak ketiga maupun brand yang melekat di masyarakat. Bahkan industri keuangan non bank maupun perusahaan teknologi finansial telah dekat dengan masyarakat. Kiranya bank sultra perlu segera masuk kelini bisnis ini, jika tidak bank sultra akan menjadi penonton dan bukan tidak mungkin untuk tidak lagi menjadi bank pengelola rekening kas umum daerah dan regional champion hanya menjadi angan angan belaka. Sejalan dengan motonya bank sultra perlu untuk terus maju bersama, maju bersama disini bukanlah hanya dengan pemda tetapi juga dengan masyarakat. Sekian.
Oleh
Syarif Hidayat Hadaid
(Analis dan Praktisi Perbankan)
  • Bagikan