Beras Sachet Sesuaikah Kebutuhan Rakyat?

  • Bagikan
Risnawati, STP.

Kepala Divisi Regional (Divre) Badan Urusan Logistik (Bulog) Sulawesi Tenggara (Sultra), Kusmiawan SP menunjukkan beras kemasan sachet 200 gram. Beras ini bakal dijual Bulog seharga Rp 2.500 per bungkus.

Perum Bulog mempromosikan beras premium kemasan 200 gram. Beras ini didistribusikan ke Rumah Pangan Kita (RPK), pasar tradisional, dan toko kecil, kemudian dijual ke tengah masyarakat. Saat ini, pihaknya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat di beberapa kabupaten seperti di Bombana, Baubau, Konawe, Kolaka, dan Kota Kendari berkait produk tersebut.

Kusmiawan menambahkan, pihaknya secara intensif mempromosikan beras yang dikemas dalam bentuk sachet atau renteng pada Agustus 2018 ini.

Beras renceng ini hadir dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat menengah ke bawah bisa menikimati beras kualitas premium dengan harga yang murah. Bagi kalangan menengah yang atas pun tetap bisa menikmati beras premium.

Rencana peluncuran beras sachetan sejatinya dipandang sebagai langkah menyetabilkan harga pangan. Namun bisakah berbuah manis sesuai harapan? sementara standar yang dipakai mematok harga adalah standar beras  premium, yang otomatis mahal. Sedangkan mayoritas masyarakat masih berada pada taraf ekonomi menengah ke bawah, sehingga untuk urusan beras pun lazimnya membeli beras medium dengan harga di bawah Rp 12.500,-/kg. Hitungan ala ibu rumah tangga, jika satu sachet beras hanya cukup untuk 3 porsi, maka sehari dengan tiga kali makan diperlukan minimal 4 sachet untuk mencukupi kebutuhan pangan satu keluarga (standar Keluarga Berencana, -orang tua dengan dua anak-).

Ada Apa dengan Beras Kita?

Beras adalah komoditas yang tidak pernah lepas dari kontroversi, dan campur tangan pemerintah. Dulu pada masa orde baru, beras menjadi arus utama, penyeragaman bahan pangan utama menjadi beras terjadi hingga ke daerah dimana beras tidak dikenal sebelumnya. Hal ini membuat Indonesia mampu berswasembada.  Dan kini, beras tidak saja komoditas pangan utama, namun juga menjadi komoditas politik.

Beras, memang merupakan makanan pokok terbesar masyarakat Indonesia, sehingga wajar, pemerintah memberi perhatian lebih kepada komoditas ini, bahkan ada idiom yang menyebutkan bahwa Dinas pertanian itu sesungguhnya adalah Dinas perpadian, karena urusan dominannya adalah padi atau beras.  Sedemikian penting komoditas ini, sampai-sampai pemerintah harus senantiasa impor komoditas ini, meski stok dalam negeri masih mencukupi.

Bahkan terakhir pemerintah mengeluarkan kebijakan impor setu juta ton beras, meski Bulog mengatakan stok beras dalam negri berkisar 1,2 juta ton (liputan 6, 29 Mei 2018).
Pengadaan beras sachet ini menurut Direktur Utama Perum Bulog adalah untuk menjamin ketersediaan beras kepada masyarakat (detik finance, 23 Mei 2018).

Tentunya ini hal ini bukan hanya lebih dari sekedar urusan hemat, sebenarnya konsep memenuhi kebutuhan pangan dengan membebankan kepada rakyat menunjukkan bahwa ekonomi liberal dalam bidang pangan tengah diterapkan di negeri ini. Upaya berlepas tangan akan tanggung jawab pemenuhan jaminan pangan rakyat mulai terbaca. Rakyat dibiarkan berjibaku sendiri memenuhi hajat hidupnya. Padahal negara lah yang harusnya berperan memenuhi terpenuhinya hak dasar kebutuhan primer dengan mudah dan murah, bahkan kalau bisa gratis. Tak cukup hanya berlaku sebagai regulator semata lalu menyerahkan pembayaran sepenuhnya mandiri oleh rakyat.

Sudah saatnya konsep liberalisasi pangan yang memasrahkan naik turunnya harga beras pada permintaan dan penawaran/mekanisme pasar untuk diakhiri. Sebab jika selamanya demikian, maka jalan menyetabilkan harga pangan akan selalu dijawab dengan menambah ketersediaan barang, meskipun harus dengan membuka kran impor dan kebijakan sachetan sekalipun. Padahal, upaya ini justru akan menimbulkan ketergantungan kepada negara lain menjadi semakin besar. Karena itu, jalan yang dapat ditempuh dalam memperbaiki kebijakan politik pangan, hanyalah mengacu kepada solusi Islam.

Kebijakan Islam dalam Mengamankan Harga Beras

Bergejolaknya harga beras pada dasarnya disebabkan oleh tidak tercukupinya pasokan beras ke masyarakat dan macetnya distribusi beras. Bila permasalahan melonjaknya harga beras disebabkan oleh kurangnya pasokan beras yang mungkin disebabkan oleh produksi beras petani lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat maka langkah yang ditempuh oleh negara adalah lebih menguatkan dan mendisiplinkan politik pertanian agar tercapai produktifitas pertanian yang tinggi. Dalam kondisi darurat sepanjang tidak menyebabkan kerugian petani lokal di mana tidak ada pilihan lain lagi kecuali harus mendatangkan bahan pangan dari luar maka pemerintah harus melakukan kebijakan impor beras. Impor beras dilakukan pemerintah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat bukan untuk berbisnis.

Bila naiknya harga beras disebabkan oleh masalah distribusi, maka harus dilihat penyebabnya yakni apakah disebabkan oleh faktor fisik seperti rusaknya jalan dan tiadanya sarana transportasi yang memadai ataukah karena permainan spekulan yang menimbun beras. Bila penyebabnya adalah masalah pertama maka yang harus dilakukan pemerintah adalah segera memperbaiki jalan dan sarana transportasi yang rusak tersebut. Bila penyebabnya karena penimbunan beras, maka pemerintah secepatnya mengembalikan beras yang ditimbun oleh pedagang spekulan tersebut dan memberikan hukuman setimpal terhadap para pelakunya. Perbuatan menimbun beras hukumnya mutlak haram sebab Rasulullah telah melarang manusia melakukan penimbunan bahan makanan dan menyatakan perbuatan tersebut adalah salah.

Jika di Indonesia dalam produk pertanian diterapkan pematokan harga batas maksimal maupun minimal seperti HPP yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pemerintah negara Khilafah tidak akan menerapkan kebijakan tersebut sebab hukumnya haram dan fakta kebijakan pematokan harga tersebut pada akhirnya juga akan merugikan petani. Seperti naiknya harga beras sampai ke tingkat Rp 5.000 – Rp 6.000/kg tidak menyebabkan naiknya pendapatan petani sebab harga beras para petani dipatok oleh pemerintah maksimal Rp 3.550/kg. Artinya pemerintah melalui Bulog hanya mau membeli beras petani di bawah harga Rp 3.550 padahal harga beras di pasaran telah melonjak hampir dua kali lipat, sementara biaya produksi petani cukup tinggi sehingga margin keuntungan semakin tipis. Terlebih banyak para petani di Indonesia terjerat utang.

Untuk menjaga harga beras agar stabil dan terjangkau masyarakat, negara Khilafah melakukannya dengan operasi pasar. Tujuan OP yang digelar oleh pemerintah bukanlah untuk mendapatkan keuntungan seperti yang dilakukan pemerintah dan Bulog tetapi hanya untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat dan menciptakan keuntungan bagi para petani. Langkah praktisnya pemerintah dapat melakukan kebijakan pembelian beras petani sesuai harga pasar kemudian menjualnya kepada para pedagang dan masyarakat dengan harga terjangkau di bawah harga pasar. Dengan demikian, hanya Negara Islam yang mampu meriayah umat tanpa harus mengeluarkan kebijakan yang malah menyengsarakan rakyat. Wallahu a’lam.

 

Oleh : Risnawati, STP. (Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

  • Bagikan