Ada Apa dengan Utang?

  • Bagikan
Fitri Suryani, S.Pd

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd

 

Kata “utang” memang sulit dipisahkan dari kehiduan manusia, namun selama utang itu dalam ambang batas yang masih dapat diatasi maka tidak masalah. Karena bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika pihak yang mengutang sudah terlalu banyak memiliki utang?

Sebagaimana berdasarkan data pemerintah, pada akhir Januari 2018 Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sekitar USD 357,5 miliar atau Rp 5.107,14 triliun. Dari angka tersebut terdapat utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 183,4 miliar, serta utang swasta sebesar USD 174,2 miliar. (merdeka.com, 15/03/2018). Meski begitu, pemerintah tetap perlu mewaspadai pelemahan rupiah yang bisa membuat utang membengkak nilainya. (kompas.tv, 16/03/2018)     Selain itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo mengatakan, utang pemerintah terus bertambah karena pembangunan infrastruktur yang digencarkan. Namun, dia menyayangkan karena tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut terbilang rendah. Artinya, kata Dradjad, tambahan utang yang akan membebani generasi ke depan belum produktif dari sisi penciptaan lapangan kerja. (republika.co.id, 21/02/2018 )

Menyelisik Utang Luar Negeri

Meninjau tentang utang luar negeri  yang kian menjulang tinggi, tentu bukan merupakan perkara yang nampak buruk? Tetapi mestinya hal tersebut dapat diperhatikan ataupun dipertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan kedepannya. Beberapa dampak diantaranya: Pertama, dampak langsung dari utang yakni cicilan bunga yang kian mencekik. Kedua, dampak yang sesungguhnya dari utang tersebut yakni minimnya kemandirian akibat terikat atas keleluasaan arah pembangunan, oleh pihak yang mememberi utang.

Disamping itu, bahaya utang luar negeri yaitu sebagai salah satu alat penjajahan. Diantara bahaya tersebut: Pertama, bahwasanya utang luar negeri dalam rangka mendanai proyek-proyek milik negara merupakan hal yang riskan lebih-lebih terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut kian sengsara karena ini adalah akses untuk menjajah suatu negara.  Kedua, pemberian utang merupakan sebuah proses supaya negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang semakin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Ketiga, utang luar negeri yang diberikan pada hakikatnya adalah senjata politik negara-negara kapitalis barat kepada negara-negara yang diberi utang yang mayoritasnya negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap negeri-negeri pengutang (jajahan). Keempat, utang luar negeri sesungguhnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan negara pengutang, baik utang jangka pendek maupun jangka panjang.

Kacamata Islam terhadap Utang Luar Negeri

Jika ditelaah lebih dalam ada beberapa perkara yang menjadikan utang luar negeri menjadi batil. Pertama,utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauhnya. (lihat Qs. al-Baqarah [2]: 275). Kedua, utang luar negeri menjadi wasilah timbulnya berbagai kemudaratan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, tingginya harga-harga kebutuhan pokok termasuk BBM dan sebagainya. Ketiga, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis barat dapat mengeksploitasi, bahkan menguasai kaum muslimin. (lihat Qs. an-Nisaa` [4]: 141)

Adapun utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki dan berapa yang diinginkan. Hanya saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut tidak dibolehkan. Sementara berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang sangat penting dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka dalam kondisi itu negara dapat berutang, lalu orang-orang ditarik pajak dipergunakan untuk melunasinya. Sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang.

Dengan demikian, segala utang dengan segala bentuknya dalam iklim demokrasi, tentu bukan semata-mata karena ingin membantu negara pengutang, namun memiliki berbagai motif baik politik maupun ekonomi. Olehnya itu, hanya dengan penerapan hukum-hukum yang bersumber dari-Nya Islam rahmatan lil ‘alamin dapat terealisasi, baik bagi Muslim maupun non Muslim. Wallah ‘alam bi ash-shawab.

 

(Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe)

  • Bagikan