Aksi Reaksi Papua, Persaudaraan dalam Falsafah Lokal Sultra

  • Bagikan
Rakyat Papua Barat menampilkan tarian perdamaian. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja- sumber foto merahputih.com)
Rakyat Papua Barat menampilkan tarian perdamaian. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja- sumber foto merahputih.com)

BEBERAPA hari terakhir ini persatuan, kerukunan, dan persaudaraan bangsa kita sedikit terganggu. Saudara sebangsa dan setanah air kita di Papua tersinggung dan marah. Tersinggung karena mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang merasa diperlakukan tidak nyaman, diteriaki dengan nama hewan. Mereka protes. Mereka marah. Sejumlah bangunan di Jayapura dan Manokwari pun terbakar.

Aksi reaksinya begitu cepat. Daerah lain yang juga ada mahasiswa asal Papua secara spontan bereaksi, akibat protes di Papua itu. Sebutlah di Makassar, Sulawesi Selatan. Asrama mahasiswa Papua di Jalan Lanto Daeng Pasewang Makassar didatangi sekelompok orang. Masyarakat setempat juga marah kepada mahasiswa asal Papua. Marah sebagai akibat aksi warga Papua yang ikut merusaki tempat-tempat usaha orang Sulsel saat melakukan aksi protes di Papua.

Di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang juga ada mahasiswa asal Papua kuliah di berbagai fakultas di Universitas Halu Oleo pun ada reaksi, namun tidak perlu ada aksi. Di Kendari juga banyak mahasiswa asal Papua yang sementara kuliah di kampus Universitas Halu Oleo. Di Papua juga banyak warga Sulawesi Tenggara, khususnya suku Buton yang hidup dan mencari nafkah di wilayah paling timur Indonesia itu.

Reaksi di Kendari datang dari Himpunan Mahasiswa Papua. Mereka menolak tindakan rasis dan diskriminasi yang dialami rekan-rekannya di Jawa Timur. Melalui ketuanya, Yimiksa Gwijangge, menuntut agar pelaku ucapan rasis yang merendahkan martabat suku Papua meminta maaf dan dapat diproses hukum. Reaksi Yimiksa sangat normatif untuk meredakan masalah, agar tidak berkepanjangan.

Gubernur Sultra Ali Mazi sehari setelah kejadian di Surabaya dan Malang buru-buru menenangkan warganya. “Saya mengimbau warga masyarakat dan mahasiswa asal Papua yang ada di Kendari bersama-sama menahan diri dan jangan mudah terprovokasi oleh berita-berita yang berkembang dan tidak jelas sumbernya,” kata Ali Mazi.

Kita pun patut bersyukur karena masyarakat Sultra tidak membuat aksi terhadap gejolak yang terjadi di Papua, seperti halnya beberapa daerah lain di Indonesia. Toleransi masyarakat Sultra yang dilandasi kuat oleh budaya menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan kembali ditunjukkan dalam persoalan Papua saat ini.

Falsafah orang Buton yang dikenal dengan pobinci-binciki kuli (saling cubir mencubit kulit), poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan), pomaamaasiaka (saling cinta-mencintai), popia-piara (saling abdi-mengabdi), dan pomae-maeka (saling takut-menakuti) kembali membuktikan betapa efektif digunakan untuk membangun persatuan, kerukunan, dan persaudaraan sesama anak bangsa.

Pobinci-binciki kuli atau saling cubit mencubit kulit. Maknanya bahwa sebelum mencubit orang lain maka cubitlah pada diri sendiri. Jika cubitan itu terasa sakit maka jangan lakukan kepada orang lain. Jika kita merasa terhina dengan nama panggilan hewan tertentu maka janganlah memanggil orang lain dengan sebutan itu.

Poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan) dan dan pomae-maeka (saling takut-menakuti). Maknanya bahwa sesama manusia, sesama makhluk ciptaan Tuhan, siapa pun dia harus dihargai atau diutamakan keberadaannya. Saling menakuti dalam arti saling menghormati dan menghargai.

Patut kita bersyukur hidup di provinsi Sultra yang didiami berbagai suku bangsa dan agama berbeda. Namun toleransinya cukup tinggi yang ditandai ketenangan daerah ini.

Berbagai insiden masa lalu, seperti kerusuhan Ambon dan Poso yang juga mempunyai proximity (kedekatan) dengan Sultra, tidak sampai menimbulkan gejolak yang mengganggu persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.

Melalui falsafah sebagai budaya lokal yang dianut secara turun temurun itu, sesungguhnya menegaskan bahwa kulit kita boleh beda warna, tetapi darah kita sama merah. Rambut kita ada yang lurus, ada yang ikal, bahkan keriting, namun darah kita sama merah. Suara kita ada yang lembut ada yang keras, bahasa kita pun berbeda-beda namun kita tetap satu. Indonesia! ([email protected])

 

  • Bagikan