Antiretroviral bisa Kendalikan HIV/AIDS

  • Bagikan
Antiretrovil bisa Kendalikan HIV/AIDS foto : Indrajidt Rai Garibaldi - WordPress.com
Antiretrovil bisa Kendalikan HIV/AIDS foto : Indrajidt Rai Garibaldi - WordPress.com

SULTRAKINI.COM: Banyak orang beranggapan HIV/AIDS sangat dekat dengan kematian. virus ini menyerang sel-sel dalam tubuh, secara tidak langsung tubuh akan lemah dan rentan terserang penyakit. Terlintas di benak ketika mendengar HIV/AIDS adalah tutup usia.

Namun Direktur P2PL, Kementerian Kesehatan, Dr Wiendra Waworuntu berkata lain dalam kampanye #SayaBerani #SayaSehat di Jakarta, Kamis (20/9/2018).

“HIV bukan lagi penyakit mematikan yang tidak ada obatnya. Jika orang mengetahui status HIV-nya sejak dini, mereka dapat mengikuti pengobatan antiretrovil (ARV) yang diberikan secara gratis oleh pemerintah,” ujar Wiendra.

ARV adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. Ini dilakukan dengan cara menekan perkembangan virus tersebut di dalam tubuh. Beberapa jenis obat ARV, yakni Efavirenz, Etravirine, Nevirapine, Lamivudin, Zidovudin yang dikonsumsi penderita HIV/AIDS.

ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri dan mencegah virus HIV menghancurkan sel CD4.

Selama mengonsumsi obat antiretroviral, dokter akan memonitor jumlah virus dan sel CD4 untuk menilai respons pasien terhadap pengobatan. Hitung sel CD4 akan dilakukan tiap 3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan HIV RNA dilakukan sejak awal pengobatan, dilanjutkan tiap 3-4 bulan selama masa pengobatan.

Pasien harus segera mengonsumsi ARV begitu didiagnosis menderita HIV, agar perkembangan virus HIV dapat dikendalikan. Menunda pengobatan hanya akan membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh. Penderita HIV dapat mengonsumsi lebih dari 1 obat ARV dalam sehari.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2014 disebutkan, ARV berguna untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.

ARV bekerja dengan cara mengontrol proses replikasi dari HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh dengan membuat salinan palsu DNA. Hal itu membuat HIV tampak seperti bagian normal dari tubuh yang tidak mengancam, sehingga sistem kekebalan tubuh tidak bisa mendeteksi virus dan keberadaan HIV dalam tubuh tetap aman. Untuk mendapatkan manfaat ARV, penderita HIV harus mengonsumsi obat seumur hidup. Jika tidak, pertumbuhan virus di tubuh tidak terkontrol dan bisa juga muncul resistensi terhadap obat.

Namun, sebelum mengonsumsi ARV, penderita terlebih dahulu berkonsultasi pada dokter. Pasien yang akan menggunakan ARV harus memiliki orang yang bisa mengingatkan untuk selalu minum obat atau biasa disebut Pemantau Meminum Obat (PMO). Di Indonesia, hal tersebut sudah diatur oleh Kementerian Kesehatan.

Ketika mengonsumsi ARV, penderita HIV akan mengalami efek samping seperti kepala pusing, tubuh terasa melayang, dan mendapat mimpi-mimpi aneh. Lebih lanjut, mengonsumsi ARV membuat orang berisiko mengidap penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes, kanker, stroke, hingga fungsi ginjal yang menurun.

Adapun penderita HIV yang bisa mengonsumsi ARV adalah penderita HIV dewasa dan anak usia 5 tahun ke atas yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3. Lainnya adalah ibu hamil dengan HIV, bayi lahir dari ibu dengan HIV, penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 tahun, dan penderita HIV dengan tuberkulosi. Selain itu ARV juga bisa dikonsumsi oleh penderita HIV dengan hepatitis B dan hepatitis C.

Terapi antiretrovil adalah kombinasi dari beberapa obat ARV digunakan untuk memperlambat HIV berkembang biak dan menyebar dalam tubuh. Pengobatan ini dilakukan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV/AIDS.

Kombinasi tiga atau lebih obat antiretroviral lebih efektif, dari pada hanya menggunakan satu obat (monoterapi) untuk mengobati HIV. Sejauh ini, terapi pengobatan inilah yang paling memungkinkan sistem kekebalan tubuh tetap sehat. Tujuan terapi antiretroviral, untuk mengurangi jumlah virus HIV dalam tubuh hingga ke tingkat yang tidak lagi dapat terdeteksi dengan tes darah.

Sayangnya, banyak orang belum mengetahui manfaat obat ini bagi penderita HIV/AIDS. Dampaknya, Stigma masyarakat tentang HIV/AIDS belum terkikis. Mereka tidak berani mengungkapkan kondisi mereka dan berkonsultasi ke dokter.

“Tolong teman-teman, HIV harus terus minum obat. HIV dan TBC mirip, itu harus terus minumnya. Tidak boleh berhenti. Kalau minum obat terus, tentu teman-teman akan menjadi terapi produktif. Ini perlu dipertahankan, ini adalah awal dari kampanye #Saya Berani #Saya Sehat,” ujar Wiendra.

Dengan mengonsumsi obat ini, para pengidap HIV dapat mempertahankan hidup dan terus berkarya layaknya orang normal. Hal ini dibuktikan oleh Tesa (34) mampu bertahan dari HIV/AIDS selama 11 tahun dengan mengonsumsi ARV sesuai dosis yang diberikan dokter.

Pemerintah sudah menyediakan obat ini secara gratis dilayanan. Layanan ini sudah beredar luas, sekitar 5.124 fasilitas pelayanan kesehatan di 34 provinsi yang bisa diakses penderita HIV. Tentunya menyangkut harga, obat ARV ini cukup tinggi. Mumpung ini diberikan gratis, jangan ragu untuk dimanfaatkan.

Saat ini diperkirakan 640.000 orang hidup dengan HIV di Indonesia. Baru 47 persen yang mengetahui status HIV-nya dan sekitar 15 persen berada dalam pengobatan ARV.

Kementerian Kesehatan menargetkan, tahun 2030 Indonesia mampu mengakhiri epidemik HIV/AIDS dengan target 90:90:90. Artinya 90 persen mengetahui status HIV-nya, 90 persen orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menjalani pengobatan ARV, 90 persen ODHA yang menjalani pengobatan ARV dengan menekan perkembangan virus dalam tubuh sehingga mengurangi secara signifikan risiko penularan HIV di masyrakat.

Di tahun 2030 juga, global sudah menargetkan untuk menurunkan angka infeksi baru HIV, kematian terkait HIV dan menghapuskan stigma terkait HIV/AIDS. Menkes mengimbau seluruh jajaran kementerian/lembaga bersama dengan masyarakat menyikapi hal ini, dengan menggerakkan seluruh daya dan upaya bersama supaya bisa tercapai pada waktu yang sudah ditentukan. Untuk penekanan penanggulangan HIV/AIDS dan TB tidak dipisahkan satu dengan yang lain.

Oleh karenanya, perlu perhatian khusus pada kolaborasi di semua tingkatan administrasi dan layanan kesehatan demi tercapainya seluruh tujuan dan sasaran program pengendalian HIV/AIDS dan TB. Rekomendasi ini diharapkan dapat membantu target global getting 3 Zero pada 2030.

Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, sejauh ini terapi ARV dipercaya menurunkan angka kematian dan rasa sakit, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat. Setidaknya, ARV membawa citra baru tentang AIDS, yaitu sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.

Dari berbagai sumber
Laporan : Wa Ode Dirmayanti

  • Bagikan