Badan Riset Ad hoc Berikan Cataan Penting untuk KPU Sultra Hasil Pemilu 2019

  • Bagikan
Diseminasi hasil riset badan ad hoc Pemilu 2019. (Foto: Nely/SULTRAKINI.COM)
Diseminasi hasil riset badan ad hoc Pemilu 2019. (Foto: Nely/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tenggara menerima rapornya melalui hasil riset badan ad hoc pada pemilu 2019. Sejumlah catatanpun diberikan atas hasil pelaksanaan pemilu 2019. Sedikitnya tiga poin penting diungkapkan pada hasil riset tersebut.

Riset ad hoc ini dilakukan oleh Najib Husain, Husen Zuada, Dewi Anggraini yang merupakan dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo dan Laxmi, serta dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UHO.

Dalam hasil risetnya menunjukkan masih terdapat kekurangan dan permasalahan terkait penyelenggaraan pemilu 2019.

Badan ad hoc penyelenggara pemilu yang dimaksud adalah Panitia Pemungutan Suara Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Banyaknya badan ad hoc penyelenggara pemilu 2019 di Sultra yang tumbang memberikan catatan penting bagi KPU Sultra. Berikut catatannya.

1. Pola rekruitmen

Pada pemilu 2019 terdapat keseragaman model rekrutmen yang dilakukan oleh KPU sehingga memungkinkan adanya perbedaan syarat masing-masing daerah, terutama bagi KPUD yang menyerahkan perekrutan KPPS dan Linmas dilakulan oleh PPS.

Pengamat politik yang juga merupakan salah satu peneliti di riset ad hoc pemilu 2019, Najib Husein mengungkapkan, perekrutan anggota KPPS dan Linmas yang dilakukan oleh PPS bisa memungkinkan terjadi kesalahan.

“Ketelibatan PPS dalam rekrutmen KPPS dan Linmas sangat mungkin menimbulkan kesalahan karena mereka tidak memiliki kapabilitas untuk menilai layak tidaknya seseorang untuk menjadi anggota KPPS dan Linmas, terlebih jika tidak dibekali dengan panduan tertulis dari KPU,” jelas Najib Husein, Selasa (15/10/2019).

Terkait hal itu, KPU perlu melakukan perluasan saluran informasi perekrutan badan Ad hoc dan meminta bekerjasama dengan pihak universitas untuk pelaksanaan bimtek pelaksanaan ad hoc.

Dalam regulasi KPU juga tidak secara jelas dicantumkan batas maksimal usia petugas ad hoc, yang dirincikan hanya batas minimalnya, yaitu 17 tahun.

“Usianyakan 17 tahun ke atas, batas atasnya itu tidak ada, seharusnyakan batas usia ini juga dibatasi misalnya 65 paling tua,” terang Ketua KPU Sultra, La Ode Abdul Natsir Muthalib.

2. Beban kerja

Beban kerja yang berat menjadi salah satu penyebab tumbangnya petugas ad hoc. Di Sultra pascapemilu ada 436 orang badan penyelenggara ad hoc pemilu sakit dan enam orang meninggal.

Tekanan atas jam kerja yang berlebihan di luar jam kerja membuat sakit secara fisik dan psikis. Seharusnya petugas kepemiluan bekerja maksimal 8 jam, kemudian diganti petugas lainnya.
Olehnya disarankan dalam perekrutan perlu dilakukan general check up.

Ketua KPU Sultra mengomentari sehubungan general check up yang harus dilakukan oleh calon petugas ad hoc.

“Disamping biayanya tidak sedikit, bahkan anggota DPR saja bukan general check up. Ad hoc ini sifatnya sementara, kalau KPPS-kan satu kali kegiatan paling lama satu bulan, PPS kurang lebih 8 bulan, kemudian PPK kurang lebih 10 bulan. Kalau digunakan general check up tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit tetapi ini hasil riset tentu akan diberitahukan KPU RI,” ucapnya, Selasa (15/10/2019).

3.Integritas badan ad hoc penyelenggara pemilu

Adanya Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi salah satu indikator integritas penyelenggara pemilu. Ada 62 TPS yang tersebar di sebelas kabupaten/kota di Sultra yang melakukan PSU.

KPU Sultra juga disarankan untuk melakukan e-rekap guna mengefisiensikan waktu perhitungan hasil pemilu.
E-rekap dinilai sebagai solusi mencegah praktik manipulasi suara. E-rekap kemungkinan akan dipakai pada pilkada 2020.

Hasil riset ad hoc ini, KPU Sultra akan melaporkan ke KPU RI untuk dijadikan acuan dalam membuat kebijakan-kebijakan tata kelola ad hoc ke depannya. Hasil riset ad hoc ini juga dapat dijadikan perbaikan bagi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pilkada 2020.

Untuk diketahui, riset ad hock pemilu 2019 merupakan proyek dari KPU RI yang menganalisis masalah-masalah pemilu 2019 berdasarkan hasil riset. Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 17 provinsi yang melakukan riset ini, misalnya Provinsi NTB, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara mendapat materi riset terkait ad hock pemilu 2019.

Laporan: Nely

Editor: Sarini Ido

  • Bagikan