Belajar Demokrasi dari Pulau Muna

  • Bagikan
La Ode Agus Salim Mando, S.Hut., M.Sc. (Foto: Dok.Pribadi)
La Ode Agus Salim Mando, S.Hut., M.Sc. (Foto: Dok.Pribadi)

SULTRAKINI.COM: Pulau Muna adalah sebuah pulau yang berada di jazirah ujung pulau Sulawesi bagian Tenggara dengan luas ± 2.889 km2, terletak di selatan garis Khatulistiwa pada garis lintang 4º06 – 5,15° LS dan garis Bujur 120,00° – 123,24° BT. Di Pulau ini pernah berdiri kerajaan yang tergolong besar pada masanya, yakni Kerajaan Muna yang beribukota di Kotano Wuna (sekarang Kecamatan Tongkuno).

Sebelum menjadi sebuah negara (kerajaan), maka yang menjadi persyaratan mutlak selain wilayah adalah adanya rakyat. Asal muasal rakyat Muna dimulai, ketika terdamparnya sebuah kapal yang dipimpin oleh Sawerigading dan 40 orang pengikutnya di suatu daratan Muna yang dikenal dengan Bahutara. Dari situlah berkembang masyarakat Muna yang memiliki ide atau cita-cita untuk bersatu dengan identitas yang sama secara geografis-ekolologis, dan demografis serta faktor historis, budaya dan bahasa yang sama untuk membentuk sebuah koloni (perkampungan) yang bernama Wamelai dan pimpinannya disebut Mieno Wamelai.

Perkampungan ini terus berkembang menjadi delapan kampung meskipun masih terkesan sederhana, yaitu empat kampung pertama dipimpin oleh Kamokula (orang tua) yang terdiri dari Kamokulano Tongkuno, Kamokulano Barangka, Kamokulano Lindo, dan Kamokulano Wapepi. Empat kampung lainnya dipimpin oleh Mieno (pimpinan) mencakup Mieno Kaura, Mieno Kansitala, Mieno Lembo dan Mieno Ndoke.

Ada hal yang menarik dalam pemilihan ataupun suksesi Pimpinan di Kerajaan Muna. Tidak seperti kerajaan lainnya yang bersifat monarki. Pemilihan Raja-Raja di Muna dilakukan berdasarkan demokrasi tak langsung.

Menurut Hadi (2016), demokrasi tak langsung adalah demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat dalam pengambilan suatu keputusan negara secara tidak langsung, artinya rakyat mengirimkan wakil yang telah dipercaya untuk menyampaikan kehendak mereka. Jadi di sini wakil rakyat yang terlibat secara langsung menjadi perantara seluruh rakyat. Wakil rakyat tersebut, tergabung dalam sebuah lembaga yang disebut Dewan Sara (Dewan Kerajaan).

Dewan Sara Kerajaan Muna beranggotakan: Raja Muna, Bhonto Bhalano (Menteri Besar/Penasehat Raja), satu orang Mintarano Bhitara (Menteri Penerangan), dua orang Kapitalao (Menteri Pertahanan), satu orang Kapita (Kepala Penjaga Raja), empat orang dari Kaghoerano (Kecamatan), dan empat orang Fato Lindono (Empat Kampung Tua).

Tugas Dewan Sara adalah mengangkat dan memberhentikan Raja, membuat segala bentuk undang-undang ataupun peraturan dalam sistem tatanan pemerintahan kerajaan, mengadili setiap tindakan dan perbuatan seseorang, masyarakat, dan raja sendiri yang berkaitan dengan pelanggaran hukum.

Layaknya sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti zaman orde baru, Dewan Sara Kerajaan Muna juga melakukan Musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mengangkat dan memberhentikan Raja. Sistem seperti ini sebenarnya hampir mirip dengan sistem pemerintahan Islam dimasa Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang lurus yaitu Abu Bakar As-Sidiq ra, Umar Bin Khotab ra, Usman Bin Afan ra dan Ali Bin Abi Tholib ra). Dimana para khalifah yang lurus tersebut diangkat bukan karena memiliki silsilah hubungan darah yang langsung, akan tetapi berdasarkan kesepakatan dari umat melalui tokoh-tokoh (alim ulama) ataupun tokoh yang berpengaruh di zaman Sahabat Rasulullah SAW.

Seirama dengan itu, terdapat tiga momentum penting yang dapat menjadi pelajaran berdemokrasi dalam pemilihan Raja di Pulau Muna. Pertama, terpilihnya Raja Muna, La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula (Raja yang muncul dari bambu) yang merupakan Raja pertama.

La Eli menjadi Raja Muna sejak tahun 1371-1395 Masehi setelah disepakati oleh tokoh-tokoh kampung baik Kamokulano (orang tua kampung) maupun Mieno (pimpinan kampung). Padahal Raja Muna La Eli bukanlah asli Muna, beliau adalah Putera Raja Luwu dari Sulawesi Selatan. Kedua, Terpilihnya La Ode Saete menjabat Raja Muna Ke-24 mulai tahun 1816-1830 masehi yang notabene beliau adalah Putera Petta Marewa yang berasal dari Bugis Sinjai atau ada juga yang menyatakan bahwa beliau berasal dari Bugis Bone.

La Ode Saete yang bergelar Sorano Masigi (Raja yang mendekati masjid) diangkat oleh Dewan Sara menggantikan La Ode Sumaili yang bergelar Omputo ne Sombo (Raja yang dihukum rajam). La Ode Sumaili dihukum oleh Dewan Sara karena dianggap melanggar dasar-dasar hukum Kerajaan Muna yang berdasarkan ajaran Agama (Islam). Dimana, beliau terlalu bersikeras menentang perkawinan Petta Marewa dengan Wa Ode Kadingke yang bergelar Kapita Tiworo (Penjaga keamanan Daerah Tiworo) hanya karena perbedaan suku dan mahar yang tidak sesuai menurut pendapat beliau.

La Ode Saete meskipun turunan bugis langsung, namun tetap mendapat gelar La Ode (gelar bangsawan di Muna identik dengan Raden di Jawa) karena dalam perkawinan Ayahanda dan Ibunda beliau telah melalui penyetaraan status bagi suku yang tidak berasal dari Muna, terkecuali bagi suku Buton yang biasa disebut fetegho rumampe.

Ketiga, pengangkatan La Ode Ahmad Maktubu (Omputo Milano we Kaleleha) menjadi Raja Muna ke-31 yang berkuasa sejak tahun 1906-1914 Masehi. Beliau adalah anak dari Sultan Buton La Ode M. Saalihi (Oputa Munara) dengan Wa Ode Ogo Puteri dari Raja Muna La Ode Bulae (Sangia Laghada). Bila kita mengkaji kembali bahwa turunan ditentukan berdasarkan sistem paternalistik (garis keturunan laki-laki), maka La Ode Ahmad Muktubu berasal dari Buton. Sebelum beliau diangkat dan dilantik menjadi raja, terjadi polemik yang begitu alot.

Pada awalnya masyarakat Muna tidak menerimanya menjadi Raja Muna, karena Dewan Sara Muna mencium aroma tidak sedap dari kedatangan La Ode Ahmad Maktubu di Pulau Muna yang dianggap sebagai upaya pemerintah Kolonial Belanda melakukan intervensi terhadap Kerajaan Muna yang berdaulat melalui Kesultanan Buton. Sehingga pada saat itu kecenderungan Dewan Sara Muna tertuju pada La Ode Tau yang kebetulan menjabat sebagai Kapitalao Lohia.

Penentangan lebih keras terhadap La Ode Ahmad Maktubu juga datang dari Kino Lahontohe. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk memberikan dedikasinya kepada Kerajaan Muna, sehingga beliau mempersunting Puteri Kino Lahontohe yang perlahan tapi pasti dapat meredahkan penolakan terhadap dirinya. Akhirnya, La Ode Ahmad Maktubu diangkat menjadi raja oleh Dewan Sara Muna selepas meninggalnya La Ode Tau.

Berdasarkan ketiga peristiwa pengangkatan Raja Muna tersebut, maka dapatlah kita mengambil pelajaran penting. Pertama, Masyarakat Muna adalah pemilih cerdas dan rasional dalam menentukan masa depan kerajaannya. Mereka meletakkan demokrasi pada posisi yang sebenarnya, jauh dari politik identitas berupa kesukuan, ras, dan kepentingan kelompok tertentu. Ini adalah hal yang patut menjadi contoh pada era demokrasi sekarang ini, dimana pemilihan para pemimpin wilayah (mulai dari Bupati/Walikota, Gubernur, sampai Presiden) ataupun menjadi anggota legislatif mesti mengedepankan nilai-nilai rasionaliltas yang jauh dari politik identitas maupun money politic.

Kedua, persamaan kedudukan manusia dihadapan hukum, tidak dilihat dari status ataupun jabatannya sehingga meskipun Ia seorang Raja bila bersalah, maka tegaklah hukum kepadanya. Apalagi hal itu berkaitan dengan hukum dasar negara yang begitu sensitif.

Masyarakat Muna dahulu tergolong sangat memegang prinsip-prinsip dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu prinsip tersebut yang masih terus dipertahankan adalah Hansu-hansuruana badha somano konohansuru liwu, artinya biarlah badan hancur (binasa) asalkan negara tetap berdaulat, Hansu-hansuruana Liwu somano konohansuru sara, artinya biarlah negara porak- poranda asalkan pemerintahan tetap tegak, Hansu- hansuruana sara somano konohansuru adhati, artinya biarlah pemerintahan bubar/goyah asalkan adat tetap ada, Hansu-hansuruana adhati somano konohansuru tangka agama, artinya biarlah adat hancur/tidak terpakai lagi asalkan agama tetap ada.

Ketiga, Masyarakat Muna sudah mensejajarkan kedudukan laki-laki dan wanita pada posisi yang sama (kesetaraan jender) dan ini sudah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya, dimana seorang wanita yang bernama Wa Ode Kadingke pun dapat menempati posisi sebagai Kapita. Padahal jabatan kapita sesungguhnya selalu diduduki oleh laki-laki di zaman itu.

Bila masyarakat Muna dahulu di era kerajaan sudah melaksanakan demokrasi secara baik, maka sudah selayaknya seluruh elemen bangsa pada era reformasi mesti menerapkan demokrasi secara komprehensif berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negera Republik Indonesia tahun 1945. Bukan lagi saatnya memilih pemimpin hanya karena persamaan suku, ras, kepentingan kelompok tertentu atau yang paling menyedihkan karena uang. Sebab bila kita melakukan itu, maka sejatinya secara tidak sadar kita telah menghilangkan hak sesorang untuk dipilih secara normal maupun rasional dan kita pun juga telah menghilangkan hak kita untuk memilih sesuai prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Janganlah kita pertaruhkan nasib daerah ataupun negera untuk kepentingan yang bersifat sementara saja. Untuk itu, perlunya kita memahami kriteria dalam memilih pemimpin ataupun wakil rakyat di negeri ini sesuai apa yang telah dititipkan oleh Kamokula (orang tua) di Muna dahulu, yaitu:

1) Pemimpin harus memiliki agama yang baik, dengan memiliki agama yang baik diharapkan ia dapat berpikir dan bertindak positif serta bijaksana, jujur, adil mengikuti perintah dan larangan Allah SWT.

2) Pemimpin harus memiliki keberanian, karakter seperti ini dapat dilihat dari keberaniannya untuk bertindak melakukan karya-karya kreatif dan inovatif bahkan bersifat kontroversial dan siap menghadapi setiap resiko dari tindakannya tersebut. Bukanlah dikatakan berani bila hanya bersifat pasif, tidak mau berusaha dan siap mengambil resiko, bahkan yang lebih memprihatinkan dari itu adalah karya kreatif yang dibuat oleh orang lain sering diklaim sebagai karyanya sendiri.

3) Pemimpin harus berilmu dan cerdas. Memiliki kemampuan seperti ini, maka seorang pemimpin mempunyai pandangan jauh kedepan untuk memajukan daerahnya dengan sikap dan tindakan yang brilian yang bisa jadi orang lain belum sempat memikirkannya.

4) Pemimpin harus mengayomi serta melindungi masyarakatnya. Seorang pemimpin mesti memberikan rasa aman dan tenang pada masyarakatnya, setiap masyarakat yang datang kepadanya dengan berbagai masalah, maka pemimpin tersebut hadir untuk memberikan solusi dan perlindungan.

5) Pemimpin harus kaya, kaya disini baik dari segi jasadiah maupun bathiniah. Dari segi jasadiah, maka pemimpin mempunyai harta yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya. Tidak sebaliknya ingin menjadi pemimpin hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencari kekayaan belaka. Dari segi bathiniah, maka pemimpin harus memiliki jiwa dan sikap dermawan. Pemimpin senang memberikan bantuan barupa harta dan lainnya pada masyarakat yang membutuhkan, sehingga Ia jauh dari sifat-sifat pelit dan serakah.

 

Penulis: La Ode Agus Salim Mando, S.Hut., M.Sc.

(Pemerhati Sejarah dan Budaya Muna)

  • Bagikan