Belajar Incorporated dari Rekomendasi UNWTO soal Air Connectivity

  • Bagikan
Belajar Incorporated dari Rekomendasi UNWTO soal Air Connectivity

SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Salah satu yang membuat Menkomar Luhut Binsar Pandjaitan merasa “klik” dengan Menpar Arief Yahya adalah benchmark. Selalu ada contoh sukses, dari negara lain, yang membuatnya “pede” untuk melangkah dan membuat keputusan penting. Karena tugas terbesar dari seorang pemimpin itu memberi arah dan mengalokasikan sumberdaya, menuju arah tersebut.

“Indonesia Incorporated itu tidak bisa tidak! Kabupaten-Kabupaten di Danau Toba itu tidak mungkin bksa jalan sendiri-sendiri. Harus sinergi, berkolaborasi, maju bersama, incorporated,” ucap Menkomar Luhut Binsar Pandjaitan di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kemenpar yang di gelar di Hotel Borobudur, Jakarta, 30-31 Maret 2017. 

Luhut juga langsung menunjuk dan memberi contoh Borobudur, Jawa Tengah. Tidak bisa berdiri sendiri. Harus terintegrasi dengan sempurna, antar daerah yang memiliki destinasi. Itu akan saling menguatkan, saling menaikkan value, dalam bingkai “Indonesia Incorporated.” 

“Sebentar lagi Badan Otorita Pariwisata Borobudur akan jadi! Maka Jogja Solo Semarang (Joglosemar) harus terkoneksi baik dalam infrastruktur dasar maupun program kepariwisataannya. Ada Sangiran di Solo, ada Karimunjawa di laut Jawa, ada Jogjakarta, ada Dieng, yang saling menguatkan destinasi dengan ikon Borobudur,” papar Luhut. 

Itu semua adalah proses membangun soliditas destinasi. Kunci sukses pengembangan destinasi itu dipaparkan dengan gamblang oleh Menpar Arief Yahya. Melalui satu rumus yang dia sarikan dari banyak sumber, menjadi 3A. Atraksi, Akses, Amenitas. “Benar, apa kata Pak Menko Luhut. Ketiga-tiganya harus kompak, ketiganya harus solid, speed dan smart. Ketiganya harus incorporated, punya arah dan tujuan yang sama, memajukan pariwisata,” ungkap Arief Yahya. 

Dalam hal Akses, Arief Yahya meyakini hasil kajian UNWTO, United Nation World Tourism Organization yang berpusat di Madrid, Spanyol itu bisa jadi bahan referensi. Bahwa “jembatan udara” itu berdampak signifikan dalam pariwsata di negara kepulauan seperti Indonesia. “Judulnya air connectivity and its impact on tourism. Ini bukan kajian baru, tetapi sudah dilaunching UNWTO sejak 2014,” jelas Arief Yahya. 

Pertama, harus ada deregulasi yang mendasar dalam penerbangan nasional. Permudah izin slot, dibuka lebih banyak bandara, yang ada destinasi level dunia dibuat international airport, lengkapi seluruh fasilitas yang terkait dengan syarat menjadi bandara internasional, dan jangan dipersulit. 

“Tiga poin yang harus disentuh. Air Service Agreement, Airport Development, Multiple Brand Strategy for Legacy Carriers,” kata Arief yang mencuplik dari kajian panjang UNWTO. 

Dia mencontohkan kerjasama bilateral dalam air service, yang signifikan mendongkrak angka kunjungan wisatawan. Jepang dan USA tahun 1998, langsung menaikkan inbound tourism hingga 33%, dan menanbahn seats capacity 10%. Lalu Korea Selatan dan USA, juga sama, menaikkan 26.2% tourism, dan menambah kapasitas angkut hingga 26%. 

India dan USA tahun 2005 sejak ada agreement, juga langsung mendongkrak jumlah wisman hingga 25,9% dan menambah daya tampung pengangkutan udara sampai 26%. Australia-USA tahun 1995 juga menaikkan wisman sampai 16%, dengan seats capacity 15%. “Singapore, Thailand, Malaysia juga sudah menggunakan pola ini,” papar Arief Yahya. 

Kedua, pembangunan airport, perluasan terminal, perpanjangan runway, di Jepang, langsung menaikkan jumlah kunjungan turis hingga 50-60% dalam 2 tahun, pasca pembangunan. “Ini bukan kata Arief Yahya, bukan kata saya, tapi data UNWTO yang berbicara tanpa kata-kata! Saya selalu menghindari subjektifitas dengan kata-kata, biarlah angka yang bicara,” sebut Arief Yahya. 

Jepang, Malaysia, Thailand, Singapore, Korea ceritanya sama. Pembangunan runway Narita International Airport di Tokyo tahun 2012-2013. “Dari 8 juta wisatawan, naik 13 juta (2014) dan sekarang sudah 20 juta,” kata Arief. Senada ceritanya dengan Kuala Lumpur International Airport-2 tahun 2014, terminal penumpang-2 utama Incheon Seoul Korea juga tahun 2011, Changi Int Airport Singapore 2008, Pembangunan runway Suvarnabhumi Bangkok dan reopening Don Mueang 2009 di Thailand, juga berdampak. 

Ketiga, multiple brand strategy, yang dia contohkan Singapore Airlines. SQ istilah populer maskapai penerbangan dari Singapura itu punya airlines yang kelas menengah dan LCC – Low Cost Carrier, yakni Silk Air, Tiger dan Scoot. SQ sendiri bermain di full service, jarak jauh atau long haul, Silk Air jarak menengah dan full service. “Mereka punya Tiger Air yang nerrow body dan Scoot Air yang wide body, dua-duanya LCC,” ungkap Arief Yahya. 

Jepang punya All Nippon Airway (full service), Air Japan (chartered airlines), ANA Wings (domestik), Air Do (LCC Domestik), Vanilla Air (LCC International). Thailand juga punya Thai Airlines, untuk yang full service dan Thai Air serta Nok Air yang sama-sama LCC. 

“Semua benchmark itu sangat aktual dan diikuti banyak negara yang ingin sukses serupa. Ingat, mereka bisa begitu, karena mereka begitu! Mereka menemukan formulasi ini sudah melalui exercise yang panjang, proses jatuh bangun berdarah-darah. Kita jangan memulai dari yang babak belur, kita harus memulai dari ujung akhir,” istilah Menpar Arief Yahya.

Lalu bagaimana implementasi incorporated di Indonesia? Sampai di mana? Seberapa jauh? Ikuti lanjutan catatan seri berikutnya, dari Rakornas Kemenpar Triwulan I tahun 2017.


Kemenpar RI

  • Bagikan