Cegah Penyimpangan Seksual Secara Sistemik

  • Bagikan
Risnawati, STP (Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

SULTRAKINI.COM: Akhirnya, Porseni waria se-Kabupaten Kolaka yang agendanya pada hari Rabu, 28 Februari sampai 4 Maret 2018 di Lapangan Bola Mokole Sou Kelurahan Watubangga, dibatalkan karena elemen masyarakat muslim menolak kegiatan tersebut

Dilansir dalam KBRN, Kendari: Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terus gencar mengampanyekan bahaya virus HIV/AIDS bagi masyarakat. Salah satu komunitas yang dianggap paling rawan terkena penyakit HIV/AIDS adalah komunitas wanita-pria (waria).

Direktur Utama RSUD Bahteramas, Dr. Yusuf Hamra mengatakan keberadaan waria merupakan salah satu populasi kunci, karena ada yang beraktivitas di dunia malam sehingga paling berpotensi menyebarkan virus HIV/AIDS. Ditambah lagi masih banyak waria yang belum paham cara mencegah agar tidak tertular virus berbahaya tersebut.

“Mereka termasuk berisiko yang paling rentan, populasi kunci namanya. Jadi, kita harapkan Waria itu banyak berperan menjadi motor untuk menggerakkan teman-temannya, minimal memeriksakan kesehatannya,” tutur Dr. Yusuf Hamra di Kendari, Selasa (28/11/2017).

Ia menambahkan, saat ini jumlah waria yang tersebar di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara mencapai 1.843 orang. Tidak semua Waria berprofesi sebagai pekerja seks komersial, tetapi ada yang berprofesi sebagai wedding organizer, penyanyi hingga bekerja di salon kecantikan.

Maraknya kontes Wanita Pria (Waria), bahasa pasarannya bencong dan bahasa gaulnya LGBT di Sultra menuai banyak kritikan. Bahkan MUI Kolaka turut menyampaikan sikap tegasnya, sebab itu sama saja membenarkan penampilan seperti waria.
“Padahal dalam agama sudah jelas larangannya, laki-laki dilarang berpenampilan seperti perempuan dan sebaliknya,” tegas Ketua MUI Kolaka, DR. KH Zakariah Minggu (25/2/2018).

Sebagai daerah yang penduduknya mayoritas muslim harus menjadi pertimbangan. Terlebih setelah melihat fenomena yang kini terjadi di antaranya kontes waria yang telah digelar oleh beberapa wilayah di Sultra.

Budaya Indonesia sejatinya, tidak lepas dari nilai-nilai agama, terlebih agama yang merupakan dasar dari keberadaan dan kemerdekaan negara ini. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal UUD 1945, yakni Ketuhanan yang Maha Esa.

Bagaimana dengan Islam?
Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap dan sempurna di dunia. Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling kecil. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata semuanya diatur secara adil dan bijaksana. Bahkan kaum waria pun tak lepas dari pembahasan.

Pencegahan dan pemberantasan LGBT termasuk waria tak bisa dilakukan secara parsial, tapi harus sistemik.

Allah SWT menjelaskan bahwa, tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS an-Nisa [4]: 1). Karena itu, hubungan seksualitas yang dibenarkan dalam Islam hanyalah yang ada dalam ikatan pernikahan yang sah secara syar’i.

Semua hubungan seksualitas di luar ikatan pernikahan adalah ilegal dan menyimpang. Lesbian, homoseksual, anal seks, perzinaan, semuanya adalah perilaku seks yang menyimpang yang tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang normal. Semua itu juga menjadi ancaman terhadap keberadaan umat manusia dengan segala martabat kemanusiaannya.

Perilaku transgender juga merupakan perilaku yang dilaknat dalam Islam. Ibnu Abbas ra mengatakan: Rasulullah SAW telah melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Di dalam Islam, ide dan perilaku LGBT termasuk waria jelas menyimpang dan abnormal. Ide LGBT adalah ide haram. Perilaku LGBT adalah perilaku dosa. Karena itu ide LGBT tidak boleh dilindungi oleh negara dengan dalih apapun. Sebaliknya, negara harus menjatuhkan sanksi sesuai hukum Islam untuk menghentikan perbuatan keji kaum LGBT.

Pertanyaannya, apakah mungkin negara yang berpaham demokrasi ini bisa menyelesaikan masalah LGBT termasuk waria di dalamnya?

Solusi Sistemik
Sistem demokrasi tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah LGBT secara tuntas. Sebaliknya, sistem ini akan melegalkan kejahatan itu seperti yang terjadi di banyak negara penganut sistem tersebut.

Penanaman keimanan dan ketakwaan akan membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis, mengutamakan kepuasan hawa nafsu. Selain itu, negara juga tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat. Masyarakat akan diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ (naluri melangsungkan jenis) dengan benar.

Karena itu, penerapan sistem Islam akan meminimalkan seminimal mungkin faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, pedofilia, sodomi dan perilaku seksual menyimpang lainnya. Jika masih ada yang melakukannya, maka sistem ‘uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Menurut syariah Islam, pelaku homoseks hukumannya adalah dijatuhkan dari tempat yang tinggi sampai mati.

Alhasil, LGBT termasuk komunitas waria akan bisa dicegah dan dihentikan hanya oleh sistem Islam yakni Khilafah. Di dalam naungan khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai syariah Islam. Maka, Islam akan terwujud nyata sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam.

Oleh: Risnawati, STP (Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

  • Bagikan