Cerita Pilu Jejak Guru Honorer di Tanah Konkep

  • Bagikan
Sitti Salma, seorang guru honorer di dua sekolah di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sultra. Setiap harinya, ia berjalan kaki berkilometer untuk memenuhi tugas sebagai abdi negara. (Foto: Aldi Darmawan/SUL

SULTRAKINI.COM: KONAWE KEPULAUAN – Sabar dan kuat adalah kata yang tepat disandang salah satu guru SMP Negeri 1 Wawonii Timur dan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN) Ladianta. Diusianya 43 tahun, semangat Sitti Salma S.Ag masih menggebu-gebu untuk terus hadir di tengah-tengah para siswanya.

Usai meraih gelar sarjana tahun 2000 di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Kendari, ia kembali ke kampung halaman di Desa Lebo, Kecamatan Wawonii Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara pada 2001. Tujuannya tidak lain, dirinya ingin mengabdikan diri di tanah sendiri. 

Saat itu, Salma tercatat sebagai honorer di MTSN sampai tahun 2004. Kemudian kembali honor di sekolah tersebut pada 2010 sampai kini.

Bagi ibu satu anak ini, menjadi guru adalah tempat menanam amal kebaikan. Apalagi dirinya mengajarkan tentang pendidikan ilmu agama. Namun kebesaran hati untuk terus mengajar terkadang muncul rasa lelah, sebab dirinya harus menempuh jarak yang begitu jauh dari kediamannya menuju lokasi sekolah. Tidak tanggung-tanggung, berkilometer jauhnya harus ditempuh setiap kali ke sekolah.

Cerita Salma bersama SultraKini.Com, membuka mata akan penawar kelelahannya menjadi abdi negara. Kata Salma, ketika rasa lelah menguasai pikiran, ia kembali membesarkan hati untuk terus berusaha mengasupi ilmu kepada anak didiknya. Ia juga merasakan bagaimana jadinya ketika para siswa semangat datang ke sekolah, namun tanpa kedatangannya.

Salma juga mengajar di SMP Satu Wawonii Timur sejak tahun 2011. Jarak tempuhnya juga terbilang melelahkan, yakni dua kilometer dari kediamannya. Untuk mengantisipasi agar tidak telat sampai ke sekolah, ia berangkat dari rumah mulai pukul 5.40 Wita. Dan pulang mengajar di sore harinya.

Meski mengajar di dua tempat berbeda, belum juga mendatangkan kesejahteraan untuk ia dan keluarganya. Berbicara gaji, Salma mendapat honor mengajar di MTSN tiap triwulan senilai Rp 900 ribu. Sedangkan di SMP Satu Wawonii Timur hanya mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).  

“Kalau dilihat dari gaji yang didapatkan, tentu tidak akan memenuhi kebutuhan dapur. Kita hanya bisa berpikir dicukup-cukupkan saja,” katanya dengan nada pelan, Senin (14/8/2017). 

Salma lantas kembali bercerita, suka duka menjadi guru honorer dari tahun ke tahun. Waktu daerah ini belum mekar menjadi kabupaten,  akses jalan menuju sekolah lewati semak-semak, pinggir pantai, mendaki gunung dan melewati sungai yang titiannya cuman satu batang kelapa. Nah di sini terkadang kendalanya banyak binatang liar seperti babi hutan yang kadang tiba-tiba lari dan membuat kaget. Kalau sudah lewat pinggir pantai, terkadang kaki Salma tertanam lumpur. Kendala lainnya dihadapi Salma, yakni  cuaca panas atau hujan yang membuat banjir di kali kecil.

Namun kini jalur ke sekolah mulai membaik sejak dua tahun terakhir. Bahkan kendaraan sudah terlihat berlalu lalang di tempat itu. Acapkali ia pun mendapat boncengan hingga ke sekolah.

“Paling menyenangkan adalah mengajar anak-anak didik dan yang paling bikin sedih kalau melihat anak-anak yang sudah rela juga jalan kaki dari rumah ke sekolah, lalu setibanya di sekolah tidak ada guru yang mengajar. Ini yang bikin saya sedih dan tidak tega,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Salma masih berharap, kalau memungkinkan pemerintah mengangkatnya menjadi PNS. Tetapi jika tidak, ia hanya berharap pemerintah setempat bisa menghargai pengorbanan para guru honorer dengan memberikan kucuran gaji honor dari pemda.

“Saya yakin di daerah kita ini masih banyak guru honor yang bernasib sama seperti saya ini. Kalau guru honor dihargai jasa-jasanya, hal ini akan sangat beriringan dengan kualitas anak didik. Kami juga tidak bisa memungkiri bahwa status honor tanpa gaji yang memadai akan mempengaruhi psikologis mengajar. Kami juga berpikir mau makan apa nanti sebentar ini,” ujar salma.

Menurutnya, pemerintah juga berpihak hanya pada membangun fisik sekolah. Namun belum maksimal meningkatkan taraf hidup para guru honorer. “Pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan guru PNS, jadi harusnya pemerintah pikirkan juga guru honorer agar diberi ruang kesejahteraan,” terangnya.

Laporan: Aldi Dermawan

  • Bagikan