Corona Efect dan Krisis Komunikasi Elite

  • Bagikan
Sumadi Dilla
Sumadi Dilla

Oleh: Sumadi Dilla (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Halu Oleo, Kendari)

KINI dunia dihadapkan dengan situasi sulit, prihatin, langka dan menghawatirkan yang melanda umat manusia, menghentak serta mengusik nurani dan nalar. Kita pun akhirnya tersadarkan bahwa penduduk dunia sedang menghadapi sebuah ancaman serius kemanusiaan, Covid-19.

Beragam Informasi dan berita Covid-19 silih berganti memotret situasi yang  mencekam menghiasi berbagai media seantero jagad. Kisah, cerita dan peristiwa epic selalu  hadir dalam berbagai bentuk kesedihan, kengerian, kecemasan dan kepanikan warga dunia.

Tak ketinggalan pula kisah  perjuangan, pengorbanan dan aksi heroik dari para dokter/petugas medis  termasuk penderita Covid-19 dalam menghadapi ancaman global kehidupan dan kemanusiaan, memenuhi halaman utama media massa dan sosial.

Pemberitaan Virus Covid-19 yang semakin masiv menjelma menjadi teror berita yang meresahkan dan menakutkan dalam masyarakat saat ini. 

Berdasarkan data kasus infeksi virus Corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 di seluruh dunia kini telah mencapai 307.277 kasus, dan ada 92.372 yang telah dinyatakan sembuh berdasarkan peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE, Minggu, (22/3/2020). Virus ini telah menyebar di 171 negara di dunia termasuk Indonesia.

Data dan fakta tersebut setiap saat terus berubah menjadi bukti betapa dahsyatnya pengaruh wabah virus ini serta kuatnya dampak terpaan berita ancaman Covid-19 bagi keberlangsungan kehidupan dan  peradaban umat manusia. Kekinian kemana pun dan dimana pun kita, baik di jalan, komplek perumahan, perkantoran, terminal, pelabuhan, airport, pasar, mall, swalayan, maupun di ruang terbuka,  informasi Covid-19 selalu hadir baik dalam bentuk poster, pamflet,  striker, wallpaper, spanduk, baliho serta papan reklame yang menyedot perhatian kita.

Demikian  pula konten media masa (sosial) dipenuhi suguhan berita Covid-19 yang semakin gencar, tak terbendung. Tak heran informasi dan pemberitaan virus ini menempati top of mind dalam benak publik, serta mampu menggeser  cara, kebiasaan dan perilaku masyarakat dunia dalam beraktivitas, berinteraksi dan berkomunikasi.

Banyak pakar dan para ahli di bidangnya masing-masing memprediksi, bahwa kejadian wabah Covid-19 membawa dampak luar biasa bagi ketahanan keluarga, organisasi, komunitas, masyarakat dan negara. Secara signifikan dampak tersebut menciptakan persoalan baru yang serius sebagai bahaya atau malapetaka secara sosial, ekonomi, politik.

Hasil riset yang dilakukan LIPI (2020) yang dirilis darilaut.id terhadap penyebaran dan pemberitaan Covid-19  menyimpulkan, bahwa  dampak wabah ini telah mencapai kompleksitas kerumitan yang disebut “outbreak” (kejadian luar biasa) yang akan mengganggu stabilitas, keteraturan, serta kemapanan yang telah terbentuk diberbagai sektor kehidupan. Disisi lain dampak ini memberi efek kejut bagi lahirnya pola baru kebiasaan masyarakat menghadapi dan merespon peristiwa, kejadian serta pemberitaan Covid-19 sebagai realitas yang tak terhindarkan.

Seiring dengan itu, informasi tentang peristiwa, kejadian atau pemberitaan Covid-19  diruang publik atau tempat umum melalui out door media dan media sosial, menjadi magnet baru bagi  masyarakat dan institusi media dalam menggiring issue, wacana, opini, dan perhatian publik.

Sadar atau tidak publik pun merespon dan bereaksi secara “seragam” dan “serentak” terhadap informasi dan berita Covid-19, laksana irama harmony orkestra yang dipandu seorang dirigen profesional. Keseragaman dan keserantakan dapat dilihat dari aktifitas baru yang dilakukan, jika sebelumnya mereka sibuk beraktivitas diluar rumah, kini mereka harus rela berdiam dalam rumah.

Jika sebelumnya mereka belanja kebutuhan bulanan secara normal, kini mereka mengeluarkan uang ekstra melebihi kondisi normal. Jika sebelumnya anak sekolah/mahasiswa terbiasa belajar dipandu sang guru dan dosennya, kini mereka harus ikhlas belajar secara mandiri di rumah. Jika sebelumnya para pekerja sektor informal (buruh, sopir, ojol, kurir, tani, nelayan) dapat menghitung dan menikmati penghasilannya, kini mereka harus bersabar meratapi kekurangannya. Tak terkecuali para ibu rumah tangga, dampak Covid-19 membawa efek psikologis bagi mereka.

Jika para ibu rumah tangga sebelumnya terbiasa mengatur kebutuhan keluarga semata, kini mereka harus beralih profesi menjadi “guru” privat untuk anaknya di rumah, yang bagi sebagian besar terasa asing dan merepotkan. Bahkan parahnya lagi, dampak Covid-19 mengharuskan kita mengatur jarak komunikasi, melindungi diri, hingga rasa curiga, dan was was baik terhadap sahabat, teman sejawat, maupun saudara kita sendiri.

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa virus Covid-19 menciptakan multyplayer efect yang luar biasa, sehingga saya sebut sebagai “Corona Efect”.  Inilah sebuah fenomena baru sepanjang sejarah manusia yang berhasil membatasi dan menghentikan mobilisasi dan pergerakan manusia, mesin, barang, jasa, dan bisnis di abad modern.

Telaah Kritis “Corona Effect’ dan Paradoks Efek Komunikasi

Merujuk dan mencermati sudut pandang corona effect yang berdampak luas, sesungguhnya dapat ditelaah dari beberapa pendekatan ilmiah.  Secara faktual dampak dimaksud dapat dilihat dalam berbagai bentuk baik itu pendapat, perbincangan, diskusi, seminar, tulisan, riset maupun aksi. Bentuk dampak tersebut merupakan efek dari produksi dan distribusi pesan yang masif dalam perspektif komunikasi. Bahkan ketika informasi Covid 19 diproduksi berulang-ulang, dalam ruang dan waktu yang sama tanpa jeda secara spontan, atau terencana, oleh individu, kelompok, masyarakat, menunjukkan bahwa respon balik terhadap informasi atau pesannya telah mencapai tingkat pemahaman dan pengetahuan kritis publik.

Maka tak heran, jika dalam masa “karantina” pandemi Corona ini, banyak ditemukan informasi atau pesan serial (berantai) tentang himbauan, ajakan, seruan, saran, tips, hingga nasehat bercokol di media dalam ruang, outdoor media, platform media berita atau media sosial. Fakta-fakta tersebut menjadi bukti bahwa pesan’ yang disampaikan diterima dan direspon publik. Demikian pula cara atau tindakan yang dilakukan publik seperti, penggunaan hand sanitiser, sarung tangan, masker, social distancing/ phychologist distancing, berdiam di rumah, termasuk was was terhadap orang lain, juga merupakan  efek pesan komunikasi.

Menurut Keith R. Stamm dan John E. Bowes (1990), efek pesan komunikasi memiliki 2 (dua) kategori sifat yaitu; premary effect (efek primer) dan secondary effect (efek sekunder). Menyetir pendapat Keith R. Stamm dan John E. Bowes, bahwa munculnya pemahaman dan pengetahuan publik mengenai Covid-19 secara merata tentang ciri, gejala, sifat, bahaya, serta dampaknya, bagi manusia dalam waktu singkat tanpa terkecuali, merupakan tahap awal dari premary effect dalam komunikasi massa.

Sedangkan tindakan dan cara kita meneruskan, melanjutkan  ataupun mengomentari informasi Covid-19 yang kita terima dan pahami dengan kesadaran kita kepada teman, keluarga, kelompok, group sosial media, atau media massa, untuk diketahui, dimengerti, dan diikuti, merupakan tahap lanjut dari premary effect dimaksud. Maka tak heran, kekinian kita disibukan dengan memantau, mengakses, melihat, menyimak, bahkan mengirim atau meneruskan informasi baru  perkembangan Covid-19 yang mengglobal. Padahal sebelumnya publik bersikap skeptis dan jenuh terhadap padatnya informasi yang beragam.

Pada konteks premary effect pemrosesan informasi berlangsung dalam dua tahap (awal-lanjut) secara simultan, ataupun parsial. Simultan maksudnya, efek informasi Covid-19 berlangsung pada tahap awal hingga tahap lanjut, dimana informasi yang kita ketahui diteruskan kepada pihak lain (from know to continue). Sedangkan secara parsial, efek pesan Covid-19 berhenti pada tahap awal, dimana kita hanya menyimak dan menikmati informasi tersebut.

Selanjutnya apabila kita mencermati bentuk-bentuk perilaku yang mencolok di masyakarat saat ini, seperti; kekhawatiran berlebihan, rasa was-was tingkat tinggi, rasa curiga, serta kepanikan tingkat dewa adalah bukti, pemrosesan informasi telah mencapai efek sekunder (secondary effect). Beberapa contoh kongkrit tentang hal ini dapat dilihat dari tindakan panic buying, social distancing, psychologist distancing, bahkan proteksi diri yang berlebihan. Hal ini terjadi sebagai konsekwensi kontrol sumber informasi sangat masif, berlebihan (redundanc), ketat, dan kuat dilakukan.

Namun sayangnya, informasi dan dampak bawaan Covid-19 diatas, diperparah oleh ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab dengan ikut menumpang konten pada platform media sosial dengan menyebar “meme’, teks/narasi, bullying, bahkan hoax. Media berita tertentu pun demikian, tak kalah lihainya menyusun framing beritanya dengan pilihan judul provokatif. Bahkan beberapa media daring (web, blog) pada kasus Covid-19 menyajikan konten beritanya menggunakan teknik clickbait (umpan klik) dengan menampilkan judul dan teks berita yang sensasional dan provokatif, tanpa prinsip-prinsip dan etika jurnalistik.

Pertanyaannya mengapa demikan? Alasannya karena  media daring tersebut  bukan saja bermaksud memberi informasi utuh, jelas dan lugas, dengan kualitas serta akurasi, tetapi mereka mengumbar rasa penasaran publik  untuk selalu terhubung atau mengakses media mereka. Melalui eksploitasi rasa penasaran, publik digiring untuk mengklik tautan berita, sehingga menghasilkan click-through (klik- tayang), traffic, (jumlah pembaca), serta, rating media (peringkat) dalam mendapatkan penghasilan iklan daring.

Singkatnya, praktik media daring tersebut, sebagai bentuk eksploitasi “kesenjangan keingintahuan” (curiosity gap) dengan hanya memberi informasi yang cukup  sehingga pembaca penasaran ingin tahu, tetapi tidak cukup untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut tanpa mengklik pada tautan atau pranala yang diberikan.

Akhirnya, fenomena inilah yang disebut paradoks efek primer-sekunder komunikasi. Paradoks efek dimaksud disebabkan adanya kontradiksi antara harapan (seharusnya); dengan kenyataan yang terjadi atau munculnya perbedaan sikap dan tindakan, atau antara memperjelas informasi dengan mengaburkan informasi. Pada satu sisi masyarakat bersama beberapa media berita dan platform media sosial, dengan kesadaran kritis, etis serta bertanggung jawab memproduksi/mendistribusi informasi Covid-19 secara benar, akurat dan mendidik masyarakat. Sedangkan pada sisi yang lain, masih ada saja oknum, beberapa media berita daring, dan platform media sosial yang secara sinis dan angkuh merilis informasi tidak berkualitas, kurang bermanfaat bahkan menyimpang dari realitas sesungguhnya.

Paradoks Informasi dan Krisis Komunikasi

Jika menarik benang merah antara informasi Covid-19 dengan dampak perilaku masyarakat, media berita dan platform media sosial, yang memperlihatkan kondisi paradoks efek komunikasi, maka kondisi demikian juga terjadi pada komunikasi pemerintah. Pada berbagai kesempatan, perilaku komunikasi publik pemerintah memperlihatkan kegamangan diantara elit dalam memilih/mengambil tindakan komunikasi efektif, sehingga menuai kritik berbagai kalangan.

Sangat tampak dengan jelas efek ‘panicbumb’ yang dirasakan masyarakat, juga merasuki bathin para elit negara dalam mengahadapi situasi kedaruratan. Salah satu contoh nyata sasaran kritik kepada pemerintah adalah ketika presiden mengumumkan 2 (dua) kasus  pertama positif Covid-19 diawal Maret 2020, (theconversation.com,2020).

Kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan pemerintah  terletak pada keakuratan data jumlah pasien sebenarnya, dan terungkapnya informasi pasien yang sejatinya dilindungi undang-undang. Belum lagi komentar menteri kesehatan RI, (detik.com,13/03/2020), tentang ciri dan siklus  Covid-19 yang akan sembuh secara alamiah, bertentangan dengan fakta dan data pasien yang terus bertambah di Indonesia dan negara lainnya.

Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, beberapa elit negara membuat pernyataan berbeda yang ambigu tentang penggunaan masker. Satu pihak menyatakan wajib bagi pasien positif, dipihak lain wajib bagi seluruh warga untuk tujuan pencegahan. Kerancuan Komunikasi pemerintah ini juga terjadi, dengan informasi RAPID Test yang diimpor dalam jumlah yang cukup, untuk disebarkan ke seluruh daerah, faktanya hingga saat ini warga masyarakat dibeberapa daerah belum memiliki akses untuk alat tersebut. Selain itu usulan lockdown (parsial-terbatas) dari pihak-pihak terkait seperti para pakar dan lembaga (MUI, partai politik, Dewan Guru Besar FKUI, Kadin, dll), tidak mendapat perhatian pemerintah pusat, (tempo.com, 19/03/2020).

Lagi-lagi masyarakat dibuat bingung dan skeptis dengan paradoks informasi yang notabene dari elit pemerintah (negara).

Berdasarkan fakta-fakta itulah, kini kita dapat menilai betapa buruknya koordinasi antar elit, lintas kementerian, badan dan lembaga pemerintah RI, dalam manajemen komunikasi publik.

Jika dianalisis terdapat beberapa alasan pemerintah kurang efektif menerapkan prinsip-prinsip komunikasi publik dengan baik. Para elit pemerintah masih terkungkung pada pola komunikasi partisan (sektoral) yang belum berorientasi publik.  Pemrosesan informasi dikelola dengan mengandalkan sumber terbatas dengan kompetensi yang rendah, sehingga informasi menjadi simpang siur. 

Selain itu, sikap kepongahan antar elit yang memposisikan diri sebagai pejabat negara, bukan sebagai pelayan masyarakat. Bahkan sebagian besar informasi dan perilaku elit kurang berorientasi pada ‘public servicess’ bagi banyak orang dalam situasi kedaruratan. Fenomena inilah yang disebut para pakar komunikasi sebagai krisis komunikasi. Krisis ini terjadi akibat beberapa pihak (elit) berada dalam situasi ketidaknyamanan melanjutkan komunikasi karena beberapa alasan, (Monivich, 2001;39), & Levinson, 2009). Akibatnya, informasi yang beredar tidak utuh dan memiliki kepastian.

Belajar dari kasus Covid-19 ini, sejatinya pemerintah menggunakan model Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) dan Risk Communicaton Manajemen (RCM) sebagai kerangka komunikasi publik pada keadaan luar biasa. Dibeberapa negara seperti Amerika Serikat dan Cina, model CERC dan RCM telah menjadi panduan dasar komunikasi kedaruratan. CERC dan RCM diposisikan pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC), (the conversation, 28/03/2020).

Filosofi dari CERC dan RCM adalah bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi utuh dan risiko yang akan terjadi harus dikomunikasikan agar membantu publik membuat keputusan rasional. Dengan demikian komunikasi menjadi instrumen publik mengadopsi perilaku yang diharapkan untuk mengurangi risiko tersebut.

Akhirnya, hikmah dibalik peristiwa wabah Covid-19 bagi bangsa Indonesia adalah, terungkapnya keangkuhan, kepongahan serta kekurangan elit negara, dan terbongkarnya keterbatasan pemerintah menghadapi situasi darurat, dan memaksa negara untuk peduli rakyatnya. Sedangkan bagi kita pribadi, kejadian ini membantu kita untuk membiasakan kumpul bersama keluarga tercinta. (29/03/2020).

Sumber bacaan:

Levinson, Paul, 2009, New Media, Boston

Monivich, 2002, The Language of New Media, Combrige, MA, The MMT Press.

Stamm, R, Keith, Bowes, E, John, 1990, Proses Komunikasi Massa, Rossakarya, Bandung.

http//berita-darilaut.id, 23/03/2020, diakses, 26/03/2020.

http//coronavirus.jhu.edu,24/03/2020, diakses 26/03/2020

http//new-theconversation.com. diakses 28/03/2020

http//m.detik.com.news, 19/03/2020, diakses 27/03/2020.

http//berita.tempo.com, 19/03/2020, diakses 28/03/2020.

http//Indonesiainside.id, 15/03/2020, diakses, 28/03/2020.

  • Bagikan