Dampak Mengerikan Depresi, Serang Otak Hingga Hilangkan Nyawa

  • Bagikan
Dampak Mengerikan Depresi Foto: ilustrasi depresi sultrakini.com
Dampak Mengerikan Depresi Foto: ilustrasi depresi sultrakini.com

SULTRAKINI.COM: Depresi adalah penyakit serius yang bisa menyerang siapa saja. Tidak sedikit orang di dunia yang mengakhiri hidup karena depresi. Kondisi kesehatan mental ini dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) akan jadi beban penyakit kedua tertinggi di dunia pada 2020.

Di Indonesia sendiri kesadaran untuk mengenali gejala depresi dan pergi ke dokter spesialis kejiwaan atau psikolog masih sangat minim. Akibatnya, banyak orang mengabaikan depresi begitu saja tanpa berobat atau berkonsultasi dengan tenaga ahli. Padahal, jika depresi tidak diobati, dampaknya bisa sangat fatal.

Bahaya depresi cukup menakutkan. Berikut beberapa dampak depresi yang umumnya akan menyerang otak.

1. Penyusutan otak

Riset terbaru menemukan bukti bahwa bagian tertentu dalam otak pasien depresi menunjukkan penyusutan. Studi yang ada saat ini menemukan bagian-bagian yang mungkin mengalami penyusutan yaitu hipokampus, talamus, amigdala, lobus frontal, dan korteks prefrontal. Penyusutan yang mungkin terjadi dipengaruhi oleh lama depresi dan tingkat keseriusannya.

Bisa disimpulkan, ketika bagian otak menyusut, fungsi yang terkait dengan bagian otak tersebut ikut terpengaruh. Misalnya, korteks prefrontal dan amigdala bersinergi untuk mengendalikan respons emosional dan pengenalan isyarat emosional pada orang lain. Penyusutan di bagian ini berpotensi menimbulkan penurunan empati pada individu yang mengalami depresi postpartum (PPD).

2. Peradangan otak

Penelitian terbaru juga telah menemukan mata rantai antara inflamasi dan depresi. Walau pun begitu masih belum bisa dipastikan apakah inflamasi yang menyebabkan depresi atau sebaliknya.

Inflamasi otak selama depresi dikaitkan dengan lamanya seseorang menderita depresi. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang-orang yang depresi selama lebih dari sepuluh tahun mengalami inflamasi atau peradangan hingga 30 persen lebih berat daripada orang-orang yang menderita depresi dalam periode lebih singkat.

Karena inflamasi otak bisa menyebabkan sel-sel otak mati, kondisi ini bisa berujung pada penyusutan otak, penurunan fungsi neurotransmiter, dan berkurangnya kemampuan otak untuk berubah seiring pertambahan usia.

Bersama kondisi ini, lambatnya tumbuh kembang otak, kesulitan belajar, daya ingat yang rendah, dan suasana hati yang tidak stabil juga bisa menjadi efek samping.

3. Kekurangan oksigen

Depresi telah dikaitkan dengan berkurangnya oksigen dalam tubuh. Perubahan ini mungkin karena perubahan pernapasan yang disebabkan oleh depresi. Namun masih belum diketahui secara pasti apakah depresi yang menyebabkan kurangnya oksigen atau justru kurang asupan oksigen yang menjadi pemicu depresi.

Faktor sel yang diproduksi sebagai respons terhadap otak yang tidak mendapatkan cukup oksigen (hipoksia) meningkat pada sel-sel imun spesifik yang ditemukan pada orang dengan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar.

Secara keseluruhan, otak sangat sensitif terhadap penurunan jumlah oksigen, sehingga dapat menyebabkan peradangan, cedera sel otak atau kematian sel otak.

Peradangan dan kematian sel dapat mengarah ke sejumlah gejala yang terkait dengan gangguan pertumbuhan, pembelajaran, memori, dan suasana hati.

Bahkan hipoksia jangka pendek dapat menyebabkan kebingungan, seperti yang biasa terjadi pada pendaki gunung. Kurangnya oksigen membuat konsentrasi menurun dan mudah tersesat.

4. Perubahan jaringan dan struktur

Efek depresi terhadap otak juga bisa berujung pada perubahan struktural dan jaringan. Kondisi ini meliputi penurunan fungsi hipokampus yang berdampak pada gangguan memori, penurunan fungsi korteks prefrontal yang berkaitan dengan konsentrasi, serta penurunan fungsi amigdala yang mempengaruhi suasana hati.

Dilansir dari psycholpgytoday.com, depresi dua kali lipat lebih banyak dialami wanita dari pada pria. Alasan sebenarnya bisa sangat bermacam-macam. Namun, dari sisi biologis hingga sosiobudaya ada penjelasannya sendiri.

Dari sisi Biologis, wanita memiliki pradisposisi genetic ( kerentanan genetic) yang lebih kuat mengalami depresi di bandingkan pria. Wanita lebih rentan mengalami perubahan kadar hormon. Khususnya ketika akan melahirkan atau mendekati menopause, keduanya sangat berkaitan dengan tingginya risiko depresi.

Sisi Psikologis, wanita memiliki kecenderungan lebih pemikir. Wanita sering memikirkan sesuatu secara berlebihan yang membuatnya rentan mengalami depresi. Terkadang, hidup wanita dipengaruhi oleh hubungam asmaranya sehingga, ketika muncul masalah dalam hubungannya wanita akan rentan depresi.

Dari Sisi Sosiobudaya, wanita sering menghadapi berbagai kondisi yang membuatnya mudah stress. Misalnya, menjalankan berbagai peran hidup seperti menjadi karier, menjaga rumah tangga, membesarkan anak, merawat orangtua sampai masalah seksisme di masyarakat.

Pastinya ada banyak kemungkinan faktor lain penyebab wanita mengalami depresi. Apalagi di era modern seperti ini dengan berbagai tuntutan dan tekanan yang makin berat, wanita usia berapapun bisa mengalami depresi dan regulasi emosi.

Mulai sekarang, sebaiknya selalu memperhatikan kesehatan mental untuk mencegah depresi. Refreshing, liburan untuk melihat pemandangan yang menyegarkan mata atau mencoba aneka kuliner bisa menjadi obat untuk mengatasi rasa bosan dan stres yang memicu depresi.

Sumber: Berbagai sumber

Penulis: Hariati

  • Bagikan