Demokrasi Memutilasi Hak Asasi? Islamlah Solusinya

  • Bagikan

Menjelang pemilihan presiden 2019, suhu perpolitikan kian memanas. Sejumlah tokoh yang kerap melontarkan kritik terhadap paslon petahanan mulai diajukan ke meja hijau. Di tengah masyarakat pun banyak suara pro-kontra terkait kritik mengkritik. Sebagian menilainya sebagai sebuah kewajaran, yang selainnya menganggap kritik adalah bentuk kebencian. (MuslimahNewsID – 06/02/2019)

Perlu diketahui oleh setiap umat muslim bahwa, kritik adalah bagian dari dakwah. Sebab dakwah hakikatnya ialah mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang munkar. Tak perlu harus di atas mimbar atau bahkan berlagak di depan umum seperti pendekar. Hanya cukup ia mencegah perbuatan yang munkar meski harus berhadapan dengan jenderal. Namun, hingga kini masih saja banyak yang gagal paham terkait hal itu. Mereka menganggap jika dakwahnya berisi kritik maka itu tidak berada dibatas kewajaran.

Dakwah tidak perlu mengkritik atau bahkan bicara soal politik? Ini adalah sebuah kekeliruan dalam berpikir. Apalagi untuk orang-orang yang berilmu sekelas professor. Sebab seharusnya mereka paham bahwa dalam islam tidak hanya sekedar mengatur ibadah saja tetapi juga dalam segala aspek kehidupan termasuk sistem perpolitikan.

Mengingat sistem perpolitikan kini yang katanya demokrasi dan menjujung tinggi hak asasi, apakah faktanya bisa terealisasi? Tidak. Demokrasi yang mereka agung-agungkan ialah demokrasi yang tidak demokratis dan juga hanyalah jebakan para sekularis. Demokrasi hanyalah untuk mereka yang pro terhadap sistem dan segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Bukan untuk mereka yang ingin menegakkan keadilan.

Jika ada yang hendak menegakkan keadilan dengan jalan dakwah, maka hidupnya tidak akan aman dan nyaman. Mereka akan dihadapkan dengan polemik kehidupan dan kebijakan yang berada diluar kewajaran. Mulai dari pencabutan legalitas suatu organisasi, dakwah yang semakin marak diperkusi, munculnya orang gila yang menganiaya kyai, fitnah yang membuat umat islam saling menyakiti hingga penjeblosan ke penjara para oposisi tanpa bukti. Semua itu dilakukan untuk mencegah para aktivis dakwah agar tidak melakukan aksinya yakni mengkritik politik.

Bahkan bukan hanya para aktivis dakwah yang merasakan ketidakadilan, masyarakat kecil pun menjadi korbannya. Pembangunan infrastruktur yang dibanggakan oleh mereka (para pemegang kekuasaan) tidaklah mampu mensejahterakan rakyat. Malah sebaliknya, rakyat semakin berada dalam keadaan terjepit. Sebab hutang luar negeri, dalam hal ini biaya yang digunakan untuk pembangunan semakin meningkat dan akhirnya berdampak pada tatanan ekonomi masyarakat. Mulai dari BBM subsidi yang perlahan menghilang dan harga BBM yang ada susah dijangkau oleh khalayak; pelayanan kesehatan yang baik susah didapatkan; hingga semakin maraknya pekerja asing yang memenuhi kapasitas ruang pekerjaan di negeri ini.

Padahal seorang pemimpin seharusnya menjadi perisai bagi rakyatnya. Seperti dalam sebuah hadits yang menjelaskan bahwa tugas pemimpin (imam) ialah memelihara urusan-urusan rakyatnya. Pemeliharaan urusan rakyat tersebut bisa berupa mencegah segala bentuk keburukan dan kemudaratan agar tidak menimpa rakyat; menghilangkan segala bentuk kemudaratan, kezaliman, keburukan dan kerusakan dari tengah rakyat; memberikan hak kepada mereka yang berhak termasuk memberikan hak rakyat kepada rakyat; serta memberikan yang lebih dari yang memank menjadi hak rakyat supaya kehidupan rakyat lebih baik sampai sebaik-baiknya. (Tabloid Media Umat Edisi 234)

Jika seorang pemimpin tidak memenuhi tugas dan tanggungjawabnya tersebut, maka kita sebagai rakyatnya boleh mengkritik kepemimpinannya. Terutama ketika seorang pemimpin yang melakukan kezaliman yang nyata semisal berbohong dan ingkar janji. Tapi tentunya kritik harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak anarkis tapi tetap kritis dalam menyikapinya.

Bahkan Rasulullah saw., memuji siapapun yang berani mengatakan yang hak di depan pemimpin, bahkan mengatakan itu adalah jihad yang utama.

“seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (Haq) kepada penguasa (Sulthan) yang zalim.” (HR. Abu Dawud no.4346, Tirmidzi no. 2265 dan Ibnu Majah no. 4011)

Jangankan manusia biasa, Rasulullah saw., Sang penerima risalah kenabian juga pernah menerima protes dari para sahabat pada perjanjian Hudaibiyah. Beliau juga menerima kritik saat perang Badar dari Hubab bin Al Mundzir. Kemudian Khalifah Umar bin Khaththab ra yang mansyhur dengan ketegasannya juga pernah dikritik oleh para sahabat terkait pembagian selimut dari Yaman. Seorang wanita juga pernah mengkritik Umar bin Khaththab ketika Umar melarang penambahan mahar, masyhur perkataan Sang Khalifah ketika menyadari kekhilafannya. (MuslimahNewsID)

Tentu semua itu akan berjalan dengan kondusif dan rakyat juga akan menerima haknya dengan adil jika dan hanya jika islam kaffah terterapkan di Negeri ini.

#BackToIslamKaffah

Oleh : Watini (Aktivis Dakwah)

  • Bagikan