Dua Ormas di Sultra Diberi Tanda Merah Terkait Isu Radikalisme

  • Bagikan
Suasana temu tokoh, pemerintah dan aparat hukum dalam rangka menangkal paham radikalisme dan anti Pancasila. Foto: Mas Jaya / SULTRAKINI.COM

SULTRAKINI.COM: KONAWE – Paham radikalisme dan anti Pancasila ternyata sudah mulai tumbuh di Sultra. Berdasarkan penelitian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, setidaknya ada dua Ormas di Sultra yang diduga mempraktikan hal-hal yang dilarang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu terungkap dalam acara temu tokoh, pemerintah dan aparat hukum yang digelar di aula Polres Konawe, Kamis (20/10/2016).

Salah satu pembicara dalam forum tersebut, Yakub memaparkan bahwa potensi konflik umat beragama di Sultra memang ada. Akan tetapi riak-riaknya tidak begitu tampak. Berdasarkan hasil penelitian IAIN, ia mengungkapkan setidaknya ada beberapa Ormas  Islam di Sultra yang rentan, yakni Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Salafi (Islamic Center Muadz bin Jabal), Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja), Jamah Tablig, Ahmadiyah dan Syiah. Dari sejumlah Ormas tersebut, hampir semuanya sudah ada di Konawe.

“Ahmadiyah, pernah ada tapi sudah tidak ada lagi. Sementara Syiah di Konawe, penelusuran kami tidak ada. Akan tetapi saya sempat dengar, katanya ada satu,” jelasnya.

Pria yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melanjutkan, dari Ormas-Ormas tersebut, ada dua Ormas yang diberi tanda merah. Keduanya, yakni HTI dan Salafi. Pemberian tanda mereh dilakukan mengingat, kedua Ormas tersebut diduga mengajarkan paham radikalisme dan anti Pancasila.

Salafi dianggap mengajarkan faham keagamaan yang anti mayoritas. Yang mana Ormas tersebut mengharamkan perayaan Maulid dan aktivitas lainnya yang dianggap bid’ah. Sementara HTI, dianggap anti Pancasila dan UUD 1945, serta menganggap hukum buatan masnusia sebagai hukum yang kufur. Selain itu, HTI juga dianggap menolak adat masyarakat Konawe, seperti Kalosara.

Menanggapi hal tersebut, Kapolres Konawe AKBP Jemi Junaidi, bakal memantau aktivitas masyarakat yang dianggap melakukan penyimpangan. “Kita akan pantau. Makanya kami harap informasi dari masyarakat juga,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Konawe menegaskan, jika ada pihak yang menolak pernikahan sistem adat Tolaki, lebih baik menikah di luar saja. Menurutnya, hukum adat dan hukum agama selalu berdampingan saat menggelar pernikahan.

“Kita sudah melakukan pengkajian terhadap adat Kalosara dalam perspektif agama. Pemerintah pun mengakui itu. Jadi saya instruksikan pak desa atau lurah, kalau ada yang tidak mau pakai adat, jangan beri rekomendasi untuk menikah,” tandasnya.

  • Bagikan