Gempa, bukan semata musibah namun isyarat

  • Bagikan
Hanaa Lathifah(Mahasiswi pasca sarjana dan Ibu rumah tangga).Foto:ist

Anugerah dan bencana adalah kehendaknya

Kita mesti tabah menjalani,

Hanya cambuk kecil agar kita sadar

Adalah Dia diatas segalanya,

Anak menjerit-jerit

Asap panas membakar

Lahar dan badai menyapu bersih,

Ini bukan hukuman hanya satu isyarat

Bahwa kita mesti banyak berbenah

Memang bila kita kaji lebih jauh

Dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista…”

***

Sepenggal lirik di atas adalah lagu yang dibawakan oleh penyanyi lawas Ebie G.Ade. Pesan yang disampaikan ada benarnya, bahwa musibah yang sedang terjadi di negeri ini bukanlah hukuman. Namun ini hanyalah sebuah isyarat agar kita semakin berbenah untuk tak berlepas diri terhadap seluruh aturan pencipta ataupun pongah terhadap segala ketentuannya.

Musibah yang saat ini menimpa Lombok, Nusa Tenggara Barat adalah isyarat yang sangat menghentak kita agar senantiasa menjadikan pencipta sebagai penolong atas segala hal yang dihadapi manusia. Jika melihat ke belakang gempa yang telah menghantam negeri ini menyisakan pelajaran dan renungan bagi orang-orang yang beriman bahwa segala hal yang telah terjadi telah tercatat dalam lauhul mahfudz sang pencipta selama beratus tahun yang lampau setelah manusia diciptakan oleh azza wajalla. Musibah itu baik buruknya datangnya dari Allah swt. Namun, semua musibah ini pun juga tak lepas dari peran besar manusia. Ada wilayah kekuasaan manusia yang boleh jadi menjadi corong datangnya peringatan dari Allah SWT. Segala kemaksiatan yang telah membuncah takkan Allah biarkan, dengan tenggelamnya manusia pada lumpur dosa. Namun bagaimana manusia sadar dan senantiasa mengingat bahwa ada hari dimana segala perbuatan manusia kelak akan dimintai segala pertanggung jawaban. Dan inilah keyakinan yang harus dimiliki oleh diri seorang muslim yang beriman akan datangnya hari pembalasan.

Musibah tak lepas dari “undangan” manusia

Pada Minggu (29/7/2018) lalu awalnya terjadi gempa berkekuatan 6,4 SR di Lombok, NTB. Gempa ini sempat menyebabkan ratusan orang yang sedang mendaki di Gunung Rinjani tak bisa kemana-mana. Pasalnya jalur yang mereka lalui tertutup material sehingga membuat mereka terperangkap. Bahkan saat itu sedang berlansung konferensi ulama internasional membahas moderasi islam di islamic center Mataram. Gempa berikutnya pun menyusul dengan skala kekuatan yang sangat dahsyat yaitu 7 SR, pada (5/8/2018), saat akan ada sub regional meeting on terrorism di Lombok Astoria Mataram. Bahkan saat itu pula ratusan wisatawan tertahan di Gili, yang merupakan areal pornografi dan pornoaksi atas nama parawisata. Hingga akhirnya mereka eksodus keluar Lombok. Hingga Rabu, 8 Agustus 2018, BNPB dan BPBD Nusa Tenggara Barat menyebut korban meninggal 131 orang, ratusan lainnya luka-luka, dan ribuan  bangunan rumah rusak serta yang mengungsi lebih dari 270.168 jiwa. Hingga Kamis pukul 08.00 Wita, tercatat 355 kali gempa susulan,” kata Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hary Tjatmiko, dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis. Dari lebih 300 kali gempa susulan tersebut, gempa yang dirasakan cukup kuat tercatat sebanyak 17 kali.

Belum pernah pulau Lombok diguncang dengan gempa sedahsyat hingga melumpuhkan seperti ini. Tanggap darurat dari berbagai instansi mulai digalakkan. Bantuan-bantuan kemanusian juga didistribusikan pada titik-titik pengungsian yang tersebar di banyak daerah terdampak gempa. Muhasabah, merenung, dan evaluasi apa yang sudah dilakukan oleh penduduk Lombok khususnya merupakan bentuk keridhaan terhadap kekuasaan Allah ini, bukan justru menganggap Allah zalim, jahat, dan narasi buruk lainnya. Muhasabah apakah karena minuman keras masih merajalela di pulau ini? Apakah karena perzinahan sudah dianggap biasa oleh penduduk ini? Apakah karena berbagai praktik ribawi yang masih dijalankan di Pulau Seribu Masjid ini? Apakah karena pembunuhan, perampokan, dan berbagai tindak kriminal masih menghantui daerah ini? Apakah karena semua itu yang menyebabkan Allah mengguncang Lombok dengan gempa bumi? Memang tak ada yang mengetahui rahasia apa yang ingin ditunjukkan oleh Allah melalui bencana ini. Bisa saja maksiat pribadi, masyarakat, hingga pemimpin-pemimpin negeri ini terakumulasi di langit dan menjadi sebab Allah menegur warga daerah yang dikenal tinggi perasaan Islamnya ini.

Islam solusi mengatasi gempa

Perasaan duka, sedih dan simpati disampaikan banyak elemen bangsa kepada warga Lombok, termasuk Bali dan daerah di NTB lainnya. Namun yang tak banyak dijadikan sorotan adalah bahwa Islam telah memandu manusia bagaimana menyikapi gempa bumi ataupun bencana lainnya. Tentu saja bukan mengenai Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan ataupun siaga bencana dan semisalnya. Namun Islam mengajarkan kepada siapapun yang mengimaninya agar ridha terhadap ketetetapan yang diberikan oleh Allah selaku Pencipta dan Pengatur seluruh alam semesta ini.

Syaikh an Nabhani menjelaskan dalam kitab yang ditulisnya, Nidzhamul Islam pada bab Qadha’ dan Qadar bahwa setiap mukmin harus meyakini qadha Allah yang baik ataupun buruknya berasal dari Allah. Gempa bumi tentu terlihat sebagai hal yang buruk di mata manusia, tetapi Islam memerintahkan pemeluknya untuk menerima semuanya sebagai keputusan Allah. Gempa bumi adalah hal yang termasuk dalam ranah musayyar(yang menguasai manusia), sehingga takkan bisa kuasa manusia manapun mengontrolnya.  Islam juga mengajarkan bahwa manusia memiliki ranah mukhayyar atau ranah (yang dikuasai oleh manusia). Ranah ini memberikan manusia peluang untuk memilih apa yang akan dilakukan ataupun yang tidak dilakukannya. Ranah mukhayyar inipun kelak akan menjadi penentu “surga-neraka” manusia. Apabila ia memilih untuk melakukan yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah, maka surga balasannya begitupun sebaliknya. Dilanda gempa adalah ranah musayyar, namun jika setelah dilanda bencana ini manusia kemudian masih berpaling dan ingkar dari Allah, maka itu merupakan ranah mukhayyar.

Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab Ra, ketika Madinah dilanda gempa bumi dahulu, beliau tak serta merta menganggap bahwa gempa itu hanyalah fenomena alam belaka. Beliau justru menanyakan maksiat apa yang telah dilakukan oleh penduduk Madinah kala itu sehingga Allah menurunkan gempa tersebut sebagai teguranNya. Khalifah Umar bahkan mengancam akan meninggalkan penduduk Madinah jika terjadi bencana lagi. Umar mengerti bahwa bumi pun bisa diajak komunikasi, dengan izin Allah. Dan bumi itu tunduk pada ketentuan Allah. Akan memberikan keberkahan jika pemimpin dan penduduknya bertaqwa.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)

Maka untuk “menghentikan” dan “mencegah” gempa bumi dan berbagai bencana alam karena peringatan atau hukuman Allah, pemimpin dan penduduknya diajak untuk muhasabah dan meningkatkan ketaqwaan terhadap seluruh aturan Allah swt, sebagai pencipta bumi beserta isinya.

 

Hanaa Lathifah (Mahasiswi pasca sarjana dan Ibu rumah tangga)

  • Bagikan