Grasi Pembunuh Jurnalis Cederai Kebebasan Pers

  • Bagikan
Aksi solidaritas organisasi wartawan di Sultra mengecam grasi Presiden RI terhadap pembunuh wartawan Radar Bali di Kota Kendari, Jumat (25/1/2019). (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)
Aksi solidaritas organisasi wartawan di Sultra mengecam grasi Presiden RI terhadap pembunuh wartawan Radar Bali di Kota Kendari, Jumat (25/1/2019). (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Aksi solidaritas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), UK Pers Kampus, dan jurnalis dari berbagai media di Provinsi Sulawesi Tenggara mengecam grasi oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) terhadap I Nyoman Susrama, otak pelaku pembunuhan wartawan Radar Bali (Jawa Pos Grup), AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

Kekecewaan organisasi wartawan di Sultra, sehubungan keputusan Jokowi yang meringankan masa hukuman Susrama dari penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara, melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tertanggal 7 Desember 2018. Pihaknya menilai, hal itu langkah mundur penegakan kemerdekaan pers.

Divisi Advokasi AJI Kendari, La Ode Pandi Sartiman, mengatakan pihaknya mengecam grasi karena jelas fakta persidangan membuktikan pelaku melakukan pembunuhan terkait berita dan membunuh secara terencana. Grasi presiden sama saja melukai rasa keadilan bukan sebatas kepada keluarga korban, namun jurnalis di seluruh Indonesia.

“Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup. Kami menilai kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia,” terang Pandi dalam aksi solidaritas mengecam grasi terhadap Nyoman Susrama di Kota Kendari, Jumat (25/1/2019).

Senada dengan itu, Ketua IJTI Pengda Sultra, Asdar Zuula, menambahkan grasi tersebut sangat mencederai kemerdekaan pers, membuat citra buruk supermasi hukum yang menjamin kebebasan pers di Indonesia. Meski tindakan itu hak mutlak bagi kepala negara, perlu ada landasan dan pertimbangan matang, termasuk meperhatikan aspek keadilan bagi pihak keluarga korban. Untuk itu, perlu ada peninjauan ulang atas grasi terhadap Susrama.

“Pers harus tegak dan dilindungi tanpa pengecualian, karena pers yang sehat menunjukan tatanan demokrasi berbangsa dan bernegara yang maju,” ujar Asdar.

Menurut Ahli Hukum Tata Negara, Charles Simabura dari Pusat Studi Konstitusi melalui diskusinya bersama AJI Padang terkait persoalan tersebut, pembunuhan Februari 2009 itu bukan pembunuhan biasa. Hal itu merupakan salah satu bentuk pembungkaman terhadap pers, perlawanan terhadap prinsip negara hukum.

“Presiden harus selektif, karena kejahatan terhadap pers itu bukanlah kejahatan biasa. Kita memang harus protes, ini bagian dari koreksi mempertanyakan komitmen presiden dalam rangka menjamin terwujudnya kebebasan pers, sehingga kita tidak was-was lagi dengan hal itu,” ucap Charles, Kamis (24/1/2019).

Meski demikian kata dia, masih ada ruang untuk koreksi dan membawanya ke rana hukum. “Kita bisa menggugat melalui PTUN, saya mendorong kawan-kawan untuk menggugat ke PTUN tentang keppres No. 29/2018 ini. Mudah-mudahan PTUN,” sambungnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yosanna Laoly, menegaskan pemerintah sudah mempertimbangkan pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama, pelaku pembunuhan wartawan Radar Bali.

Pertimbangan yang dimaksud adalah sudah melalui proses panjang dari remisi diusulkan oleh Lembaga Pemasyarakatan, dilanjutkan ke tingkat Kantor Wilayah, diteruskan ke Dirjen Pemasyarakatan, diputuskan Menkumham hingga diserahkan kepada Presiden RI dan penerbitan keputusan presiden.

Di dalam Keppres Nomor 29 Tahun 2018 itu, I Nyoman Susrama salah satu dari 115 napi dengan hukuman seumur hidup yang mendapatkan remisi.

Yosanna membantah grasi kepada pembunuh wartawan tersebut mencederai kebebasan pers. “Enggak lah udah lama ini kan persoalannya sudah lama. Kebebasan pers kan sampai sekarang jalan terus kok,” ucapnya dilansir dari Kompas.com.

Laporan: Hasrul Tamrin&Wa Rifin
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan