Hentikan Inflasi Jelang Ramadhan dengan Ekonomi Islam

  • Bagikan
Fitriyani Thamrin Mardhan, S.Pd.Foto Ist

OLeh : Fitriyani Thamrin Mardhan, S.Pd

(Mahasiswi PascaSarjana UHO)

 

Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah di bidang ekonomi adalah terjadinya inflasi, terutama jelang Ramadhan. Mengingat beberapa tahun terakhir inflasi di bulan Ramadhan sangat tinggi, bahkan tidak pernah mencapai angka di bawah 0,7%. Seperti tingkat Inflasi Kota Kendari tahun kalender Januari-September 2015 tercatat 1,58% (BPS Prov.Sultra). Jelang bulan Ramadhan, tingkat permintaan konsumen terhadap kebutuhan bahan pangan menjulang tinggi, pun saat hari daya idul fitri. Kenaikan harga bahan pangan ini digolongkan sebagai komponen inflasi bergejolak karena mudah dipengaruhi masa panen. Masih dari BPS Prov.Sultra bahwa komoditas yang memberikan sumbangan inflasi terbesar di wilayah Sulawesi Tenggara adalah beras; terong panjang; kacang panjang; cabai rawit; daging ayam ras; ketimun serta kangkung.

 

Sedangkan di Kalimantan Barat komoditas bawang merah, menurut Dwi Suswanto (KPW BI Kalbar) merupakan salah satu bahan pokok yang memiliki pengaruh besar saat ini terhadap inflasi. Untuk itu, pihaknya akan membuat jadwal menanam bawang merah, yang diperkirakan nantinya bisa panen saat mendekati puasa dan menjelang lebaran. Kendati persediaan bawang merah saat mendekati ramadhan dan lebaran masih tercukupi.

 

Menurut Agus Dermawan Martowardojo terdapat tiga tantangan dalam menjaga tingkat inflasi. Pertama, inflasi menggerogoti pendapaatn riil masyarakat, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli. Inflasi membuat masyarakat menjadi lebih miskin dan membuat masyarakat yang sudah miskin semakin merana. Kedua, inflasi yang tidak terkendali menciptakan ketidakpastian. Inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi perilaku konsumsi, investasi, dan produksi, yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah pun tidak diam, Presiden Jokowi telah mencanangkan bahwa Ramadhan tahun ini tidak ada inflasi seperti tahun-tahun sebelumnya.

 

Mengenai hal ini, “Kementerian pertanian (Kementan) melakukan terobosan sebagai solusi permanen dalam mengatasi gejolak harga. Solusinya yaitu melalui kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI),\” kata Tati Iriani, SH., MM (Kepala Badan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat). Secara teknis, di lapangan Gapoktan akan memasok beras kepada TTI yang kemudian akan dijual kepada masyarakat dengan harga terjangkau.

 

Hadirnya Tim Ketersediaan Stabilitasi Harga di Kementrian Perdagangan yang dibentuk sesuai mandat Perpres nomor 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting) pada April lalu, juga diharapkan berjalan semestinya. Namun, Mendag pun belum menetapkan harga acuan (harga saat hari besar keagamaan, harga eceran tertinggi, dan harga subsidi) untuk sebagian atau seluruh bapokting. Sehingga banyak pihak yang pesimis terhadap usaha yang dilakukan pemerintah ini dalam keberhasilan menekan inflasi.

 

Jika kita menilik terhadap permasalahan ini. Meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, yang menyebabkan inflasi adalah menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Hal ini terjadi tidak lepas akibat dari system ekonomi yang diemban oleh Negara ini, yakni ekonomi kapitalisme. Dimana nilai mata uang akan mudah berubah, baik itu meningkat atau pun menurun. Adanya produk impor yang masih menjelajah pada mekanisme pasar Indonesia, juga permainan harga karena gagalnya Negara mengatasi penimbunan dan monopoli serta kampanye gaya hidup konsumtif menujukkan bahwa pemerintah bukannya menghentikan kebijakan-kebijakan kapitalistik, justru semakin mengokohkan system ekonomi kapitalis ini yang menjadi akar masalah perekonomian, khususnya masalah inflasi.

 

Padahal jelas bahwa satu-satunya solusi yang telah terbukti dapat menyelesaikan masalah perekonomian khususnya maslah inflasi ini adalah system ekonomi islam.

 

Dalam islam mata uang negara harus didukung oleh kekayaan logam mulia, sehingga mengakhiri akar penyebab inflasi. Islam mendefinisikan mata uang negara sebagai Dinar Emas seberat 4.25 gram, dan Dirham Perak seberat 2.975 gram. Inilah sebabnya mengapa Negara dengan penerapan system islam (Khilafah) menikmati harga yang stabil selama lebih dari seribu tahun. Kembali ke standar emas dan perak bagi umat Islam adalah suatu hal yang sungguh praktis. Negeri-negeri Muslim di mana Daulah Khilafah akan timbul banyak mengandung sumber daya emas dan perak, seperti Sandaik dan Reko Diq di Pakistan. Dengan penerapan system ekonomi islam dalam Negara Khilafah akan memperkuat dan menstabilkan mata uangnya dengan dukungan kekayaan yang riil, yakni emas dan perak, untuk mengakhiri inflasi yang secara pasti telah melumpuhkan rumah tangga, industri dan pertanian.

  • Bagikan