Idul Adha Mengingatkan Dua Peristiwa Suci dan Agung

  • Bagikan
Ustadz Syaifuddin Mustaming menyampaikan khutbah Ied serangkaian pelaksanaan Shalat Idul Adha 1437 H / 2016 M di hadapan ratusan jemaah Masjid Darussalam Kolaka. Foto: Inmas Depag Kolaka

SULTRAKINI.COM: KOLAKA – Idul Adha, sesungguhnya mengingatkan kita pada dua peristiwa suci dan agung, peristiwa besar yang sangat menggugah perhatian umat Islam di seluruh dunia, yaitu; disyariatkannya kewajiban ibadah Haji ke Makkah Al Mukarramah – Madinah Al Munawwarah dan ibadah Kurban, yang keduanya merupakan syariat yang berasal dari sejarah kehidupan Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam.

Pesan tersebut disampaikan Ustadz Syaifuddin Mustaming dalam khutbahnya serangkaian pelaksanaan Shalat Idul Adha 1437 H / 2016 M, Senin (12/9), di Masjid Darussalam Lamokato, Kolaka.

Hadir dalam kesempatan tersebut, Bupati Kolaka yang diwakili Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kolaka Syamsul Qadar, para tokoh agama dan tokoh masyarakat serta ratusan warga muslim di daerah tersebut.

Syaifuddin mengungkapkan, ibadah haji yang saat ini ditunaikan berjuta umat Islam dari segala penjuru dunia, termasuk jemaah haji asal Kabupaten Kolaka dengan jumlah sekitar 194 orang, mereka berkumpul di Makkah dalam suasana damai dan bersahabat.

Mereka beribadah secara berjamaah dengan segala manasiknya, bersatu dalam niat yang sama, dipersatukan oleh panggilan firman ALLAH: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap ALLÁH, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …”, ulas Ustadz Pudo, sapaan akrab Syaifuddin Mustaming mengutip surah Áli ‘Imrán ayat 97.

Dijelaskan Ustadz Pudo, mereka (jemaah haji) berkumpul berdesak-desakan namun dalam kekhusyu’an. Kemudian dalam desah kepasrahan, mereka mengenakan pakaian ihram, menyuarakan kalimat Talbiyyah : “Aku sambut panggilan-Mu ya ALLÁH, aku sambut pangilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu ya ALLÁH, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya Segala Pujian dan Kebesaran hanyalah bagi-Mu dan segala kerajaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

“Lalu apa sebenarnya yang menarik bagi berjuta orang Islam berkumpul di wilayah tanah berpasir lagi berdebu itu, dibawah sengatan panasnya matahari ? Jawabannya; Mereka pergi beribadah menunaikan perintah ALLÁH SWT; bukan sekedar meraih status, bukan sekedar berpakaian surban dan peci putih, namun sesungguhnya ingin membuktikan kepatuhan kepada firman ALLÁH surah Al An’ám ayat 162 yang diikrarkan dalam bacaan setiap kita shalat : “Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLÁH, Tuhan semesta alam,” jelas Ustadz Pudo, yang juga Kepala Seksi Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kolaka ini.

Pelaksanaan ibadah haji, lanjut Ustadz Pudo, jelas banyak mengandung hikmah, antara lain; menanamkan semangat rela berkorban dan ikhlas berjuang, yang dibuktikan melalui upaya pemenuhan Istitha’ah (kemampuan lahir dan batin). Selain itu, ibadah haji juga membawa dampak positif yang sangat luas terhadap perkembangan sosial dan ekonomi global kehidupan manusia.

“Melalui ibadah haji, Islam mendorong umatnya untuk mempelopori terwujudnya perdamaian dunia serta terciptanya hubungan yang luas antar umat manusia yang ditunjukkan dengan pertemuan silaturrahim atau persaudaraan umat Islam di tanah suci. Di samping itu, pelaksanaan ibadah haji juga mendorong kaum muslimin untuk membangun perekonomian guna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi rakyat, agar semakin besar jumlah jamaah yang pergi haji ke Baitulláh,” ujarnya.

Terkait ibadah kurban, Ustadz Pudo mengungkapkan bahwa berkurban bukanlah sekedar mengalirkan darah binatang yang dikurbankan dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin, tetapi juga memiliki makna dan nilai rohaniah yang sangat dalam serta dampak sosial yang sangat besar. Karena itulah, ibadah kurban tidak bisa diganti dengan memberikan uang; di samping karena waktunya pun sudah tertentu, yaitu; 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Sebagaimana firman ALLÁH di dalam surah Al Hajj ayat 37: “Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada ALLÁH, melainkan takwamu.”

Secara psikologis, sambung dia, binatang yang dikurbankan itu melambangkan sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia, seperti; sifat kejam, serakah dan egois, yang patut dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya memenuhi panggilan dan perintah ALLÁH SUBHÁNAHÚ WATA’ÁLÁ.

“Oleh karena itu, darah yang mengalir dari binatang kurban hendaknya bisa membuat kita menjadi insyaf; bahwa binatang saja rela untuk mati hanya untuk menuruti kemauan manusia yang menguasainya. Maka sepatutnya pula manusia suka berkurban di jalan ALLÁH yang kekuasaan-Nya atas manusia jauh lebih besar dibanding kekuasaan manusia atas hewan. Karena ALLÁH bukan saja kuasa atas manusia, tetapi Dialah yang menciptakan dan memeliharanya,” tegas mantan Kepala Sub Bagian Informasi dan Humas Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ini.

“Firman ALLÁH pada surah Al Hajj ayat 37 tersebut, juga menunjukkan bahwa penyembelihan hewan kurban sangat berkaitan dengan ketakwaan seseorang. Dengan kualitas takwanya; manusia akan sadar bahwa manusia sebagai hamba ALLÁH harus rela mengorbankan apa saja; baik harta, tahta bahkan jiwa sekalipun, ketika diperlukan harus pula dikorbankan demi menegakkan Tauhid dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keadilan sosial,” jelas Ustadz Pudo. 

  • Bagikan