Jaksa KPK: Hak Politik ADP dan Asrun Dicabut Usai Dihukum 8 Tahun Penjara

  • Bagikan
Adriatma Dwi Putra dan Asrun dalam sidang perkara korupsi yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu. Foto: kompas.com

SULTRAKINI.COM: Hak politik Wali Kota Kendari non aktif Adriatma Dwi Putra (ADP) dan ayahnya Asrun diminta untuk dicabut selama 3 tahun setelah menjalani hukuman penjara selama 8 tahun sebagaimana tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jaksa KPK menyatakan hal tersebut dalam sidang dengan agenda pembacaan surat tuntutan perkara dugaan korupsi anak dan ayah itu di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3 Oktober 2018) sore.

Jaksa KPK, Ali Fikri meminta hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap Adriatma dan Asrun dengan pertimbangan bahwa Adriatma sedang menjabat sebagai wali kota pada saat disangka menerima suap, sedangkan ayahnya, Asrun, yang juga mantan wali kota Kendari dua periode saat itu merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara.

Keduanya dinilai telah mencederai kepercayaan dan amanat yang diberikan oleh masyarakat, sehingga pencabutan hak politik bagi mereka dimaksudkan untuk melindungi publik dari persepsi yang keliru mengenai calon kepala daerah yang dipilih kelak.

Dalam tuntutan pokok, jaksa KPK menuntut Adriatma dan Asrun dipenjara 8 tahun, serta membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa meyakini keduanya menerima uang Rp 2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah dengan catatan diberikan proyek multi years untuk pekerjaan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020.

Sebelumnya, menurut jaksa, Hasmun juga diduga memberikan uang kepada Asrun ketika masih menjadi Wali Kota Kendari sebesar Rp 4 miliar dengan imbalan mendapatkan pekerjaan pembangunan Kantor DPRD Kota Kendari, serta proyek lain tahun anggaran 2014-2017

Ada juga proyek pembangunan Tambat Labuh Zona III Taman Wisata Teluk – Ujung Kendari Beach.

Semua dugaan suap tersebut diberikan Hasmun melalui perantara Fatmawaty Faqih selaku Kepala Badan Pengeloaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Kendari.

Namun pada saat dilakukan penangkapan oleh KPK pada 27 Februari 2018, posisi Fatmawaty telah pensiun sebagai ASN.

Fatmawaty sendiri dituntut 7 tahun penjara, serta diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

“Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata jaksa Ali Fikri Rabu (3 Oktober 2018.

Jaksa menilai perbuatan Fatmawaty tidak mendukung upaya pemerintah dan masyarakat yang tengah gencar memberantas korupsi.

Namun demikian, bagi jaksa, ada sisi-sisi yang meringankan Fatmawaty yakni sopan selama menjalani sidang, menyesali perbuatannya, serta belum pernah dihukum penjara.

Jaksa menilai Adriatma melanggar Pasal 12 huruf B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Ayahnya, Asrun dituding melanggar Pasal 12 huruf B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan Fatmawaty dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penulis: Shen Keanu 

  • Bagikan