Jangan Tanya Jam Sekolah, Kapal Kami Masih Kandas

  • Bagikan
Papan nama Dusun Baho dibuat para relawan. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Papan nama Dusun Baho dibuat para relawan. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Murid SD-SMPN Satu Atap 12 Konawe Selatan baru saja terima rapor, usai ulangan semester ganjil. Dalam hitungan kalender pendidikan, proses belajar mengajar di sekolah liburan hingga beberapa hari kedepan. Namun, Sabtu (22 Desember 2018), murid di sekolah itu masih mengenakan seragam sekolah sebagaimana ingin bersekolah. Khususnya mereka dari Dusun Baho (Dusun III), Desa Labuan Beropa, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konsel, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sejumlah permukiman di Dusun Baho, Desa Labuan Peropa, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra. (Foto: Dok. SULTRAKINI.COM)
Sejumlah permukiman di Dusun Baho, Desa Labuan Beropa, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra. (Foto: Dok. SULTRAKINI.COM)

Kira-kira pukul 06.25 Wita, sejumlah anak Dusun Baho sudah berlalu lalang lengkap dengan seragam olahraga SMPN Satap Konsel. Kata mereka, nama sekolah sesungguhnya SMPN Satap 12 Konsel. Namun di seragam mereka kenakan, sepertinya bukan cetakkan terbaru yang menambahkan angka ’12’. Tidak sedikit pula anak-anak Baho mengenakan seragam putih merah khas murid SD dan pakaian pramuka.

“Sebenarnya namanya SMPN Satap 12 Konsel, tapi di seragam ini belum ada angka 12-nya,” ujar Nur Alamiah (13), Siswi kelas VIII SMPN Satap 12 Konsel sedang duduk di ruang tamu rumahnya bersama kawannya untuk bersiap ke sekolah.

Pihak sekolah memang sengaja mengumpulkan muridnya guna mengikuti kelas belajar berkonsep outdoor dari sukarelawan yang tergabung dalam Sultra Island Care atau SIC.

Relawan SIC

SIC merupakan organisasi nonprofit dengan fokus bidang pendidikan, kesehatan, dan potensi sumber daya masyarakat, khususnya masyarakat di pesisir dan terpencil.

Relawan ini sudah aktif mengajar anak-anak Baho sejak Januari hingga Desember 2018. Setelah itu, tinggal mengontrol daerah binaannya.

Taman Baca juga dibangun swadaya bersama masyarakat setempat. Sejumlah buku umum sampai mata pelajaran bisa dijumpai di sini, namun tidak sebanyak perpustakaan di Kendari.

Dengan rapi, buku hasil donasi yang dikumpulkan para relawan tersimpan di rak gantung. Sedikit berdebu, tetapi antusias anak-anak dusun tidak merasakan itu. Satu persatu buku dilihatnya, memilih yang mana menarik di mata. Rupanya mereka suka buku cerita. Ada yang membaca tenang, ada pula mengeraskan suara seolah bersahutan dengan kawan lainnya.

Cerita warga setempat, sambutan hangat akan datang ketika kapal para relawan sandar di dermaga. Berlarian anak-anak itu dengan semangatnya menuju dermaga sambil menyapa ‘kakak’ kepada relawan. Kapal bertuliskan Sultra Island Care bukanlah kendaraan pribadi mereka. Itu milik warga. Kapal itulah biasanya mengantar mereka ke Dusun Baho.

Sejumlah peralatan dan donasi akan dibawa tim relawan ke Desa Labuan Beropa, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Anak-anak Baho memang semangat ingin belajar. Namun keterbatasan fasilitas dan pengajar membuat mereka sangat menghargai ilmu pengetahuan dari relawan. Terlebih relawan datang ke dusun mereka sekali sebulan untuk mengajar.

Saking senangnya, mereka akan memeluk erat tubuhmu, menggenggam tanganmu sambil tersenyum seraya berkata ‘Ajarkan saya membaca’. Padahal kita belum sempat kenalan, tetap mereka begitu senang. Menarikmu ingin bermain bersama. Belum sempat kami menanyakan nama mereka, para bocah itu duluan menanyakan namamu. Berulang-ulang nama itu disebutnya dengan suara kecil. Mungkin mereka tidak ingin lupa ketika kembali bertemu.

Warga Dusun IV atau disebut Pasir Panjang, Desa Labuan Peropa. (Foto: Dok. SULTRAKINI.COM)
Warga Dusun IV atau disebut Pasir Panjang, Desa Labuan Beropa. (Foto: Dok. SULTRAKINI.COM)

Memilih Desa Labuan Beropa sebagai daerah binaan, tidak asal menerka. SIC perlu mensurvei terlebih dahulu, menemui kepala desa hingga kepala dusun. Warga pun ditanyainya seputar kondisi wilayah setempat. Dari situlah, kesepakatan dilakukan untuk memulai membina warga setempat.

Data dihimpun SultraKini.Com, jumlah anggota SIC lumayan banyak. Terutama dari kalangan mahasiswa.

Ekspedisi Sultrakini.com bersama volunteer dan badan pengurus SIC 43 orang, Gerakan Kendari Mengajar lima orang, IndorunnerKendari satu orang, tim bantuan medis tujuh orang, trip&inspiring satu orang, dan Lastra dua orang berkesempatan menelusuri Desa Labuan Beropa, khususnya di Baho selama 21-23 Desember.

Perjalanan pulang dari Dusun Baho, Desa Labuan Peropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Perjalanan menuju Kendari dari Dusun Baho, Desa Labuan Beropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Mengajar Ala Relawan

Ketua Pengurus SIC, Lulo Jumrin Basarah, menjelaskan selama mengajar mereka membagi kelas kecil dan besar. Kelas kecil diikuti kelas 1-3 dengan fokus pembelajaran huruf dan membaca. Sementara kelas besar diisi kelas 4-6 berfokus pada Bahasa Inggris dan wawasan kebangsaan. Tingkat SMP tidak ketinggalan. Khusus mereka, teknologi informasi menjadi bahan ajar para relawan. Tidak ada leptop atau komputer memadai untuk sarana mengajar. Solusinya, relawan meminjamkan leptop pribadi untuk melatih kemampuan anak-anak didiknnya.

“Waktu belajar satu jam, 30 menitnya itu belajar mengenai pengetahuannya, 30 menit games supaya lebih masuk ke pemahamannya mereka,” jelas Ojeng sapaan akrab Lulo Jumrin Basarah di sela-sela kegiatan pemeriksaan kesehatan di Pasir Panjang (Dusun IV), Minggu (23/12).

Sejumlah relawan mengajar anak-anak Baho di bangunan Taman Baca. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Sejumlah relawan mengajar anak-anak Baho di bangunan Taman Baca. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Sejumlah relawan mengajar anak-anak Baho di dermaga. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Sejumlah relawan mengajar anak-anak Baho di dermaga. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Ibu-ibu Dusun Baho dibina Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Ibu-ibu Dusun Baho dibina Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Kapal Kami masih Kandas

Matahari semakin tinggi, begitu juga udara panasnya semakin menyengat di kulit. Duduk di pinggir dermaga kayu Baho memang paling asyik di cuaca seperti ini. Selain anginnya sepoi-sepoi, suara ombaknya juga membuat pikiran rileks. Namun langkah kaki tetap saja terdengar meski dari kejauhan.

Langkahnya seperti terburu-buru. Muh. Bayu Adji Ramadan, Ketua Panitia SIC Unity for Inspiring bersama pengurus lainnya rupanya sibuk ke sana ke mari mencari solusi, bagaimana menyeberang ke Dusun II. Pasalnya, air laut masih surut atau ‘metti’ sebutan warga setempat, akibatnya kapal motor kandas di tepi dermaga.

Kapal motor menjadi transportasi utama warga setempat. Selain transportasi menangkap ikan, kapal juga sebagai transportasi penumpang yang datang maupun hendak ke daratan.

Tadinya, rencana kegiatan di sekolah berlangsung pagi. Namun semangat anak-anak ke sekolah bersama relawan semakin pudar. Wajah segar sehabis mandi pagi tertutup lesu menunggu pasang air laut. Mata mereka memandangi kami. Mereka sedikit berbicara, menjawab cengkrama kami. Tas sekolah masih mereka kenakan. Dengan sabar mereka duduk, sesekali memandang lautan, memandangi tepi dermaga berharap kapal segera mengapung.

Keraguan tidak bisa ke sekolah berbuah kenyataan. Relawan memutuskan mengajar model outdoor di sekolah hari itu batal. Anak-anak diminta pulang ke rumah mengganti seragam sekolah mereka. Kabarnya, pihak sekolah juga meminta maaf kepada muridnya yang sejak pagi menunggu di sekolah. Sebelum akhirnya pasrah, body atau kapal motor sempat diusahakan ada. Tetapi surutnya air laut juga terjadi di dermaga Dusun II.

“Kalian pulang mi, ganti baju sekolahnya kalian, tidak jadi (ke sekolah),” ucap Ojeng.

Pria kelahiran 12 Januari 1996 ini bersama rekan-rekannya menyadari, hambatan utama anak-anak Baho dan Pasir Panjang ke sekolah adalah pasang air laut dan transportasi khusus ke sekolah. Artinya, pukul 07.30 Wita jadwal masuk sekolah, seperti tidak berlaku bagi dua dusun ini.

“Walaupun menyeberang, mereka itu sudah stay dari 05.30 sudah di dermaga menunggu kapal untuk ke sekolah. Bahkan sempat beberapa kali, di musim angin terbalik kapalnya,” jelasnya.

Ketua Pengurus SIC, Lulo Jumrin Basarah. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Ketua Pengurus SIC, Lulo Jumrin Basarah. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Setiap harinya, berbekal Rp 2.000 untuk murid SD dan Rp 4.000 untuk SMP, anak-anak sekolah sudah bisa diantar dan dijemput dari sekolah. Pemilik kapal tidak memungut tarif mahal untuk urusan satu ini. Lagi pula, mengantar mereka bukan pekerjaan utama, melainkan kebetulan ketika akan pergi bekerja. Parahnya, anak sekolah dari dua dusun itu tidak ke sekolah jika air laut masih surut hingga siang hari.

Naluri Bersekolah

Kepala SD-SMPN Satap 12 Konsel, Djabir bercerita tentang kegelisahannya mengetahui muridnya harus bertarung nyawa demi merasakan duduk di bangku sekolah. Tidak henti pihaknya memikirkan bagaimana peserta didik dari Baho dan Pasir Panjang aman dan nyaman bersekolah. Menyadari kesulitan itu, dia bersama guru lainnya sepakat mengeluarkan toleransi untuk tetap mengikuti pelajaran meski datang terlambat.

Di satu sisi, pihak sekolah terburu-buru memulangkan muridnya yang tinggal di Baho dan Pasir Panjang, ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Alasannya, laut sedang tidak bersahabat. Kencangnya angin dan ombak tinggi mengancam keselamatan para murid. Alternatifnya, mereka diberikan tugas untuk diselesaikan di rumah masing-masing. Para guru memang tidak menggunakan teknologi informasi sekadar mengetahui cuaca. Tetapi, mereka paham sebagai penduduk asli pesisir.

“Kondisi belajarnya memang kadang-kadang, tapi sudah itu juga yang membuat mereka bertahan sampai di hari ini. Artinya, kalau kami mau disiplin mati, mungkin anak-anak banyak menyerah, putus sekolah. Jadi kalau anak-anak terlambat, kita maklumi,” ucap Djabir, Rabu (26/12).

Kepala SD-SMP Satap 12 Konawe Selatan bersama para guru. (Foto: Dok.Sekolah)
Kepala SD-SMPN Satap 12 Konawe Selatan bersama para guru. (Foto: Dok.Sekolah)

Menurutnya, keterlambatan itu akibat body (kapal) masih kandas. Butuh waktu untuk mendorongnya hingga mengapung di laut. Memberian sanksi karena keterlambatan mereka kata dia, seperti kiamat bagi peserta didiknya.

“Mereka sudah hadir saja di sekolah kita sudah bersyukur,” lanjutnya.

Suatu hari, Djabir sedang mengikuti upacara Hari Guru 2018 di Kecamatan Kolono, Kabupaten Konsel. Tiba-tiba ia dikabari bahwa kapal ditumpangi sejumlah muridnya terbalik di tengah laut. Panik akan terjadi hal yang tidak diinginkan, pidato pembina upacara pun sampai tidak dihiraukannya. Dalam pikiran Djabir hanya satu, keselamatan muridnya.

“Saya berpikir itu anak-anak kecil. Itu hari sempat saya perintahkan guru-guru segera menyeberang melihat itu kondisi anak-anak, iya (selamat),” ceritanya.

Murid SD-SMP Satap 12 Konawe Selatan. (Foto: Dok. sekolah)
Murid SD-SMPN Satap 12 Konawe Selatan. (Foto: Dok. sekolah)

Segala upaya dilakukan pihak sekolah guna memudahkan anak-anak bersekolah. Terakhir, mereka menceritakan persoalan itu saat pihak Dinas Pendidikan saat bertandang ke sekolah. Masalah yang sudah terjawab adalah rehab satu bangunan sekolah.

“Kalau saya ini, tinggal rumput yang bergoyang belum saya tanya. Pernah kepala bidang Diknas ke sana (sekolah), saya sudah cerita, mereka juga sudah lihat, sudah merasakan. Saya berharap pengalaman mereka bisa mereka pikirkan kondisinya anak-anak Labuan,” terangnya yang menjabat kepala sekolah sejak 2010 hingga kini. Berdasarkan SK jabatan, periodenya hingga 2017, namun diperpanjang hingga waktu yang belum ditentukan.

Sulitnya anak-anak bersekolah hingga kini, rupanya dianggap ada kemajuan dibandingkan sekitar tiga tahun lalu. Jafar Sabarudin selaku Kepala Dusun Baho, mengaku umumnya anak-anak Baho maupun dari Pasir Panjang putus sekolah. Selain persoalan jarak, kala itu tingkat SMP belum diadakan di Desa Labuan Beropa.

“Kendala anak-anak di sini, kalau musim angin, ombak, mereka sudah tidak bisa pergi (sekolah). Sampai sekarang, anak-anak bergantung kepada pengantar. Apabila masyarakat sangat butuhkan sekali transportasinya, terpaksa anak-anak tidak ke sekolah,” jelas Jafar ditemui Sabtu (22/12) usai menghadiri pentas seni dari SIC.

Baik kepala sekolah, kepala dusun, para relawan, serta masyarakat sangat mengharapkan semangat bersekolah anak-anak Baho-Pasir Panjang tidak kandas di pasang air laut. Mereka butuh transportasi khusus yang dikelola Pemda atau pemerintah setempat agar fungsinya tetap prioritas kepada peserta didik.

Selain transportasi khusus, bisa juga pengadaan sekolah jauh minimal tingkat SD di Dusun Baho.

Menurut Kepala Dusun Baho, bantuan kapal untuk anak sekolah akan diadakan pada 2019, Pemerintah kecamatan dan desa setempat sudah merespon itu. Tetapi itu baru sebatas rencana.

“Insya Allah di 2019 diadakan transportasi khusus mengantar anak sekolah,” jelas Djafar.

SDN Satap 12 Konsel terletak di Dusun II, Kecamatan Laonti, Desa Labuan Beropa. Khusus murid dari Baho-Pasir Panjang lumayan banyak sedangkan tingkat SMP sekitar 15 orang. Informasi diterima Sultrakini.com, sekarang ini sekolah itu memiliki murid SD sebanyak 162 orang dan tingkat SMP 66 orang.

Bangunan tingkat SD tidak memiliki banyak ruangan. Total enam ruangan di dalam bangunan berusia puluhan tahun ini. Satu ruang belajar terpaksa dijadikan kantor bagi para guru sekaligus menyimpan arsip sekolah, serta buku-buku pelajaran yang seyogyanya berada di perpustakaan.

Lima ruangan sisanya pun dijadikan ruang belajar. Tentu ini tidak cukup menampung enam tingkatan kelas. Pihak sekolah terpaksa menyekat satu ruangan sebagai kelas 1 dan kelas 2.

Guru di tingkat SDN Satap 12 Konsel, terdiri dari dua PNS, dua guru honor daerah, dan empat guru tidak tepat (GTT).

Sedangkan tingkat SMPN Satap 12 Konsel yang didirikan pada 2008 itu, mempunyai tiga ruangan. Sama halnya tingkat SD, satu ruangan juga disekat untuk menampung ruang kepala sekolah sekaligus ruang guru, sementara sebelahnya sebagai ruang belajar sebagaimana dua kelas lainnya.

Guru di tingkat ini ditempati dua PNS termasuk kepala sekolah dan lima guru tidak tetap (GTT).

Dusun I dan Dusun II

Dusun II bagian dari Desa Labuan Beropa yang merupakan kawasan pesisir. Di sini, bangunan SD Satap 12 Konsel didirikan. Sementara tingkat SMP-nya berada di Dusun I, masih satu pesisir dengan dusun tersebut. Jarak di antara dua sekolah itu lebih dari 1 kilometer ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak hanya sekolah, kawasan ini berdapat bangunan masjid, rumah warga, balai desa, puskesmas pembantu (Pustu). Khusus rumah kepala Desa Labuan Beropa berada di Dusun I.

Medan Dusun I cukup menguras energi. Jalanan berbatu tanjakkan dan turunan akan membuat langkah sedikit berat. Namun itu akan terbayarkan dengan pemandangan indah lautan biru dari ketinggian. Rumah Dusun I juga terlihat, namun perlu berjalan bermeter-meter lagi agar tiba di permukiman.

Warga setempat menyebut, di sinilah pembangunan lebih berkembang dibanding Dusun III dan Dusun IV. Bangunan rumah warga di Dusun I dan Dusun II mayoritas berbahan beton, padat penduduk dengan jalan setapak di depan rumah memisahkan rumah lainnya di depannya. Kios kecil atau warung makan mudah ditemukan di dusun ini. Buah mangga, jambu air, jeruk serta sukun tumbuh subur di Dusun II. Sementara pemakaman umum berada di tengah permukiman warga atau sekitar 20 meter dari dermaga Dusun II.

Jalur darat menuju Dusun I, Desa Labuan Peropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Jalur darat menuju Dusun I, Desa Labuan Beropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Pemandangan dari ketinggian Dusun I, Desa Labuan Peropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)
Pemandangan dari ketinggian Dusun I, Desa Labuan Beropa. (Foto: Dok.SULTRAKINI.COM)

Jalur menuju Dusun II sebenarnya ada dua, lewat darat dan laut. Akses darat hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki 1,6 kilometer melewati perbukitan yang rawan dengan anoa dan babi hutan, belum lagi medannya yang sulit.

Dulunya, jalur ini dibuka warga setempat dibantu babinsa dan melalui anggaran Pnpm guna alternatif menuju dusun seberang saat air laut surut. Terlebih memudahkan anak-anak mereka berangkat sekolah. Sedangkan jalur laut bisa ditempuh dalam waktu 16 menit menggunakan kapal motor.

Terkait jalur darat berupa rabat, masyarakat membukanya tahun 2013 melalui anggaran Pnpm. Namun setahun kemudian tidak dilalui lagi lantaran rawan binatang buas. Utamanya bagi anak sekolah.

Tim Sultrakini.com
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan