Kader Pindah Partai, Idealisme Tergadai?

  • Bagikan
Wd. Deli Ana.Foto:ist

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki seorang pemuda (Tan Malaka).

Makin hangat saja suhu politik jelang Pemilu. Tak terkecuali di Sulawesi Tenggara.    Fenomena kader partai hengkang dari ‘rumah’-nya semakin marak.    Setidaknya ada lima kader Partai Hanura maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari Partai Nasdem.(republika.co.id). Di laman sultrakini.com,  Tujuh kader PAN dan PDIP masih menjabat sebagai anggota DPRD Wakatobi. Padahal ketujuhnya telah pindah parpol bahkan ada yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif di Pemilu 2019. Tiga kader Partai Amanat Nasional (PAN)  di Muna Barat bahkan sempat dituding melakukan pembohongan publik hanya karena sudah berganti kendaraan menjadi partai Nasional Demokrat (Nasdem).  (sultrakini.com).

Mengapa migrasi? Seorang pengamat politik Sultra,  Najib Husain turut menanggapi, “Ini semua (pindah partai) karena lemahnya proses kaderisasi di internal partainya. Parpol lemah membina kadernya sehingga militansi kader juga hilang”.(sultrakini.com).  Di level nasional,  Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengatakan fenomena politikus lompat pagar ke partai lain itu sudah lazim dalam politik di Tanah Air. Meskipun demikian, tetap saja manuver mereka itu tidak elok. “Biasanya, politisi loncat pagar seperti itu sudah enggak dapat posisi strategis di partai sebelumnya dan mendapat tawaran menggiurkan di pelabuhan partai baru. Seperti Priyo digadang jadi Sekjen Partai Berkarya,” kata Adi kepada VIVA, Selasa, 17 April 2018.(viva.co.id)

Ibarat drama dengan beragam judul,  alasan pun demikian.   Di atas semuanya,  ada benang merah yang bisa dijumput.  Apalagi kalau bukan masalah idealisme.   Hal yang harusnya jadi prinsip bagi sebuah partai politik (parpol) . Pondasi amal  dan jalinan yang mengikat di antara anggotanya.  Sementara Prof. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar dasar Ilmu Politik ketika memaknai partai politik dalam era modern  sebagai ‘suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka’.

Tegasnya,  merupakan keharusan setiap orang yang tergabung di dalam sebuah parpol menggenggam idealismenya.    Dengannya parpol akan solid dan para kader sukar  berpindah ke lain hati.

Pragmatisme, Biang Kerok!

Mafhum kita bahwa demokrasi  meniscayakan suara terbanyak dalam pengambilan keputusan.  Tak pandang status maupun kehormatan pemilik suara.  Terlebih agama, sudah lebih dulu dipisahkan dari kehidupan.   Tak heran bila pragmatisme dominan mengambil peran.   Berpikir instan pun jadi kawan seiring meraih tujuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  pragmatisme diartikan pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. 

Ya,  praktis kata kuncinya.   Demi mendulang suara dan mencapai kemenangan,  para kader tak segan meloncat minggat.   Tak jarang parpol yang sebelumnya lawan justru jadi tujuan.   Benarlah semboyan yang berlaku,  ‘Dalam politik tak ada kawan atau musuh abadi yang ada hanya kepentingan’.  Hal senada dikatakan pengamat LSI,  Ardian Sopa,  “Perpindahan partai memperlihatkan bahwa ikatan partai dan kader tidak kuat,” ucap Ardian. (kompas.com).  Tentu disebabkan arus kepentingan yang sangat kuat. Tak pelak idealisme pun bisa ikut terhanyut.  Pada gilirannya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tinggal mimpi di siang bolong.

Islam,  Sumber Idealisme Hakiki

Bicara idealisme berarti bicara segala kondisi yang ideal.   Mulai dari tatanan berpikir hingga sikap dan perbuatan.  Dalam konteks pergumulan politik, berpihak pada kemaslahatan rakyat selalu jadi bagian dari cita-cita perjuangan parpol beserta aktifisnya. Hanya saja   tak ditopang ideologi yang shahih. Kapitalisme maupun sosialisme telah gagal menjaga idealisme tetap kokoh.   Sebabnya tidak lain karena keduanya rawan kepentingan sesaat.

Islam adalah ideologi yang sempurna.  Di dalamnya tak hanya pedoman namun juga tuntunan menjalankan hidup di dunia.  Valid hingga akhir zaman. Sudah pasti shahih. Sebab datang dari Zat yang Maha Sempurna dan Maha Benar.  Di surah Al-Maidah Allah sendiri tegaskan, ‘.. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu… (QS Al-Maidah:3).  Pada ayat yang lain Allah berfirman,  “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah: 147)

Nyata dan bukan fiktif,  menggenggam Islam sama dengan idealisme itu sendiri.  Kokohnya iman seorang muslim akan menghantar ketaatan pada syariat yang datang dari  Allah.  Melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tak terkecuali para aktifis parpol harusnya. Maka hal haram serta merta akan dijauhi.   Sebaliknya bersegera menyongsong segala kewajiban dan yang halal. Sikap kepedulian terhadap umat,  misalnya dilakukan bukan semata demi ingin dipilih dan memilih tapi hanya karena hasrat meraih ridho Allah.    Apalagi bila parpol juga memfungsikan dirinya sebagai pembina umat.   Yang mengedukasi pemahaman Islam pada para kader juga umat. Sebab dunia hanya fana.  Kelak akhirat menanti hisab akan segala amal kita. Mari tengok perumpamaan mukmin ideal dalam Al-Qur’an.   Tak perlu mewah tapi indah, Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25). Tidakkah kita menginginkan yang demikian?  Semoga.  Wallaahu a’lam

 

Wd.  Deli Ana (Ibu dan Pemerhati Masalah Sosial)

  • Bagikan