Kapitalisme Lahirkan Liberalisasi Sektor Farmasi

  • Bagikan

Oleh: Sukmawati Achmari, SKM

(Staf Dinas Kesehatan & Aktivis MHTI Kolaka)

“Orang miskin dilarang sakit”. Begitu kira-kira statemen yang biasa kita dengar menggambarkan betapa mahalnya harga obat serta akses untuk meraih hidup sehat. Agaknya liberalisasi, termasuk di sektor farmasi telah turut member andil dalam tingginya harga obat-obatan, selain sulitnya industry farmasi menengah ke bawah turut bersaing.

Baru-baru ini kabar kabar mengenai liberalisasi sektor farmasi mnjadi hangat dibicarakan ketika industri sektor farmasi akan dihapus dari DNI. Dengan kata lain pemodal asing diizinkan memegang saham sektor farmasi hingga 100%. Menteri Perindustrian Saleh Husin menyatakan alasannya adalah demi menekan impor bahan baku kimia dan menekan harga obat-obatan dengan cara membolehkan asing untuk membangun pabrik farmasi di dalam negeri. Diharapkan, dengan kebijakan seperti itu harga obat menjadi lebih murah, dengan tidak mengabaikan industri farmasi nasional.  

Selama ini, berdasarkan Perpres No. 111/2007, asing hanya boleh menguasai saham industri farmasi hingga 75%. Itu pun dengan ketentuan yang sangat ketat. Bila kelak liberalisasi industri farmasi sudah berjalan, bisa dibayangkan betapa sulitnya posisi perusahaan-perusahaan farmasi nasional ikut bersaing.

Selanjutnya sesuai revisi Perpres No. 36/2010 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), pemodal asing diizinkan untuk menguasai kepemilikan hingga 85%. Padahal sekitar 20% sisanya yang merupakan milik asing itu justru yang menguasai sekitar 80% capital dan penguasa atas pasar. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian bahan baku harus impor (sekitar 95%), baik bahan berkhasiat maupun bahan pembantu. Impor bahan baku ini saja semakin memperparah harga obat karena tujuan ekspor-impor adalah untuk mencari keuntungan. 

Akan tetapi, benarkah dengan mengizinkan asing membangun pabrik farmasi di Indonesia serta merta akan menekan harga obat-obatan tanpa mengabaikan industri farmasi nasional?

Kran Liberalisasi Industri Farmasi Nyata

Perluasan liberalisasi sektor farmasi sesungguhnya telah lama diusulkan, masih sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Desakan agar pemerintah membuka keran investasi di sektor farmasi ini muncul saat Vice President US-Asean Business Council William Marmon bertemu Menperindag  Fahmi Idris. Menperindag menjelaskan sektor farmasi di Indonesia yang selama ini dinyatakan tertutup oleh investor asing, akan dibuat lebih fleksibel terhadap masuknya investasi baru. Pemerintah akan mempertimbangkan sektor industri farmasi untuk dikeluarkan dari DNI guna mendongkrak pertumbuhan investasi langsung (foreign direct investment).

Dengan adanya AFTA (Asean Free Trade Area) akan membuat obat dari Negara ASEAN leluasa masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya, obat yang diproduksi Indonesia bisa leluasa masuk ke negara ASEAN. Sekilas memang program ini sepertinya bagus, karena industri farmasi Indonesia nantinya akan lebih efisien sehingga bisa berkembang. Namun jika kita berpikir secara mendalam, maka kita akan mengetahui bahwa AFTA akan memperburuk kondisi farmasi Indonesia.

Dalam industri farmasi berlaku ketentuan cGMP (current Good Manufacturing Practice) yang terdiri dari dua persyaratan utama yaitu ACTD (Asean Common Technical Dosier) dan ACTR (Asean Common Technical Requirements). ACTD dan ACTR merupakan persyaratan standart kualitas obat dan kemasan yang diberlakukan sama di semua Negara.

Di Indonesia sendiri, sebagian besar industri farmasi merupakan industri kecil dan menengah. Kemungkinan besar industri kecil dan menengah ini tidak akan mampu mengikuti standart tersebut karena untuk memenuhi cGMP dibutuhkan biaya yang besar. 

Kalaupun dilakukan Toll Manufacturing, hanya akan menguntungkan industri besar. Toll Manufacturing adalah pabrik yang tidak memenuhi syarat bisa memproduksikan obatnya ke perusahaan yang memenuhi syarat. Perusahaan yang memenuhi syarat tentunya adalah perusahaan yang mempunyai kapital besar yang tidak lain adalah perusahaan farmasi milik asing dan pengusaha kelas kakap.

Dalam Toll Manufacturing diberlakukan bahwa harga produksi ”titipan” setiap tiga bulan sekali mengalami kenaikan. Kalau setiap tiga bulan sekali harganya naik, kemungkinan besar perusahaan yang ”menitipkan” produksinya, yaitu perusahaan kecil dan menengah, akan menderita kerugian karena cost produksi lebih besar daripada harga jualnya.

Akibatnya, akan banyak industri farmasi kecil dan menengah yang gulung tikar. Jadi Toll Manufacturing hanya akan menguntungkan industri besar milik asing. Di Singapura 100% tutup dan di Malaysia 50% tutup. Kita bisa bayangkan di Indonesia apabila negara tidak melindungi pelaku industri farmasi. Sebab, minimal untuk memenuhi cGMP ini memerlukan dana yang tidak sedikit. 

Dengan adanya cGMP ini, akhirnya banyak sekali persyaratan yang tidak rasional. Padahal yang penting adalah keamanan dari mulai proses produksi sampai hasil akhir pengemasan. Memang dalam perkembangan penyakit, dinamika dalam kesehatan akselerasinya begitu tinggi Cuma selama ini kita selalu terprovokasi oleh opini kapitalis untuk bisnis mereka. Hal ini bisa kita lihat bagaimana sewotnya Menteri Kesehatan dengan kasus ‘Flu Burung’ dan lain-lain. Ini bisa kita maklumi karena Ibu Menteri sat itu melihat dengan jelas ada kepentingan di balik suatu masalah.

Sesungguhnya, AFTA adalah salah satu cara asing untuk ’memukul’ industri farmasi Indonesia. Dengan adanya AFTA, akan banyak industri farmasi Indonesia yang gulung tikar, obat-obatan dari ASEAN akan dengan mudah masuk ke negara kita. Kita tahu bahwa jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Dari 500 juta penduduk ASEAN, 230 jutanya adalah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia adalah tempat pemasaran yang bagus untuk obat-obat dari industri farmasi milik asing.

Dampak Liberalisasi dan Komersialisasi Sektor Kesehatan.

Lepasnya tanggung jawab negara dengan cara mendorong praktek liberalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan ini, telah membawa banyak dampak buruk bagi orang-orang miskin. Pertama, Pemberlakuan sistim pembayaran yang disebut “user fees” pada pelayanan kesehatan publik. Disini, hampir tidak ada pembedaan antara RS pemerintah dan RS swasta, sehingga menyempitkan kesempatan bagi rakyat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan murah.

Kedua, Adanya segmentasi dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat. Artinya, setiap golongan masyarakat akan mendapatkan pelayanan kesehatan berdasarkan kemampuan ekonominya. Orang miskin akan mendapatkan pelayanan kesehatan apa adanya (darurat), sementara orang kaya akan mendapatkan pelayanan lebih bagus dan canggih. Hal ini, bagaimanapun sangat bertentangan dengan prinsip “pelayanan kesehatan untuk semua”, tanpa pandang bulu.

Ketiga, Karena tujuan pelayanan kesehatan sekarang ini adalah mengejar profit semata, maka faktor “kemanusiaan” menjadi semakin terpinggirkan dalam hal pemberian pelayanan yang layak. Dalam kasus Prita Mulyasari, misalnya, terkesan dokter melakukan pelayanan yang sekedar memperbesar keuntungan (profit), bukan mempertimbangkan apa keluhan dan penyakit si pasien.

Keempat, Karena sistem kesehatan sudah dikomersialisasi atau diliberalisasikan, maka pelayanan kesehatan hanya bersifat individual, bukan lagi sebagai sebuah gerakan kolektif untuk menyehatkan bangsa. Padahal pengembangan sistem kesehatan nasional berfungsi untuk menguatkan sumber daya manusia (SDM), yang tentunya akan berpengaruh terhadap laju perkembangan ekonomi bangsa.

Pemberian layanan kesehatan kepada rakyat saat ini, ternyata tetap saja belum menyentuh sebab yang menjadi dasarnya yaitu kemiskinan, yang diakibatkan ketimbangan ekonomi akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal sejak awal tahun 1980-an. Sistem ini telah melahirkan ‘wabah kemiskinan global’ yang menjadi induk bagi berkembang biaknya segala jenis penyakit mematikan di negeri-negeri berkembang dan ketidakmampuan rakyat miskin mendapatkan obat dan perawatan medis yang berkualitas dan gratis. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, IMF dan WTO, selama ini hanya menjadi alat dari kepentingan negara maju dan perusahaan farmasi multinasional.

Untuk itu, tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat, selain menghentikan praktek liberalisasi sektor kesehatan dan menarik lebih besar peran negara di bidang kesehatan. Jika tidak, maka dalam sepuluh tahun mendatang tingkat kualitas kesehatan dan kualitas hidup bangsa Indonesia terus merosot. Tidak salah, dalam annual report UNDP tahun 2008, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Ind onesia diberi skor 0,728 dan berada di peringkat 107 dari 177 negara.

Khilafah Solusi Terbaik Pelayanan Kesehatan

Dalam pandangan Islam, kesehatan manusia tidak hanya pada aspek kuratif dan rehabilitatif, tetapi juga pada aspek preventif. Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya sudah bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan. Dr. Ahmed Shawky Al-Fangary menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah.

Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah.

Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Selain itu,syari’ah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual. Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. 

Rasulullah saw. bersabda:“Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam Islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Dan Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, sesuai dengan sabda Nabi saw.:“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Sedangkan, bila kesehatan dan pengobatan tidak terpenuhi maka akan mendatangkan dharar (kemadaratan) bagi masyarakat yang wajib dihilangkan. Nabi Saw bersabda:“Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri” (HR Malik).

Walhasil, dalam peradaban Islam dikenal sebagai perintis di bidang ilmu farmasi. Para ilmuawan muslim di era kejayaan Islam sudah menguasai riset ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan dan efek dari pbat-obatan sederhana dan campuran. Selain menguasai bidang farmasi, masyarakat Muslim pun tercatat sebagai peradaban pertama yang memiliki apotik atau toko obat. Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.

Wallahu’alam bishshowab.

  • Bagikan