Kasus UNJ Puncak Gunung Es Plagiarisme di Indonesia

  • Bagikan
Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Foto: Ist

Oleh Musni Umar

Pasca Keputusan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir yang memberhentikan Prof. Dr. Djaali sebagai Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang di duga lalai dalam memimpin UNJ sehingga terjadi plagiarisme di UNJ yang melibatkan Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif, perhatian publik Indonesia terarah ke UNJ (Universitas Negeri Jakarka)

Sebagai sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta tentu prihatin dan sedih, tetapi saya sama sekali tidak terkejut.

Kasus yang menimpa UNJ juga banyak dilakukan perguruan tinggi lainnya. Sudah cukup lama saya menduga berbagai perguruan tinggi melakukan hal serupa seperti yang terjadi di UNJ.

Pengalaman Pribadi

Saya mengikuti program pasca sarjana di Universitas Indonesia untuk meraih master (magister) selama dua setengah tahun. 

Kemudian saya melanjutka pendidikan doktoral di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) di Malaysia selama lima tahun. 

Kedua universitas terkemuka di dua negara itu, saya menempuh pendidikan seperti Full Day School. Saya hanya belajar, meneliti dan kemudian menulis tesis dan disertasi.  Saya tidak bekerja seperti banyak dilakukan di Indonesia.

Bahkan ketika saya belajar di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) saya tinggal di asrama dan berada di perpustakaan untuk membaca dan menulis sampai pukul 23.00 malam setiap hari.

Hasil kerja  yang ekstra keras siang dan malam, saya bisa merampungkan penelitian dan penulisan disertasi selama 3 (tiga) tahun.  Akan tetapi saya diberitahu pengelola  pasca sarjana bahwa UKM tidak pernah meluluskan doktor dengan masa belajar tiga tahun. Rata-rata lima tahun baru boleh diluluskan.  UKM ingin menjaga kualitas dan  memastikan bahwa yang diberi lulus sudah menguasai ilmu yang diteliti, dipelajari dan ditulis serta sudah memiliki kepakaran (keahlian). 

Setelah itu, penyelia (pembimbing) saya yang meraih gelar Ph.D dari Universitas Harvard, Amerika Serikat  meminta saya supaya kami berdua turun di lokasi penelitian saya yaitu di Solo Indonesia. Dia ingin memastikan bahwa saya benar-benar melakukan penelitian.  Juga dia minta bertemu para responden yang saya wawancarai dalam penulisan disertasi doktor.

Heran Melihat Pejabat Negara

Pengalaman saya dalam mengikuti pendidikan master (magister) di UI dan Doktoral di UKM, membuat saya heran dan menduga keras terjadi plagiarisme di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 

Setidaknya ada dua alasan saya. Pertama, masa pendidikan untuk meraih gelar master dan doktor sangat singkat seperti kasus Nur Alam hanya kurang dari dua tahun sudah meraih gelar doktor. Pertanyaannya, kapan dia membaca, turun meneliti, konsultasi dengan pembimbing (penyelia),  dan menulis disertasi doktor.

Kedua, mereka yang meraih gelar master apalagi doktor adalah pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tingkat kesibukannya luar biasa seperti Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara.

Modus Plagiarisme

Setidaknya ada tiga modus yang dilakukan dalam plagiarisme. Pertama, kuliah sabtu dan minggu dengan menandatangani absensi  hadir untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan mengikuti proses pendidikan yang benar.

Kedua, tidak meneliti dan menulis tesis atau disertasi sendiri, tetapi dibuatkan oleh pihak lain yang profesinya menuliskan tesis atau disertasi kepada pihak lain dengan imbalan uang yang cukup memadai. 

(baca: Dugaan Plagiat Disertasi Nur Alam, Jabatan Rektor UNJ Dicopot)

Menurut saya kasus semacam ini pada umumnya dilakoni para pejabat negara yang ingin  mendapat apresiasi dari publik dengan menyandang master dan doktor. 

Ketiga, tidak kuliah, tidak meneliti dan tidak menulis disertasi, tetapi semuanya dilakukan oleh pihak lain atas nama yang bersangkutan, kecuali saat promosi. 

Kasus UNJ hendaknya memberi pelajaran kepada Kementerian Riset Teknologi Dikti RI untuk membuat regulasi yang ketat dan meningkatkan  pengawasan yang semakin baik seperti pejabat negara dan pejabat pemerintah sekurang-kurangnya harus menempuh pendidikan selama lima tahun untuk meraih gelar doktor. 

Sementara mahasiswa  yang menempuh pendidikan Full Day School hanya diperbolehkan ujian doktor setelah menempuh pendidikan secepat-cepatnya empat tahun. 

Terakhir, masyarakat madani (civil soviaty) harus berpartisipasi melakukan pengawasan perguruan tinggi negeri dan swasta terutama yang menyelenggarakan pendidikan pasca sarjana.

Semoga kasus UNJ dijadikan pelajaran dan memberi  pembelajaran kepada  seluruh bangsa Indonesia terutama perguruan tinggi supaya mengutamakan kualitas dalam menyelenggarakan proses pembelajaran dan mahasiswa (i) mengikuti proses belajar dan penelitian yang benar dan  jujur  untuk  meraih gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. 

Allahu a’lam bisshawab

Penulis adalah Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

  • Bagikan