Kembalikan Jati Diri Pulau Muna Sebagai Penghasil Jati

  • Bagikan
Kepala Bagian Keuangan dan Umum BLU Pusat P2H, Karman (kiri), Direktur BLU Pusat P2H Kementrian LHK Agus Isnantio Rahmadi (tengah), dan Direktur Utama PT Jati Wuna Lestari Laode Rifai Pedansa (kanan).

SULTRAKINI.COM: MUNA – Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI menandatanganan perjanjian pembiayaan kerja sama usaha hutan tanaman rakyat dengan skema bagi hasil kepada pihak pengelola PT Jati Wuna Lestari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Penandatanganan pada Jumat, 13 Oktober itu berlangsung di Kota Raha yang dihadiri Kepala Bagian Keuangan dan Umum BLU Pusat P2H Karman, Direktur Utama PT Jati Wuna Lestari Laode Rifai Pedansa, beserta tiga koperasi pemegang izin hutan tanaman rakyat.

Direktur BLU Pusat P2H Kementerian LHK, Agus Isnantio Rahmadi mengatakan fasilitas dana bergulir yang disalurkan melalui skema bagi hasil bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan jati secara sosial, fungsi produksi serta fungsi ekonominya. Dengan target kembalinya fungsi hutan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat  ke depannya.

“Lahan yang akan dikelola nanti lahan kosong di dalam kawasan hutan produksi, kita ingin mengembalikan fungsi dari hutan produksi dari fungsi sosialnya karena ini akan memberikan porsi bagi hasil untuk setiap anggota koperasi. Dan hari ini, alhamdulillah kita sudah melakukan penandatanganan P2H tanaman rakyat dengan skema bagi hasil,” jelas Agus saat ditemui awak media, Jumat (13/10/2017).

Ia juga mengatakan, skema bagi hasil terdiri dari sejumlah pihak, selain BLU Pusat P2H sebagai penyandang pembiayaan, ada pihak PT Jati Wuna Lestari sebagai pihak pengelola yang akan mengkordinir tiga koperasi pemegang izin hutan tanaman rakyat di dalam kesatuan pengelelohan hutan wilayah enam Pulau Muna dalam usaha bagi hasil.

“Jadi skema bagi hasil ini yang bertanggungjawab di lapangan adalah pengelola yang diharapkan akan terwujud hutan tanaman rakyat. Untuk tahap pertama itu seluas 600 hektar, dimana setiap koperasinya mengelola 200 hektar. Di Muna pemegang izinnya itu koperasi dan ini yang pertama kalinya di Indonesia. Kita sepakati harus sukses,” ungkap Agus.

Standar teknis hasil kesepakatan hanya tanaman jati, namun nantinya ada semacam kelola sosial sebesar 10 persen dari pembiayaan. Dimana pihak pengelola yang akan mengusulkan. Misalnya, penanaman tumpang sari (polyculture) diantara lahan jati yang telah disepakati dan bermanfaat bagi masyarakat sembari menunggu masa panen jati.

Dan ketika itu sukses, pihak pengelola bisa kembali mengajukan pembiayaan tahap kedua dengan keseluruhan 1.800 hektar atau 600 hektar setiap koperasi. Namun berdasarkan ketentuan, anggarannya diatas Rp 10 miliar harus melewati Feasibility atau studi kelayakan.

“Untuk tahap pertama pembiayaannya hampir 10 miliar, jadi total hampir 30 miliar untuk tiga koperasi. Kita pilih tidak melalui studi kelayakan untuk mengejar musim tanam ini, kita buktikan dulu bahwa kita bisa menanam sebanyak 200 hektar per koperasi. Bapak Laode Rifai juga sudah membuktikan di lapangan bagaimana menanam di kawasan yang luas, yang didukung memiliki laboratorium bibit, ini tentu memberikan kepercayaan kepada BLU untuk PT jati wuna lestari sebagai pengelola,” ucap Agus.

Dikesempatan sama, Dirut PT Jati Wuna Lestari, Laode Rifai Pedansa mengungkapkan penanam jati tahap pertama difokuskan pada kawasan hutan produksi di Desa Lambiku, Kecamatan Napabalano. Dia juga optimis bahwa penanam jati seluas 600 hingga 1.800 hektar bisa selesai pada akhir tahun ini. Selain itu, telah ada pencanangan penanaman 12 ribu hektar.

“Sebenarnya ini langkah awal, tetapi yang paling penting kelanjutannya ini berkesinambungan. Saya berharap, seluruh masyarakat apakah dengan cara bergotong royong secara masif bisa kembalikan hutan jati ini. Sebagaimana intinya mengembalikan Pulau Muna sebagai penghasil jati,” ujar Rifai.

Menurutnya, masyarakat masih menganggap penanaman pohon jati kurang menguntungkan dengan waktu proses masa panen terbilang sangat lama. Namun dengan kecanggihan teknologi di masa ini melalui penelitian, bibit bisa dikembangkan dan diproduksi cepat dengan waktu 10 tahun pemeliharaan.

“Berdasarkan pengalaman, banyak masyarakat merasa rugi menanam jati dengan waktu yang lama, namun dengan teknologi yang sekarang masyarakat pasti kembali punya keinginan membangun hutan,” tambahnya.

Laporan: Arto Rasyid

  • Bagikan