Kendari Keren, di Panace Ji

  • Bagikan
Ilustrasi. (Foto: Ist)

Pernah membaca tulisan Kendari Keren? Saya melihatnya dalam banyak kesempatan di sejumlah sisi belakang kendaraan bermotor. Susah membayangkan, apa yang dimaksud keren dari sticker atau panace-begitu kita di sini menyebut tulisan atau gambar yang bisa ditempel.

Paling tidak, ada gambaran spirit positif di balik kata Kendari Keren. Tapi mari kita membedah beberapa trending topik soal Kota Kendari yang nyata di depan mata.

Badan Narkotika Nasoional (BNN) Provinsi Sulawesi Tenggara menyebutkan hasil pemetaan 2020, sebanyak 24 kelurahan yang dijadikan sampel dari 64 kelurahan di Kota Kendari, dinyatakan tidak aman dari narkoba. Hasil pemetaan tahun 2020 menunjukkan tidak adanya kawasan yang berkategori aman pada 24 kelurahan yang menjadi sampel, namun terdapat 16 kelurahan kategori bahaya, 5 kelurahan kategori waspada, dan 3 kelurahan kategori siaga. Perkembangan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah mencapai situasi yang sangat mengkhawatirkan. Penyalahgunaan narkoba tidak mengenal batas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosial maupun jenis kelamin. Fakta ini tidak membuat Kendari jadi keren.

Kasus narkoba hampir merata terjadi di semua kelurahan di Kota Kendari. Pemerintah kota merespon fenomena ini dengan membentuk tim untuk menghadirkan 4 kelurahan yang disebut Kelurahan Bersinar, akronim dari kelurahan bebas narkoba. Langkah-langkahnya apa saja? sosialisasi antinarkoba, menyebarkan brosur bahaya narkotika, dan pemberdayaan masyarakat khususnya di kalangan anak muda.

“Ada pokja (kelompok kerja) yang melaksanakan kegiatan sosialisasi bahaya narkoba, kemudian ada pokja yang melakukan pemberdayaan masyarakat. Jadi akan ada beberapa masyarakat dari kelurahan tersebut dilatih sebuah keterampilan yang bisa menjadi sandaran mata pencaharian, misalnya keterampilan menjahit terkait dengan sumber daya yang ada di kelurahan itu,” jelas Kepala BNNP Sultra, Brigjen Pol Sabaruddin Ginting, Jumat (SultraKini 19/2/2021).

Narkoba itu masalah serius, kategorinya extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) penanganannya tidak bisa seperti mengikuti manual book kasus-kasus biasa. Para pelakunya didukung jaringan organisasi yang luas, dan modus operandi tingkat tinggi dan bahkan berjenjang hingga ke level jaringan internasional. Saat Komjen Pol Togar Manatar Sianipar menjabat Kepala Pelaksana Harian BNN di 2002, sudah memastikan Indonesia bukan lagi tujuan peredaran atau konsumen narkoba, tapi sudah menjadi produsen.

Tahun 2020 kemarin, data BNN menyebut setiap hari rata-rata ada 50 orang meninggal dunia di Indonesia gara-gara narkoba. Itu setiap hari, berapa angkanya dalam satu tahun? Lebih dari 18 ribu nyawa.

50 orang per hari itu baru angka kematian, belum lagi yang masuk rumah sakit, rumah sakit biasa, hingga rumah sakit jiwa serta yang tidak menjalani perawatan apapun di tengah masyarakat akibat narkoba. Kesadaran semua pihak dituntut hadir bahwa generasi muda kita saat ini sedang berusaha dirusak oleh kelompok tertentu. Akarnya adalah kebebasan yang tidak terkendali.

Sedikit mengesampingkan masalah narkoba yang pelik, kita bahas masalah minuman keras. Jalan panjang pengaturan dan pengendalian minuman berbahaya ini sudah ada di era Presiden Soeharto, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Ujungnya yang terbaru adalah Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan soal miras tercantum dalam lampiran Perpres, yakni soal daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Bidang usaha miras masuk di dalamnya.

Terbaru, hanya berumur beberapa hari Presiden Jokowi mencabut Peraturan Presiden (perpres) izin investasi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol. Perpres itu tertuang dalam Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021.

Jokowi membatalkan perpres tersebut setelah mendengar masukan dari beberapa kelompok masyarakat, seperti ulama, MUI, NU, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya.

“Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat (ormas) serta tokoh-tokoh agama yang lain, saya sampaikan lampiran perpres pembukaan investasi baru industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” ucap Jokowi dalam konferensi pers, Selasa (2/3/2021).

Terlepas dari persoalan legalitas, di Kota Kendari sangat mudah menemukan toko yang terang-terangan menjual minuman keras. Komitmen moral lagi-lagi dibutuhkan untuk menjaga generasi kita dari bahaya minuman keras. Sekali lagi, melimpahnya miras di Kota Kendari tidak membuat kota ini menjadi keren.

Sedikit berkaca tentang peran miras yang “dilibatkan” dalam kasus penyingkiran kaum Kulit Merah di Amerika (American Indian) oleh kaum kulit putih. Sejarah hanya menyisakan kisah-kisah keberanian suku Apache, Sioux, Comanche, Lakota, Cheyenne, Cherokee, Navajo, Iroquois, dlsb, dari mulai Perang Kemerdekaan Amerika melawan Inggris (1775-1783) sampai dengan selepas Perang Saudara (1861-1865).

Ke mana mereka? Setelah melalui banyak pertempuran yang berdarah-darah, kaum Kulit Putih sadar bahwa perlawanan bangsa Kulit Merah (Indian) harus dipadamkan dengan cara yang tepat. Cara yang dipilih adalah merusak generasi mudanya dengan penyebaran miras.

Kaum Kulit Putih dengan liciknya menyebarkan miras ke tempat-tempat perkampungan Indian. Bahkan mereka mensubsidi miras itu sampai-sampai karena murahnya miras, you buy a beer, you get free lunch! (beli bir, anda akan mendapatkan makan siang gratis). Intinya, miras menjadi barang murah dan sangat mudah diperoleh sehingga orang miskin dan sengsara pun bisa membeli agar bisa mabuk demi sejenak kabur dari kenyataan hidup mereka.

Dengan sangat cepat orang-orang Kulit Merah yang menderita depresi hidup terkungkung di reservasi-reservasi itu akhirnya terjerumus. Miras menjadi pelarian mereka terhadap kenyataan hidup yang menyedihkan. Bayangkan, bangsa Kulit Merah itu dulunya adalah bangsa nomaden. Pejuang yang gagah berani hidup dengan cara berburu. Kini terkungkung hidup di reservasi dan menanti jatah belas kasihan dari kaum Kulit Putih. Akhirnya mereka pun jadi pemabuk, dari anak muda sampai orang tua, semua pemabuk.

Habislah generasi mereka, dan hilanglah sudah pemilik sah tanah Amerika Utara yang begitu kaya itu menjadi bangsa pinggiran sekadar menjadi pelayan bagi bangsa pendatang.

Cara yang sama pun diulang lagi oleh kaum Kulit Putih di Australia terhadap bangsa Aborigin.

Satu lagi yang membuat Kota Kendari jauh dari kata keren, yaitu polusi suara di jalanan. Aparat berwenang tidak peduli dengan hobi pemilik kendaraan bermotor yang membuat suara knalpotnya memekakkan telinga. Knalpot bogar, begitu orang Kendari menyebut dengan bangga knalpot mobil dan motor mereka yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga mengeluarkan suara yang sangat mengganggu pendengaran. Ironisnya bahkan ada oknum aparat keamanan sampai PNS sebagai pemilik knalpot bogar.

Paling tidak ada dua kebiasaan buruk para pengguna knalpot bogar ini, kalau tidak melaju kencang di jalan raya, pasti meraung-raung mempermainkan gas kendaraan meski dalam kecepatan rendah. Pengguna knalpot bogar bukan hanya digunakan oleh kendaraan berusia lawas, tapi justru didominasi oleh kendaraan-kendaraan baru.

Knalpot bogar menjadi ajang unjuk gigi para pemiliknya yang ingin tampil eksis dengan cara instan. Menjadi pusat perhatian, makan puji. Mungkin dipikirnya, menjadi terkenal itu mudah, tidak perlu capek berprestasi, cukup knalpot ribut, semua orang sudah melirik.

Kesimpulannya, ancaman narkoba, peredaran miras yang masif serta knalpot bogar di jalanan Kota Kendari tidak linier dengan kata keren yang dalam kamus besar Bahasa Indonesia bermakna gagah dan tangkas. Masih bertumpuk fakta-fakta minus di Kota Kendari yang tahun ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-190. Drainase buruk, kualitas jalan yang menyedihkan, miskin penerangan jalan umum, trotoar jalan minim, budaya membuang sampah sembarangan, perairan teluk Kendari yang kotor, pasar tradisional yang semrawut, dan deretan masalah perkotaan yang masih panjang.

Mengamati perkembangan kota ini sejak tahun 1989, hanya ada satu produktivitas warga kota ini yaitu menciptakan istilah atau kata-kata. Saking banyaknya daftar kosa kata istilah orang Kendari itu, sudah ada yang menyusunnya menjadi sebuah buku berjudul Pemakaian Bahasa Indonesia di Kalangan Remaja Sulawesi Tenggara di tahun 2008. Sayangnya, membangun dan merawat kota ini tidak cukup dengan kata-kata gaes.

Penulis: AS Amir

  • Bagikan