Kesetaraan Gender, pemicu utama perceraian masa kini

  • Bagikan
Fitriani (Mahasiswa UNIDAYAN Baubau).Foto Ist

Kemunculan gagasan kesetaraan gender, yakni upaya menyetarakan perempuan dengan laki-laki, beranjak dari sebuah asumsi tentang kondisi perempuan. Kaum perempuan diasumsikan berada dalam kenyataan buruk seperti kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan dan sebagainya. Kondisi buruk itu terjadi akibat beban-beban yang dipikul kaum perempuan yang menghambat kemandiriannya. Beban-beban berat itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu kaum perempuan diarahkan untuk meninggalkan kodratnya. Mereka diprovokasi agar berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki yang tidak memiliki beban serupa.

Namun nyatanya,kesetaraan gender kaum wanita saat ini sudah lama menimbulkan berbagai dampak negatif, yang dimana salah satunya yaitu tingkat perceraian yang terus meningkat. Dan ironisnya, kasus perceraian lebih banyak di gugat oleh pihak istri, daripada di talak oleh pihak suami. Seperti yang dikutip oleh Nonstop.com, data Kementrian Agama mengatakan bahwa setiap tahunnya angka perceraian di Indonesia terus naik dan 70% wanitalah yang melakukan gugatan.

“ Beberapa survey yang dilakukan Muslimat NU dan Aisyiyah, sebanyak 70% usulan perceraian atau gugat cerai itu datang dari perempuan” Ungkap Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasinal ( BKKBN ), Fasli Jalal.

Belum lagi ungkapan panitia PA Banjarbaru, Mutrhada mengatakan bahwa sebagian besar yang melayangkan gugatan adalah PNS perempuan. “ sementara hingga dipertengahan tahun 2016 jumlah PNS yang bercerai di Banjarbaru sudah mencapai 33 orang “ ungkapnya.

Berdasarkan fakta mencengangkan diatas, kita memang tidak bisa menutup mata atas upaya yang dilakukan oleh Kementrian Agama, yang salah satunya yaitu mengurangi angka perceraian dengan menetapkan aturan bahwa setiap pasangan yang mendaftarkan diri di Kantor Urusan Agama ( KUA ), maupun catatan Sipil akan diberi modul terkait tips-tips menjaga keharmonisan rumah tangga. ( Merdeka.com, 26/09/2016 )

Namun, apakah cara tersebut cukup efektif untuk menekan atau mengurangi angka perceraian setiap tahun, bahkan setiap detiknya yang makin melonjak, seperti yang dikutip pada Kompanisasi.com bahwa setiap jamnya terjadi 40 kasus perceraian.(17/06/2016).

Padahal, kalau dilihat secara mendalam, salah satu faktor utama yang menyebabkan perceraian meningkat, terlebih kaum wanita yang menggugat, ialah dampak atau hasil dari diterapkannya kesetaraan gender yang begitu diagung-agungkan dinegeri ini. 

Ketika kuliah atau menuntut ilmu dibangku pendidikan, perempuan selalu di cokoki faham kesetaraan gender. Paham yang dimana perempuan juga harus bisa berkarir dan mampu bersaing diluar rumah. Belum lagi pendoktrian bahwa jika hanya menjadi ibu rumah tangga itu sangatlah terbelakang. Sehingga perempuan masa kini menjadikan pekerjaan sebagai tujuan utama. 

Kesetaraan gender di Indonesia sangat mendapat tempat di hati pemerintah. hal ini bisa dilihat dengan diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 lalu, yang telah berimbas pada perempan, seperti eksploitasi terhadap perempuan, mereka didorong untuk keluar rumah, terlebih diberi gerbang yang seluas-luasnya untuk bekerja di sektor publik. Belum lagi perolehan materi dan tunjangan-tunjangan gaji, membuat wanita karir ini makin tergoda.  Salah satu contohnya, dalam pilkada saja perempuan disediakan kuota kursi sebanyak 30 persen, sehingga diharuskan dalam pencalonan pilkada, harus ada perempuan juga, sepperti yang tertuang dalam pasal 55 UU Pemilu No. 8/2012 diwajibkan paling tidak ada tiga kandidat perempuan dalam daftar yang dipilih partai politik. Dan partai politik akan dilarang mengikuti pemilu jika tidak memenuhi kuota tersebut. 

Belum lagi, pemerintah yang sengaja memfasilitasi semuanya, agar perempuan ikut mengambil peran untuk bekerja diluar rumah. Sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan wanita meninggalkan peran utamanya dalam keluarga dan merasa lebih mampu dan lebih bisa hidup mandiri dan menghidupi anak-anaknya. Hasilnya, seperti kasus diatas, banyaknya perempuan yang meminta bercerai yang mungkin hanya karena permasalahan sepele saja.

Maka wajarlah, jika perempuan masa kini terjebak dalam arus emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Terlebih, negara yang mengaut sistem kesetaraan gender standar keberhasilan dan kebahagiaannya adalah dengan tercapainya materi dan tercukupinya kebutuhan jasmani. Padahal dalam islam, kebahagiaan dan keberhasilan standarnya adalah bagaimana bisa mendapat ridha Allah SWT sesuai dengan hukum syara.

Peran utama Perempuan dalam Islam

Padahal, sejatinya peran ibu atau istri adalah sebagai ummu warobbatul bait (ibu dan pengatur Rumah Tangga). Bahkan itu adalah pekerjaan paling mulia bagi seorang wanita, yang dimata para feminis dan pejuang gender tiada nilainya. Dan menjadi ummu warobbatul bait adalah multiprofesi tanpa gaji tapi berpahala tinggi. Di tangan seorang istrilah dukungan utama perjuangan suami, sandaran rasa lelah suami, tempat terindah keluh kesah suami, dan hiburan paling mujarab bagi suami. Di tangan seorang ibulah generasi dilahirkan, dipersiapkan, dididik dan diperhatikan. Dialah madrasah pertama dan utama, yang melahirkan calon-calon generasi gemilang.  

Seperti Khadijah, istri Rasulullah yang dengan semangat dan saling membantu dan mendukung perjuangan suaminya dan tetap optimal mendidik anak-anaknya sehingga tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa. 

Penulis : Fitriani (Mahasiswa UNIDAYAN Baubau)

Alamat :  Jln. Wa Ode Wau No.51, Kota Baubau

No. HP : 082191370663

  • Bagikan