Ketimpangan Pendidikan Indonesia Timur dan Barat

  • Bagikan
Salah satu potret pendidikan dan gedung sekolah di Indonesia Bagian Timur. (dok pribadi)

Oleh: Anco, S.Sos.I, M.Pd
(Mahasiswa Pascasarjana UNJ)

Usia kemerdekaan Negara Republik Indonesia sudah 72 tahun. Di  usia senja seperti ini seharusnya pembangunan baik pembangunan fisik maupun sumber daya manusia (SDM) merata di seluruh pelosok negeri. Tapi, pada kenyataanya bahwa pembangunan hanya berpusat pada satu titik yakni di Pulau Jawa. Mutu pendidikan di Pulau Jawa sudah sangat bagus, ini ditunjang dengan kualitas pengajar yang berkualitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai serta keterbukaan akses informasi. Oleh sebab itu, banyak mahasiswa dari timur memilih menuntut ilmu di Pulau Jawa.

Mengapa demikian? Bukan karena di timur tidak memiliki perguruan tinggi untuk dijadikan tempat menuntut pendidikan lanjutan tetapi umumnya karena masalah kualitas dan motivasi untuk mencari yang terbaik. Lihatlah contoh konkretnya perguruan tinggi negeri unggulan yang dicap Bonefide hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa, bahkan hampir seluruhnya masuk dalam 10 besar PTN unggulan di Indonesia versi beberapa portal media.

Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya pendidikan, kita bisa memahami berbagai informasi. Pendidikan  bukan hanya soal masalah kualitasnya saja, namun juga tentang pemerataan.

Masih banyak daerah-daerah pelosok di Indonesia Timur yang belum menerima pendidikan yang layak. Masalah pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia kerap kali terhambat oleh beberapa faktor, sehingga sulit untuk mewujudkan pelayanan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, terutama di wilayah Indonesia Timur. Selain sarana dan prasarana yang kurang dan belum memadai, kualitas dari guru dan tenaga pengajar juga dirasa masih belum kompeten.

Kondisi pendidikan Indonesia Timur sangat memprihatinkan, banyak anak-anak yang putus sekolah. Berdasarkan data dari Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (PAUDNI) terdapat sekitar 800 ribu anak-anak putus sekolah di kawasan Indonesia Timur.

Selain itu, kawasan Indonesia Timur juga masih memiliki angka buta huruf yang tinggi. Bahkan 3 provinsi dengan presentase tertinggi penduduk yang buta huruf berasal dari provinsi di Indonesia Timur, yaitu Provinsi Papua (36,31 persen), Nusa Tenggara Barat (16,48 persen) dan Sulawesi Barat (10,33 persen). Sementara provinsi di Indonesia Timur lain juga memiliki presentase buta huruf di atas 5 persen, yaitu Nusa Tenggara Timur (10,13%), Gorontalo (5,05%), Sulawesi Tenggara (6,76%) dan Papua Barat (7,35%).

Di wilayah Papua, perkembangan pendidikan terbilang paling memprihatinkan. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jika lebih dari 50% anak-anak usia sekolah (3-19 tahun) tidak mendapatkan pendidikan di sekolah. Minimnya fasilitas masih menjadi faktor utama. Di Papua, masih banyak sekolah yang berdiri seadanya dengan menggunakan tenda dan kursi yang lapuk. Kualitas pengajar yang tersedia juga belum kompeten.

Selain masalah fasilitas dan SDM, penyebab utama lainnya adalah minimnya stimulasi yang diberikan pada anak usia dini. Di Papua, anak-anak lebih banyak tumbuh dan berkembang alami tanpa diberikan edukasi yang baik. Minimnya sistem pengajaran sejak usia dini, seperti PAUD atau TK, tentu membuat pendidikan di Papua menjadi terlambat dan tidak terstruktur. Selain itu, adat dan kebudayaan setempat juga secara tidak langsung menjadi penghambat sistem pendidikan di Papua.

Sementara di wilayah Maluku, masalah pendidikan juga hampir sama. Di daerah-daerah terpencil di Maluku, masih banyak ditemui sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan. Faktor prasarana yang buruk serta tenaga pengajar yang kurang masih menjadi penghambat utama.

Di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), masalah pendidikan terbilang cukup kompleks. Masyarakat di NTB masih belum memahami pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Hal ini mendorong banyaknya anak yang putus sekolah. Para pelajar juga banyak yang enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akibatnya banyak penduduk NTB yang buta aksara. Tercatat sebanyak 417.991 warga NTB menyandang buta aksara atau sekitar 16,48 persen dari total penduduk yang ada.

Sedangkan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), kualitas pendidikan juga tergolong rendah. Masalah SDM yang ada menjadi faktor utama. Tercatat hampir 50 persen dari total 80 ribu guru di NTT hanya memiliki ijazah SMA. Hal ini tentu mempengaruhi mutu pendidikan di NTT. Banyak juga sekolah di kawasan pedesaan yang kekurangan guru dan tenaga pengajar lainnya.

Pada dasarnya potensi anak- anak timur juga besar tidak kalah dengan anak- anak di Pualu Jawa, dengan mendapatkan akses yang lebih baik misalnya buku- buku anak yang berkualitas. Perkembangan pendidikan diwilayah  Indonesia Timur butuh sentuhan, pemerintah perlu bekerja lebih cermat dan  dan kerja keras untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia Timur.

Melihat fakta-fakta yang ada diatas, tentu bisa dikatakan bahwa kualitas pendidikan di wilayah Indonesia Timur masih tertinggal, jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Sumatera atau Kalimantan. Dibutuhkan penanganan dari pemerintah dan semua pihak untuk bisa mengatasi permasalahan ketertinggalan pendidikan di wilayah Indonesia bagian Timur ini. Penulis berharap Rezim pemerintahan Jokowi-JK bisa meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia timur.

Wallahu A’lam Bishawab.

  • Bagikan