Konawe Tertinggi KDRT

  • Bagikan

Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Sulawesi Tenggara, diketahui bahwa Konawe merupakan daerah dengan kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tertinggi se-Sultra. Tercatat selama 2017, ada 34 kasus (Rakyat Sultra, 27/07/2018).

Setelah Konawe, menyusul di posisi kedua Konawe Selatan dengan 33 kasus. Di posisi ketiga, ada Kota Bau-Bau dengan 25 kasus. Sementara itu, terdapat pula daerah yang paling sedikit mengalami kasus KDRT yakni kabupaten Konawe Kepulauan dan Kabupaten Buton Selatan. Masing-masing 1 kasus. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Seksi Data dan Informasi DP3AKKB, Darwin (Wartasultra.id, 31/07/2018).

Adapun secara nasional, Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengatakan ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dicatat oleh beberapa lembaga terkait pada 2017. KDRT tercatat menjadi kasus dengan angka paling tinggi, yaitu 335.062 kasus (Detiknews.com, 07/03/2018).

Azriana menyebutkan bahwa angka kekerasan sepanjang 2017 meningkat karena budaya masyarakat yang masih menempatkan posisi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini dilihat dari sisi pengambilan keputusan yang masih didominasi oleh laki-laki. Pihaknya menuturkan, pemerintah harus memperbaiki paradigma dari aparatur negara yang tidak memandang serius kekerasan terhadap perempuan ini, yang menyebabkan masih ada orang yang diskriminatif terhadap perempuan.

Akar Masalah
Secara umum, terjadinya KDRT dapat dipetakan menjadi dua faktor. Pertama, faktor individu yakni tidak adanya ketakwaan pada individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami isteri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental.

Kedua, faktor sistemik yaitu kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah, dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia (Sultrakini.com, 06/08/2018).

Lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini, kebanyakan fokusnya tidak menyentuh ruhani. Tidak heran, maka tumbuhlah nuansa pendidikan yang kering dari nilai agama, campur baur antara pelajar lelaki dan wanita, pakaian yang menampakan aurat, dan muatan kesehatan reproduksi (Kespro) yang tertuang dalam basis liberalisme, bukan pondasi agama. Sekalipun ada sekolah berbasis Islam, tetapi konsep pemisahan antara agama dengan kehidupan duniawi (sekuler) masih sama dengan sekolah umum.

Selain faktor sistem pendidikan berbasis liberal, faktor ekonomi tentu sangat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya sering menjadi pemicu utama timbulnya konflik antara suami dan istri. Jikalau sudah begitu, istri pun akan memilih bekerja, yang terkadang justru melalaikannya dari kepengurusan rumah tangga.

Belum lagi paham kebebasan yang menyebar di seluruh sektor kehidupan menumbuhsuburkan pergaulan bebas. Media beraroma liberal pun makin menancapkan kuku kekuasaannya. Dampaknya, diman-mana dengan mudah kita jumpai hal-hal yang membangkitkan naluri seksual. Perselingkuhan tidak terelakkan. Buntutnya, terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Penyimpangan seksual juga tak bisa dinafikan kemunculannya. Pasangan harmonis sekali pun bisa menjadi beringas ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.

Ketahanan Keluarga ala Islam
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus. Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud. Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami istri. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” (TQS al-A‘râf: 189).

Keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami istri tidak memahami hakikat berkeluarga. Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan. Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental. Agar masing-masing pasangan tidak mudah melakukan kekerasan.

Keluarga, masyarakat, dan negara hendaknya berperan penting dalam membangun sinergitas ketahanan keluarga yang Allah syariatkan. Memaksimalkan pembekalan pasangan suami-istri dalam bentuk penguatan akidah, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan, membina diri menjadi muslim dan muslimah berkepribadian Islam, dan pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Segala persiapan yang dituntun oleh syari’at Islam tentu akan membangun keluarga yang kokoh dan melahirkan generasi yang berkualitas.

Sistem pemerintahan Islam juga akan menyelesaikan persoalan kemiskinan. Pun, menjaga agar kewajiban nafkah berjalan sesuai aturan. Tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal. Negara berwenang menyediakan lapangan kerja yang luas.

Terpenting, dalam Islam terdapat ketentuan yang mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan dan tindak kekerasan. Negara wajib meminimalisir pergaulan bebas, KDRT, dan perselingkuhan. Hukum-hukum pergaulan laki-laki dan perempuan ditegakkan sesuai syariah. Di samping itu, media massa juga terjaga dalam menyebarkan berita. Mereka berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Dengan aturan Islam, masyarakat akan terjaga dalam ketakwaan. Maka KDRT pun dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan. Wallahu’alam bisshawab.

 

Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Praktisi Pendidikan Konawe)

  • Bagikan