Korupsi dan Monopoli Kekuasaan

  • Bagikan
La Husen Zuada
La Husen Zuada

Oleh: La Husen Zuada (Dosen FISIP Universitas Tadulako)

Pekan lalu publik Sultra dihangatkan dengan penggeledahan kejaksaan pada kantor dinas energi sumber daya mineral Sulawesi Tenggara. Awalnya banyak yang pesimis dengan langkah kejaksaan itu, maklum sebagian kalangan menganggap ini hanya ‘gertak sambal’, ujungnya akan hilang secara perlahan ditelan waktu. Kejaksaan menjawab keraguan publik ini, tidak lama berselang dari kegiatan penggeledahan, pihak kejaksaan menetapkan 4 tersangka yaitu dua orang mantan pejabat pemerintah (kepala dinas energi dan sumber daya mineral dan kepala bidang minerba), dua orangnya lagi berasal dari swasta, pengusaha sektor pertambangan. Pihak kejaksaan dalam penjelasannya menyebut bahwa ada kerugian negara dan praktek suap dalam pengaktifan kembali izin usaha pertambangan yang melibatkan dua pejabat pemerintahan dan swasta.

Langkah penetapan tersangka ini setidaknya meredakan pesimisme publik terhadap kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di daerah, khususnya Sulawesi Tenggara. Dukungan terhadap kejaksaan untuk lebih berani membongkar kasus korupsi menggema, meski tidak sedikit pula yang memberikan pembelaan kepada para tersangka dengan nada ancaman. Sungguh disayangkan para pembela ini sebelumnya memiliki rekam jejak anti premanisme, anti korupsi, pembela petani, nelayan, masyarakat terpinggirkan dan kalangan pro demokrasi. Apakah ideologi mereka sudah berubah? Ataukah ideologi mereka mulai luntur dengan silau kapital? Dalam dinamika kehidupan pergesaran dan memudarnya ideologi sangat mungkin terjadi. Dahulu yang menjadi penganggum sosialisme, bisa berubah menjadi pembela liberalisme yang sangat militan. Dahulu yang berdiri bersama kaum proletar kini menjadi kaki tangan kaum borjuis. Roda kehidupan memang berputar, tapi setidaknya idealisme tidak jauh bergeser.

Korupsi di sektor pertambagan bukanlah kejadian pertama di Sulawesi Tenggara. KPK dan kejaksaan telah menindak setidaknya 3 kepala daerah di Sulawesi Tenggara terkait korupsi di sektor pertambangan. Tidak hanya melakukan penindakan, KPK juga sejak tahun 2015 melakukan upaya pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang melibatkan 27 kementrian lembaga dan 34 pemerintah provinsi. Seingat saya pula, pasca beberapa kepala daerah di Sulawesi Tenggara disangka dan didakwa kasus korupsi, KPK rajin melakukan pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di daerah. Lalu mengapa korupsi di daerah masih terus terjadi? Setidaknya ada dua hal yang bisa menjelaskan ini.

Pertama, elit lokal mempraktekan otonomi daerah bukan seperti para penggagas teorinya bahwa otonomi daerah berkaitan dengan praktek good governance. Sebaliknya persaingan elit didaerah melalui Pilkada dipahami sebagai peluang memperebutkan keuntungan (rent seeking) terhadap sumber daya alam didaerah. Dalam konteks itu, maka munculnya tim sukses ataupun nama lain pada saat Pilkada lebih dilatarbelakangi oleh motif rent seeking ini, daripada motif melahirkan pemerintahan yang baru, anti korupsi dan lebih baik dari sebelumnya. Para tim sukses yang kemudian ditunjuk sebagai pengelola proyek pembangunan, pimpinan birokrasi dan BUMD ketika memimpin tidak melakukan upaya reformasi untuk mencegah korupsi, sebaliknya mereka larut dalam kekuasaan, dan melanjutkan perilaku koruptif pemerintahan sebelumnya.

Kedua, monopoli kekuasaan. Praktek korupsi rentan terjadi ketika kekuasaan di monopoli. Praktek monopoli kekuasaan di era pemerintahan Ali Mazi-Lukman terlihat sangat mencolok. Klan, keluarga dan tim sukses menyebar dalam jabatan-jabatan yang menggunakan anggaran daerah. Diantara mereka ada yang merangkap jabatan, menjadi pimpinan birokrasi, mengurusi olahraga, mengurusi pemuda, mengurusi bank, mengurusi proyek, mengurusi pengadaan dan banyak lagi. Seolah tidak ada lagi yang ahli diluar mereka-mereka. Kelemahan dari regulasi hukum kita, tidak ada larangan memang soal rangkap jabatan ini, namun monopoli kekuasaan ini seharunya disadari sebagai peluang terjadinya korupsi. Klitgaard (2008) telah mengokseptualisasikan ini bahwa Corruption (C) = monopoli (M) + diskresi (D) – akuntabilitas (A), atau C = M + D – A.  Dalam bahasa yang sederhana, praktik korupsi sangat rentan terjadi bila kekuasaan dimonopoli, adanya diskresi, dan kurangnya akuntabilitas.

Penetapan tersangka di dinas ESDM pekan ini, OTT pada dinas kesehatan Sulawesi Tenggara beberapa bulan lalu, bergulirnya hak angket DPRD tentang re-focusing anggaran Covid 19, bergulirnya penyelidikan kepolisian pengadaan perahu yang melibatkan KONI dan Dinas Pemuda dan Olahraga, serta berbagai laporan masyarakat sipil tentang pengerjaan mega proyek pembangunan di Sulawesi Tenggara (jalan Toronipa, perpustakaan dan RS jantung), menjadi penanda bahwa pemerintahan Ali Mazi-Lukman sedang tidak baik-baik. Upaya-upaya pembenahan diperlukan untuk memperbaiki keadaan dan fokus pada pencapaian program Gerakan Akselerasi Pembangunan Daratan dan Kepulauan (GARBARATA).

  • Bagikan