Lailatul Qadar

  • Bagikan
Makmur Ibnu Hadjar.Foto: Ist

Oleh : Makmur Ibnu Hadjar

 

Salah satu moment yang dinantikan oleh kaum yang beriman dalam bulan Ramadhan seperti saat ini, adalah Lailatul Qadar. Secara harfiah Lailatul Qadar berarti “malam penentuan”, atau “malam kepastian” jika kata qadar dipahami maknanya setara dengan kata taqdir. Tetapi ada juga intelektual Islam (baca ulama) mengartikan Lailatul Qadar sebagai “Malam Kemahakuasaan” jika kata qadar itu dipahami setara dengan kata al-Qadir, yang artinya “Yang Maha Kuasa”.

Dalam Qur’an suci (surat Al Qadar), digambarkan secara ringkas tentang Lailatul Qadar itu, yang dikaitkan dengan malam diturunkannya Al Qur’an, dimana dilukiskan bahwa ALLAH menurunkan Al Qur’an pada malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Dilukiskan bahwa pada malam tersebut Jibril dan para maikat turun kebumi. Jibril dan para malaikat lainnya turun dengan membawa segala rakhmat bagi alam semesta serta bumi dan penghuninya, khususnya umat manusia. Pertanyaan kita selanjutnya adalah, “kenapa ALLAH Subhana Wata’ala mengaitkan kemuliaan Lailatul Qadar itu dengan variable “waktu”, kenapa bukannya dengan varible lain ?. Maksudnya adalah kenapa ALLAH Subhana Wata’ala memberi hidayah dalam bentuk amal pada malam Lailatul Qadar itu yang nilai instristiknya setara dengan amal ibadah seribu bulan bulan, bukannya setara dengan besaran-besaran (variable) yang lain, misalnya setara dengan jumlah daun disemua hutan di permukaan bumi atau setara dengan jumlah butir pasir di pantai, dan ukuran kuantitas-kuantitas lainnya.

Akal sehat kita, harus bisa menyelusuri hikmahnya. Dari sekian banyak variable di alam ini – yang jumlahnya tak terhingga, maka variabel “waktu”, adalah satu-satunya variable yang ajeg dan konsisten dimensi kuantitasnya. Jika ALLAH menggunakan ukuran variable lain, mungkin terjadi ketidakadilan. Misalnya kalau pakai ukuran jumlah daun di hutan maka antara satu generasai dengan generasi yang lain, jelas akan berbeda jumlah hidayah amalnya karena jumlah daun di hutan senantiasa berubah, demikian pula misalnya jika dengan jumlah butiran pasiir di pantai, tetap juga tidak adil, karena oleh proses alamiah sehingga jumlahnya pasir di pantai selalu berubah-ubah.

Satu-satunya variable yang sungguh mengandung azas keadilan untuk semua umat manusia dari jaman Nabi Adam sampai Rasulullah Muhammad SAW, dan sampai dengan hari kiamat adalah “Varible Waktu”, karena waktu memiliki unsur kepastian (eksakta). Jadi hidayah dalam bentuk amal, yang nilai setara dengan seribu bulan itu akan dinikmati oleh umat manusia sepanjang masa dalam ukuran yang sama. Disinilah letak keadilan dan kemahakusaan ALLAH, bahwa umat yang terdahulu, umat sekarang dan umat pada masa yang akan datang, ukuran hidayah yang diterima adalah sama, dalam konteks Lailatul Qadar itu.

Dengan pengertian itu, Lailatul Qadar memang merupakan malam penentuan dan malam “Kemahakuasaan ALLAH”. Ini akan semakin jelas jika dikaitkan dengan kehadiran Qur’an Suci, seperti yang ditulis oleh Nurcholish Madjid (2002); bahwa tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslimin saja, melainkan pengaruhnya baik secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh peradaban umat manusia.

Dalam prespektif yang lain, yakni pada konteks pengertian seribu bulan itu, Abdullah Yusuf Ali sebagaimana yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa Lailatul Qadar sebagai moment mistis, yang menurut beliau pemahaman lebih mulia dari seribu bulan itu tidak secara harfiah, tetapi sebagai simbolisasi bahwa Lailatul Qadar mengatasi waktu (transcends time), karena malam itu adalah titik awal melenyapkan kebodohan, dan titik awal datangnya suatu pencerahan peradaban umat manusia, yang sumbernya dari wilayah padang pasir yang tandus, dengan peradaban yang jahiliyah, yang kemudian pengaruhnya luar biasa – melintasi ruang dan waktu, yaitu sampai dengan akhir zaman. Wallahuallam bissawab*.

  • Bagikan