Lemah Gemulai Penegakan Hukum Dalam Ekspor Jual/Beli Ore Nickel

  • Bagikan
Muhamad Ikram Pelesa (Departemen Kajian Lingkungan Hidup PB HMI)
Muhamad Ikram Pelesa (Departemen Kajian Lingkungan Hidup PB HMI)

SULTRAKINI.COM: Beberapa waktu lalu, dunia investasi pertambangan di Pulau Tenggara Sulawesi dihebohkan dengan suspend yang dikeluarkan oleh H. Ali Mazi, SH, Gubernur Sulawesi Tenggara. Keputusan itu diambil sesuai hasil verifikasi dan investigasi Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Sulawesi Tenggara atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh puluhan perusahaan tambang di ‘Bumi Anoa’ itu.

Hasilnya, 27 perusahaan tambang yang beroperasi di Sulawesi Tenggara terpaksa harus dihentikan, akibat ulah mereka sendiri yang lalai dalam melengkapi dokumen legalitas pada aktivitas penambangan, baik secara teknis maupun administrasi. Meskipun diketahui secara diam-diam masih beraktivitas.

Yang lebih menghebohkan lagi, sehari lalu Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, Andi Azis, melalui Kepala Bidang (Kabid) Mineral dan Batu Bara(Minerba) Yusmin, buka-bukaan soal kerugian negara sebesar Rp 265 miliar yang diakibatkan oleh beberapa izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah di 22 perusahaan tambang yang beroperasi di dua kabupaten, Sulawesi Tenggara, yakni Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe Utara. Atas pengiriman ore nikel yang dilakukan 22 perusahaan tambang di Konawe Selatan (Konsel) dan Konawe Utara (Konut) dengan hanya bermodalkan surat izin berlayar (SIB) yang direkomendasikan oleh syahbandar tanpa Surat Keterangan Verifikasi (SKV) dari Dinas ESDM Sultra, sehingga pihak ESDM Sultra menilai bahwa, hal tersebut merupakan tindakan yang yang semena-mena. Sebab, 22 perusahaan tersebut sama sekali belum memiliki Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB), serta IUP-nya bermasalah.

Polemik itu justru membuat publik terheran sebab jika kita merujuk pada Surat Edaran Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Nomor: 05.E/30/DJB/2016 tentang Penggunaan Surveyor Dalam Rangka Pelaksanaan Kegiatan Penjualan/Pengapalan Mineral Dan Batubara, seharusnya yang berhak untuk melakukan verifikasi atas kelengkapan dokumen barang milik perusahaan adalah Kementerian ESDM melalui surveyor.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara melakukan sosialisasi untuk Laporan Hasil Verifikasi (LHV) online kepada seluruh KSOP pelabuhan seluruh Indonesia dan perwakilan surveyor yang telah terdaftar di Ditjen Minerba untuk mempermudah verifikasi dokumen bagi perusahaan dengan cara online. Dengan adanya LHV online ini, perusahaan dapat mengetahui tonase penjualan dan royalti yang akan dibayarkan ke negara, dimana yang selama ini sudah berjalan secara manual tiap bulannya, dengan adanya pengembangan sistem pelaporan ini secara online, diharapkan kita dapat mengetahui secara real time terkait jumlah batu bara yang akan dijual di dalam negeri. Pada kesempatan tersebut, tim dari Sub Bagian Pengelolaan Informasi pada Sekretariat Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara selaku pengembang sistem Laporan Hasil Verifikasi (LHV) online menyampaikan bahwa koordinasi dilakukan dengan melibatkan Ditjen Minerba, Ditjen Hubla, Kementerian Perdagangan, KSOP, KUPP, surveyor, dan pemegang Izin Pertambangan (Shipper) dengan penjelasan bahwa:

Pertama, surveyor independen yang terdaftar dan ditunjuk oleh Ditjen Minerba, bertanggung jawab atas verifikasi asal barang, pembayaran royalti, dan Quality and Quantity (QnQ).

Kedua, menjadikan LHV sebagai syarat diterbitkanya Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau Izin Gerak Kapal oleh KSOP/KUPP.

Ketiga, untuk penjualan ke domestik agar dilengkapi Laporan Hasil Verifikasi (LHV) dari surveyor yang telah ditetapkan.

Terakhir, sebelum penjualan/pengapalan mineral atau batubara, wajib membayar royalti secara penuh di muka, Mineral dan batubara bersumber dari IUP OP yang sudah clean and clear (CnC), menyerahkan Laporan Hasil Verifikasi (LHV) dari surveyor yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara. Dan itu tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang baik dan pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, terdapat Ketentuan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (2) yang mengatur mengenai kewajiban verifikasi oleh surveyor pelaksana yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara terhadap kualitas dan kuantitas Mineral atau Batubara yang akan dijual di dalam negeri oleh Pemegang IUP Operasi Produksi, Pemegang IUPK Operasi Produksi, atau Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.

Selain itu, perlu diketahui bahwa yang berhak menerbitkan LHV adalah Surveyor yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Minerba melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 05.E/30/DJB/2016 tentang Penggunaan Surveyor Dalam Rangka Pelaksanaan Kegiatan Penjualan/Pengapalan Mineral dan Batubara, dalam artian tidak ada peran bagi Dinas ESDM Provinsi untuk ambil bagian dalam proses verifikasi dokumen barang yang akan diekspor keluar.

Ketika kita menelaah data pengiriman hasil pertambangan Dinas ESDM Sultra di 2019, dimana sejak Januari hingga Februari didapati ada 140 kapal yang keluar tanpa ada persetujuan dan RKAB dari pihak Dinas ESDM itu sendiri, namun tetap dimuluskan oleh syahbandar sehingga kapal-kapal itu lepas dari daerah Konsel dan Konut. Sebab menurut Dinas ESDM, berdasarkan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 kemudian PERMEN ESDM RI Nomor: 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, bahwa perusahaan-perusahaan pemegang IUP Pertambangan yang tidak memiliki RKAB dan tidak melalui Verifikasi ESDM akan mendapatkan sanksi pencabutan IUP.

Namun di sisi lain, Pihak Syahbandar memiliki otoritas sendiri, melalui regulasinya sendiri dan aturan pendukung lainnya dalam mengatur sistem penjualan dan pembelian Ore Nickel pada dunia pertambangan, boleh dilihat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor : UK.11/17/13/DJPL.10 Tentang pedoman pencetakan, pengisian dan pelaporan blanko surat persetujuan berlayar, Kemudian Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 43 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen, terakhir Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Persetutuan berlayar (Port Clearance),

Dengan demikian, kita dapat melihat adanya topoksi yang salah kapra pada dua instansi tersebut, disisi lain Pihak ESDM bersikukuh bahwa Syahbandarlah yang menjadi biang kerok atas Miliyaran Rupiah kerugian negera akibat aktivitas ilegal puluhan perusahan tambang. Disisi lain juga Syahbandar merasa bahwa Dinas ESDM sultra terkesan membuat aturan main sendiri yang bertolak belakang terhadap tupoksi kesyahbaran itu sendiri.

Dari persoalan ini, kita bisa lihat bahwa tidak perlu kedua instansi terkait saling serang dan menyalahkan terkait optimalnya peran pengawasan pengelolaan sumber daya alam. Sebab menurut penulis, yang mempunyai tanggung jawab terhadap pengawasan aktivitas perusahaan tambang yang diduga ilegal adalah Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan fungsi kontrol yang melekat pada institusi itu sendiri, bukan syahbandar.

Menurut Penulis, syahbandar hanya memeriksa dokumen kelengkapan kapal yang akan berlayar dengan memperhatikan Laporan Hasil Verifikasi (LHV) dari Kementerian ESDM RI, jika semuanya terpenuhi, syahbandar berkewajiban menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB), bukan malah ikut berperan sebagai inspektur tambang yang tugasnya melakukan pengecekan asal usul barang (Ore Nickel) yang akan di-ekspor.

Hal tersebut disadari bahwa ada kelemahan dalam pengawasan, penegakan hukum, dan pemberian sanksi terhadap perusahaan pelaku kejahatan lingkungan dan ilegal mining, baik dari keterbatasan personel Dinas ESDM dalam melakukan pengawasan atas aktivitas pertambangan, sampai pada tupoksi syahbandar yang (kaku) hanya fokus pada soal pengecekan legalitas kapal (Dokumen kapal dan kewajiban perusahaan terhadap negera, baik itu pajak maupun royalty). Sehingga persoalan ini perlu dicarikan jalan tengahnya agar tidak ada kesalahpahaman antar instansi, hanya dapat berujung hingga ke proses hukum akibat tupoksi yang salah kaprah.

Oleh: Muhamad Ikram Pelesa
(Departemen Kajian Lingkungan Hidup PB HMI)

  • Bagikan