Memotong Hati

  • Bagikan

Hilang kebersamaan dengan orang-orang yang menyertai dalam tawa dan tangis adalah rasa sakit yang terlalu sepi, adalah rasa rindu yang teramat menggebu. Seperti saat kau kehilangan warnamu: semangat merahmu, teduh hijaumu, damai birumu, lantas terperenyak mendapati hidupmu begitu hitam putih: hambar dan seolah tak bermakna.
 
Punah persaudaraan dengan orang-orang yang membersamai dalam perjuangan adalah pilu yang begitu memilukan, adalah lebam yang terlampau ungu. Seperti baru saja pulang dari pemakaman dan mendapati rumahmu begitu berbeda tanpa ia di dalamnya, dan kau hanya bisa pasrah terseret arus duka dan kehampaan.
 
Betapa lorong waktu ini sangat panjang, entah sudah dimana kita. Rasanya baru kemarin kita melintas jalan bersama, berbagi mi instan bersama, hingga ke toilet bersama. Kini kau bahkan lebih asing dari makhluk planet antah-berantah.
 
Aku berkawan suara tangisku. Kau berteman sesalmu. Berdua kita sama menginsafi, jarak menjelma bilangan irasional, tak terhitung lagi seiring rasa sakit memotong hati kita sendiri.*Hajriani Friendly
([email protected])

Redaksi SULTRAKINI.COM menerima kiriman karya sastra (puisi, cerpen, essai, dll) dari pembaca untuk dimuat dalam kanal Edukasi-Sastra. Setiap pekan akan dikoreksi oleh para kurator Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara serta penyair dan penulis handal Sultra. Karya dapat dikirimkan melalui email: [email protected] dengan melampirkan identitas jelas.

  • Bagikan