Memuliakan Bendera Tauhid

  • Bagikan
Kasmirawanti, S.s (Pemerhati sosial & Mahasiswi pasca sarjana UHO).Foto:ist

Belum hilang dalam ingatan kita bagaimana bendera tauhid hadir meramaikan peringatan Hari Santri Nasional di kota Garut, Jawa Barat 22 oktober lalu. Namun naas bendera tauhid yang seyogiyanya dihormati serta dimuliakan dibakar oleh sekelompok orang yang berpakaian baju banser. Hal ini menimbulkan beragam reaksi dari kalangan umat islam. Pada umumnya melakukan beragam aksi simpatik, geram dan  bersikap marah atas pembakaran bendera yang dimuliakan oleh baginda Nabi dan para Sahabatnya di masa lalu. Dilansir dari www.Detiknews.com ,23/10/2018, ketika dikonfirmasi kepada ketua umum Ansor Yaqut Kholil Qoumas atau yang biasa disebut Gus Yaqut, membenarkan peristiwa pembakaran tersebut dengan alasan dilakukan untuk menghormati dan menjaga kalimat tauhid tersebut.

Di waktu yang berbeda, fakta ini sangat bersebrangan dengan pernyataan dari beberapa stage holder dengan memberikan klarifikasi atas pembakaran bendera yang telah dilakukan oleh anggota banser. Reaksi datar ditunjukkan pula oleh Menkopolhukam, Kapolda, Menag hingga wakil Presiden RI, dengan sigap bertemu dengan elemen beberapa ormas saja terkait ‘huru hara’ pembakaran bendera yang diklaim oleh mereka adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap sebagai organisasi terlarang. Bukan bendera tauhid, atau bendera islam. Fakta ini memperjelas dengan sikap sejalan yang ditunjukkan oleh Mabes Polri bahwa tiga orang pelaku pembakaran tidak bersalah sebab mereka hanya membakar bendera HTI.

Terhadap tiga orang anggota Banser yang membakar tidak dapat disangka melakukan perbuatan pidana karena salah satu unsur yaitu niat jahat tidak terpenuhi,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo. Karena itu lanjut dia, status tiga orang yang diamankan polisi pasca kejadian ini tetap berstatus saksi. Ketiganya yakni ketua panitia dan pelaku pembakaran bendera diduga milik HTI. Ketiganya melakukan aksi pembakaran karena spontanitas melihat adanya bendera HTI di tengah-tengah acara peringatan Hari Santri Nasional (HSN). “Sejak awal mereka melarang peserta membawa atribut lain selain bendera merah putih, tidak boleh membawa bendera HTI dan ISIS,” kata Dedi  www.Republika.co.id (25/10)

Setelah melakukan gelar perkara alat bukti, maka kabareskrim menentukan satu pelaku yang menjadi dalang dari pembakaran bendera tersebut. Yaitu seorang laki-laki berkopiah dan bersorban, dialah pembawa bendera yang menjadi pemicu atas insiden pembakaran tersebut. Dedi melanjutkan, seandainya tidak ada laki-laki penyusup pembawa bendera maka peristiwa pembakaran tidak pernah terjadi.

“Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor utama penyebab terjadinya tindakan pembakaran ini dan yang menimbulkan gangguan kegiatan peringatan (HSN) adalah tindakan laki-laki yang menyusup dan mengibarkan bendera HTI yang sudah dilarang sebelumnya. Tidak akan terjadi insiden ini, jika tidak ada tindakan laki-laki menyusup dan membawa bendera HTI,” ungkapnya. www.Republikanews.co.id , (25/10/)

Ironi pembakaran bendera tauhid

Jika mengamati fakta dan beberapa alibi dari penegak hukum tersebut tentu hal ini tak masuk akal sebab, sikap yang ditunjukkan para anggota banser tak mencerminkan sikap sebagai muslim yang mencintai agamanya. Bendera bertuliskan kalimat ‘Laailaha illallah muhammada Rasulullah” adalah kalimat mulia yang merupakan ciri dan keagungan islam.

Sikap dan alasan yang ditunjukkan pihak banser dengan melimpahkan kesalahan kepada organisasi tertentu adalah sikap prematur yang tidak memiliki dalil yang benar. Bahkan jubir HTI sendiri telah menyampaikan bahwa HTI, tidak memiliki bendera.  Bendera tauhid tersebut adalah bendera islam atau bendera Rasulullah saw, bendera yang menjadi simbol kekuatan dan persatuan umat islam. Maka dari itu upaya melemparkan kesalahan atas insiden pembakaran tersebut serta menjadikan bendera tauhid tersebut sebagai corong kebencian terhadap organisasi islam tertentu yang lurus memperjuangkan syariat islam, adalah bentuk penistaan terhadap ajaran islam yang sangat fatal.

Tindakan pembakaran dan klaim tersebut tentu sulit diterima akal sehat. Sebab, banyak hadis shahih yang menjelaskan seputar Ar-raya’ dan Al-liwa’ ini. Di antaranya Rasulullah saw, bersabda:

Sungguh aku akan memberikan Ar-rayah ini kepada seseorang yang melalui kedua tangannya diraih kemenangan. Ia mencintai Allah dan RasulNya, Allah dan RasulNya pun mencintainya dirinya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain dinyatakan: “ Rayah Rasulullah saw, berwarna hitam dan Liwa’nya berwarna putih.” (HR. Ath-Tirmudzi, al baihaqi, ath thabrani dan abu ya’la).

Akibat dari insiden ini adalah kaum muslimin menjadi phobia terhadap islam dan syariatnya. Padahal seharusnya yang wajib dilakukan adalah mengamalkan isi dari kalimat tauhid tersebut. Tiada illa kecuali Allah yang berhak disembah. Syariat yang wajib diikuti adalah syariat dari nabiNya, Rasulullah saw. Kalimat tauhid adalah harga bagi surga. Suatu saat Nabi saw, mendengar muadzin mengucapkan asyhadu an la ilaha illalah. Lalu beliau berkata kepada muadzin tersebut: “ Engkau terbebas dari neraka (HR.Muslim).” Beliau juga pernah bersabda: “Siapa saja yang akhir ucapannya (sebelum wafat) adalah la ilaha illalah maka dia pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud)

Memuliakan panji Rasulullah Saw

Lalu, pantaskah kita menjadikan syariat mulia ini sebagai tameng untuk memusuhi islam dan orang-orang yang konsisten mengajarkan kebenaran kepada umat?? Tentu tidak!! Dan sungguh hal demikian adalah hal yang tak adil terhadap islam dan kaum muslimin. Islam dan syariatNya bukanlah ancaman ataupun gangguan. Bahkan islam adalah rahmat bagi seluruh alam, melalui kalimat tauhid tersebut akan mempersatukan seluruh umat manusia di bawah panji dan kekuatan islam.

Pada awalnya Ar-rayah adalah panji –panji perang dan al-liwa’ adalah simbol kepemimpinan umum. Namun demikian, ar-rayah dan al-liwa’ berfungsi sebagai pemersatu umat islam. Imam Abdul Hayy Al-Kattani menjelaskan rahasia tertentu di balik suatu bendera. Artinya jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, yaitu bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut, sekaligus persatuan hati mereka. Makna ar-rayah dan al-liwa juga bukan terbatas dalam peperangan saja, apalagi berhenti sekedar simbol. Keduanya mengespresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran islam. Bendera tauhid inipun merupakan lambang akidah islam karena di dalamnya tertulis kalimat tauhid ‘Laa ilaha illallah, Muhammadu Rasulullah’. Kalimat inilah yang membedakan antara islam dan kekufuran. Kalimat ini pula yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.

Lihatlah sejarah di masa Rasulullah saw, dan para sahabat mulia teramat memuliakan kalimat tauhid ini. Begitu mulianya kedudukan bendera ini, Nabi saw pernah menyerahkan bendera ini kepada beberapa sahabat yang sangat pemberani, seperti Ja’far ath-Thiyaar, Ali bin abi Thalib, dan Mush’ab bin umair. Para sahabat ini senantiasa mempertahankan bendera  dan panji-panji ini dengan penjagaan yang sangat sempurna. Mereka menjaga benderanya dengan sepenuh jiwa dan hati. Sebutlah mush’ab bin umair terputus kedua tangannya mempertahankan panji islam agar tidak terjatuh ke tanah disaat terjadi peperangan melawan orang-orang quraisy. Perjuangannya begitu mengagumkan dan memuliakan namanya hingga ia mengantarkannya pada kesyahidan. Allahu Akbar!

Karena itu sangat aneh sekali jika ada sekelompok orang menghinakan rayah dan liwa’ Rasulullah saw ini, padahal mereka muslim. Dengannyalah yang akan menyelamatkannya di akhirat kelak dari siksa neraka. Pembakaran bendera tauhid jelas adalah bentuk pelecehan dan penistaan syariat yang tidak dibenarkan. Terlalu dipaksakan juga jika diqiyaskan bahwa pembakaran alqur’an agar tidak tercecer dan terhinakan padahal masih terpakai adalah sesuatu yang keliru. Membakar mus’hab yang masih terpakai kemudian dibakar karena kebencian terhadap alqur’an atau kebencian terhadap muslim yang menggunakan Alqur’an, ini jelas haram. Karena itu al-liwa’ dan ar-royah rasul saw, itu harus diagungkan dan dijunjung tinggi. Sebab keduanya adalah syiar islam yang malah harus menggantikan syiar jahiliyah modern yang mencerai beraikan kaum muslimin dalam sekat-sekat ashabiyah (kesukuan/kebangsaan).

Allah swt berfirman: “Demikialah perintah Allah swt. Siapa saja yang mengangungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul  dari ketaqwaan kalbu.” (QS.Al-Hajj: 32)                           

Wallahu ‘alam bis shawwab

Oleh : Kasmirawanti, S.s

  • Bagikan