Mengapa Butur Harus Dipimpin Anak Muda?

  • Bagikan
Rahman
Rahman

Oleh Rahman (Politisi muda sekaligus mantan Ketua KNPI Buton Utara)

Adalah H. Abdul Gafur Mas’ud, sosok pemuda yang sedang viral belakangan ini. Wajahnya mendadak tenar bersamaan dengan euforia berita pemindahan ibu kota di Penajam Pasar Utara dan Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Ia adalah bupati dari calon Ibu Kota Negara Republik Indonesia itu. Usianya masih sangat muda, 31 tahun. Badannya kuat, pikirannya cerdas, agamais dan wajahnya juga cukup tampan. Ia kini adalah magnet di Penajam.

Apa yang bisa ia lakukan di usia semuda itu?

Semenjak jadi bupati, ia gratiskan BPJS dan semua seragam sekolah bagi semua murid di Penajam. Ia juga aktif turun ke masyarakat dan memiliki program-program brilian untuk Penajam.

Di Lampung, ada Muhammad Ridho Ficardo, Gubernur Lampung yang menjabat pada periode 2014-2019. Saat dilantik, Ia merupakan gubernur termuda yang dipilih oleh rakyat, karena masih berusia 33 tahun.

Di Jawa Timur, ada Bupati Trenggalek yang mulai Februari 2019 tercatat oleh MURI sebagai bupati termuda se-Indonesia dengan usia 28 tahun. Ia adalah Mas Ipin, sapaan akrab untuk Muhammad Nur Arifin.

Masih di Pulau Jawa, ada juga Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan yang dilantik sebagai bupati saat berusia 26 tahun di masa pemerintahan gubernur Soekarwo. Makmun menang telak dalam perhelatan pemilihan Bupati Bangkalan pada Desember 2012.

Masih banyak lagi daftar kepala daerah dari kalangan muda yang sukses memimpin daerahnya, seperti Mardani H. Maming, Bupati Kabupaten Tanah Bumbu masa jabatan 2010-2015. Yopi Arianto, Bupati Indragiri Hulu yang saat dilantik umurnya baru menginjak 30 tahun. Muhammad Syahrial, Walikota Tanjung Balai Sumatera Utara, yang menduduki kursinya saat berusia 26 tahun. Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang 2 periode yang dilantik saat berusia 35 tahun. Dan Indah Putri Indriani Bupati Luwu Utara yan berusia 39 tahun saat terpilih memimpin salah satu daerah di pulau Sulawesi tersebut.

Daftar pemuda hebat di atas adalah salah satu bukti bahwa estafet transformasi kepemimpinan dari golongan tua ke golongan muda telah terjadi di Indonesia.

Beralih ke Buton Utara, salah satu daerah yang geliat politiknya cukup panas menjelang Pilkada 2020.

Sejarah panjang perjuangan pemekaran Kabupaten Buton Utara hingga perkembangan terkininya, telah mengajarkan kita bahwa keterlibatan anak muda dalam urusan sosial kemasyarakatan termasuk politik, telah berhasil membentuk sebuah kekuatan besar.

Sejak mekar tahun 2007, barisan anak muda Bangkudu, Lipu dan kelompok-kelompok anak muda lainnya yang tergabung di 6 kecamatan dan tidak bisa saya sebutkan satu persatu, telah terbukti punya andil besar dalam mempercepat tenaga lokomotif pemerintahan menjadi lebih berani, gesit, dan progresif.

Peluang ini yang dibaca sangat jeli oleh seorang tokoh bernama Abu Hasan. Ia sadar akan kekuatan kaum muda tersebut. Karena itu saat mencalonkan diri sebagai Bupati Buton Utara tahun 2014 silam, barisan pendukungnya mayoritas diisi kalangan anak muda. Hingga akhirnya Ia berhasil memenangkan pertarungan sengit melawan petahana Ridwan Zakariah saat itu.

Mengapa Butur harus dipimpin anak muda?

Dua kali sudah Buton Utara dipimpin oleh golongan sepuh, namun sampai kini belum terlihat peningkatan kesejahteraan yang drastis di Buton Utara. Lapangan pekerjaan minim, pengangguran merajalela, ekonomi lesu dan partisipasi publik serta layanan publik terbatas hanya untuk golongan-golongan tertentu.

Kurang lebih Rp 600 miliar APBD digelontorkan tiap tahun di Buton Utara. Jika dipotong belanja pegawai dan hibah dana desa, masih ada sekitar Rp 300 miliar yang disisakan untuk pembangunan baik di bidang infrastruktur, ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, dll.

Di bidang pertanian, Pemda menganggarkan sekitar Rp 10 miliar sampai Rp 15 miliar pertahun. Tapi sampai kini realitas di lapangan menjawab bahwa belum ada hasil memuaskan yang mampu mensejahterakan masyarakat Buton Utara. Program padi organik yang diagung-agungkan pemerintah daerah saat ini, faktanya di kelola oleh orang-orang yang bukan berlatar belakang pertanian. Sehingga wajar kalau program ini hanya menang di branding saja.

Demikian pula di bidang lain seperti perikanan, kesehatan, pariwisata, dll. Arah pembangunan bidang-bidang ini tidak melalui kajian potensi daerah oleh orang-orang yang profesional di bidangnya, sehingga anggaran pembangunannya banyak yang mubazir dan tidak bisa menunjang kesejahteraan rakyat. Selama ini penelitian-penelitian yang dilakukan terbukti tidak terukur keberhasilannya.

Siapa yang bisa mengembalikan arah pembangunan Buton Utara ini? Jawabnya adalah golongan anak muda.

Jiwa muda yang dipenuhi rasa penasaran atas sebuah kebenaran adalah DNA pendobrak paling ampuh dalam membuat terobosan dalam struktur pemerintahan yang lebih maju dan progresif.

Buton Utara kaya akan sumber daya pemuda. Geliat mereka terlihat di mana-mana. Banyak anak muda Buton Utara yang telah terbukti mumpuni dan layak memimpin Buton Utara.

Ada Salam Sahadia, tokoh muda Butur yang sangat diperhitungan di Sulawesi Tenggara. Ada  Muliadin Salenda, seorang Ketua Partai yang basis masanya jelas dan terukur. Ada Afif Darvin, sang pejuang pemekaran yang kritis dan lantang bersuara. Ada Alias Dadi Agusman, pemegang kursi DPRD 2 periode. Ada Mazlin tokoh muda paling gigih mengumpulkan anak-anak muda potensial Butur. Ada Tarif, pendatang baru di DPRD Butur yang punya simpatisan paling loyal, Ada La Ode Halim, Yosharman, Kamil Jufri dan tokoh-tokoh anak muda lainnya yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu.

Nama-nama ini sangat disayangkan jika hanya bisa jadi penonton dalam Pilkada 2020 nanti.

Jika tiga kelompok anak muda dari kalangan intelektual, aktivis, dan pengusaha bersatu, maka percaya saja akan ada gelombang besar yang berdampak positif terjadi di Buton Utara seperti yang telah terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia yang pemimpinnya adalah seorang anak muda.

Sudah saatnya estafet kepemimpinan bergulir kepada kaum muda. Jangan menunda-nunda lagi. Anak muda harus bangkit dan menyambut kesempatan yang terbuka lebar di depan mata.

Dominasi kaum muda ini tidak hanya terjadi di Butur. Di seluruh pelosok tanah air pola pergeseran perilaku politik sudah ditangan anak muda. Tentu saja hal ini berbanding lurus dengan jumlah pemilih anak muda di tahun 2020 nanti.

Sesuai data BPS, Struktur kependudukan di Indonesia telah menciptakan ledakan usia produktif (15 tahun-64 tahun), dan pada puncak bonus demografi pada 2030 akan menciptakan sekitar 180 juta jiwa usia produktif. Karena itulah di 2020 nanti, Pilkada akan didominasi peran anak muda.

Masih berdasarkan data BPS, peran usia produktif khususnya kaum muda yang berusia 17 tahun sampai 35 tahun berkisar 100 juta jiwa dari sekitar 196 juta lebih pemilih. Hal ini memunculkan prediksi bahwa Anak Muda akan berhasil mendongkrak suara masa di TPS-TPS nanti.

Inilah kesempatan anak muda Buton Utara memanfaatkan daya ungkit kaum muda dan menopang pembangunan daerah.

Anak muda sudah saatnya menjadi policy maker dan memegang jabatan strategis di struktur pemerintahan.

Alasan lain mengapa Butur harus dipimpin anak muda adalah gelombang inovasi teknologi saat ini dikuasai oleh psikologi kaum muda. Dibutuhkan figur dari anak muda dengan profil yang hidup di era yang sama, sehingga nantinya pemecahan dan pengelolaan permasalahan lebih selaras dan lebih efektif. (***)

  • Bagikan