Mengenal Budaya Posepa’a Sebagai Acuan Mempertahankan Kekuasaan

  • Bagikan
Budaya Posepa’a dilangsungkan pada perayaan Idul Adha. (Foto: Amran Mustar Ode/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: WAKATOBI – Budaya Posepa’a merupakan hasil cipta dan karya masyarakat Liya pada zaman kesultanan degan beradu kekuatan beladiri menendang dengan menggunakan kedua kaki yang dilakukan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak di bulan suci Ramadan dan Idul Adha di sekitaran Benteng Keraton Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Posepa’a berasal dari bahasa daerah setempat atau bahasa Liya dengan kata dasar ‘Sepa’ yang artinya tendang. Penambahan awalan po dan akhiran ‘a pada kata Posepa’a mengandung arti bahwa melakukan.

Dahulu, sebelum aksi Posepa’a dimulai, terlebih dahulu ditampilkan tari perang oleh pemangku adat Suku Liya Wakatobi yang disebut Tari Honari Mosega. Konon tarian tersebut merupakan simbol perang melawan hawa nafsu saat Ramadan.

La Ibu (65), selaku tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa Posepa’a pada awal perkembangannya selain sarana latihan adu kekuatan bagi para prajurit muda Liya dalam mempertahankan kekuasaan dari ancaman musuh, juga sebagai sarana untuk menyeleksi para prajurit muda keraton Liya yang kuat dan pemberani. Gerakan Posepa’a diapresiasikan dari karakter Lakina Liya yaitu Talo-talo (La Kundari) yang sering menggunakan kaki kanan dan kirinya secara bergantian ketika bertarung memukul mundur musuh dari wilayah kekuasaannya.

Posepa’a, dilakukan dengan berpegangan tangan dengan pasangan (ndai) secara berkelompok dan membentuk barisan yang terdiri dari beberapa pasangan (ndai). Kemudian masing-masing kelompok (Amai Wawo dan Amai Woru) saling menendang dan mengejar hingga salah satu kelompok lainnya tercerai berai. Kelompok yang bertahan dan tetap berpegang tangan adalah pemenangnya.

Amai Wawo adalah masyarakat yang berdomisili dibagian matahari terbit dan Amai Worua dalah masyarakat yang berdomisili dibagian matahari terbenam dari lapangan atau arena budaya Posepa’a, adalah dua kubu yang dilegalkan sebagai peserta atau pelaku budaya Posepa’a.

Konon, selama gerakan Posepa’a dilakukan teratur sesuai petunjuk pawang, diyakini tidak akan ada yang cedera meski sekeras dan sekuat apapun tendangan lawan mengenai badan. Disamping itu juga, lapangan Masjid Al Mubarak Liya Togo yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan Posepa’a itu telah didesain dan diberikan berupa “magic” oleh para leluhur Liya dengan harapan bahwa ketika melakukan ritual budaya Posepa’a tidak akan ada yang cedera apalagi meninggal. 

Anak-anak, remaja dan dewasa bisa mengikuti ritual adat ini. Pada awal Ramadhan, 1-10 ramadan biasanya diikuti oleh anak-anak, 11-20 ramadan biasanya diikuti oleh remaja dan 21-29/30 ramadan diikuti oleh orang dewasa. Satu syawal (Idul Fitri) adalah puncak dari acara ritual ini dan dilakukan oleh semua peserta baik anak-anak, remaja, dan dewasa.

Dalam beraksi di budaya Posepa’a, tak kala sang petarung mengalami luka bahkan mengeluarkan darah. Namun pertarungan itu tidak sampai memperpanjang masalah di luar arena.

Para petarung dalam arena tidak diwajibkan menyerang lawan ketika terjatuh. “Bukan itu saja, setelah selesai melakukan ritual, para pelaku budaya Posepa’a saling berjabat tangan dan bermaaf-maafan, bahkan kalau ada yang terluka maka lawan yang mencederai akan datang dan berusaha untuk mengobati orang tersebut,” terang La Ibu, Sabtu (2/9/2017).

Budaya posepa’a juga memiliki keunikan, yaitu bahwa tidak adanya juri atau pihak pengaman di dalam arena. Akantetapi, apabila ada kekisruhan antara para pelaku budaya Posepa’a, maka mereka sendiri yang mengamankannya, dengan catatan bahwa orang yang mengamankan tidak boleh berpegang tangan dengan temannya (ndai).

Laporan: Amran Mustar Ode

  • Bagikan