Mengintip Aktivitas Anak Kampung Adat Hukaea Laea Menggapai Impian

  • Bagikan
Anak Hukaea Laea yang tampak murung saat berada di ruang kelas.Foto: Maul Gani/SULTRAKINI.COM

Catatan : Maul Gani

Pukul 6.00 Wita belasan anak tampak berduyung-duyung menuju sekolah, mereka berjalan hingga dua kilometer melintasi area perkebunan menuju sekolah yang terletak tak jauh dari rumah adat masyarakat ulayat yang baru mendapat pengakuan melalui Perda (Peraturan Daerah) 2015 silam.

Jangan bayangkan anak-anak ini bersekolah di tempat yang nyaman dengan bengunan permanen dan kursi yang tersusun rapi, sebaliknya sekolah mereka, hanyalah bangunan tua yang nyaris roboh dengan dinding papan sebagian lainnya memilih belajar di serambi rumah adat.

Masyarakat adat Hukaea Laea yang menggantungkan hidupnya dari hasil bertani tada hujan ini, belum sama sekali mendapat fasilitas penerangan yang layak, demikian pula infrastruktur jalan, serta jaringan telekomunikasi.

Kendati demikian, semangat dan disiplin anak-anak yang bermukim di Pinggiran Taman Nasonal Rawa Aopa tersebut patut diacungi jempol mereka tampak antusias menerima mata pelajaran dari gurunya.

“Kami ingin punya sekolah yang layak seperti anak-anak lainnya,”tulis Erniawati siswa SDN 145 Watu-watu mewakili teman-temannya menyampaikan harapannya, Kamis (25/8/2016).

Di daerah ulayat yang di pimpin Ketua Adat, Mansur Lababa ini sebenarnya memiiki dua tingkat sekolah yakni SD 145 Watuwatu dan SMPS Hukaea Laea.

“Semoga impianku tercapai,”tutup Erni membacakan catatannya.

Lalu bagaimana dengan tenaga pengajar? Uniknyad dari dua sekolah tersebut hanya memiliki satu orang tenaga tetap berstatus PNS yang merangkap sebagai Kepala Sekolah.

“Ada yang pernah ditugaskan di sini, tetapi kebanyakan memilih keluar karena tidak tahan,”ujar Djalil L, Kepala SD 145 Watuwatu.

Saat ini, Djalil dibantu beberapa alumni lulusan sekolah tersebut yang tamat melanjutkan pendidikan di Kota.

“Awalnya berat, sebab daerah ini tidak memiliki akses keluar yang bagus, listrik Dan jaringan telekomunikasi tidak ada,sehingga yang ditugaskan pada kabur semua,”akunya sembari tersenyum.

Kampung Adat Hukaea Laea, merupakan tanah ulayat yang telah berkembang sejak beberapa tahun lalu, daerah yang dihuni kurang dari 150 Kepala Keluarga ini sempat mendapatkan gangguan keamanan saat pemberontakan DI/TII sekitar 1950-an, dan beberapa warga memilih keluar.

Sekitar 1995, di bawah Komando Mansur Lababa sebagai Ketua Adat, masyarakat Hukaea Laea kembali di daerah tersebut. Masyarakatpun kembali dan melanjutkan aktifitas pertanian.

Sayangnya, kepulangan mereka menjadi persoalan baru, pasalnya lahan tersebut diklaim menjadi Taman Nasional Rawa Aopa. Pemerintah Daerah Bombana bahkan beberapa kali berencana melakukan relokasi bagi masyarakat adat ini.

“Kami terus berjuang mempertahankan hak kami, sebagai pemilik tanah ulayat, sebab Taman Nasional berdiri belakangan, leluhur kamilah yang lebih dahulu membangun kampung ini,”kisah Ketua Adat Masyarakat Hukaea Laea, Mansur Lababa.

Masyarakat adat Hukaea Laea pun baru mendapat pengakuan pemerintah melalui Pearturan Daerah (Perda) sebagai masyarakat adat dan berhak mendiami kawasan tersebut melalui perjuangan yang sangat panjang.

Selain, persoalan pendidikan, pelayanan kesehatan juga menjadi persoalan lain bagi anak-anak suku Moronene Hukaea ini. Di daerah tersebut belum memiliki Puskesmas dan layanan kesehatan yang baik.

  • Bagikan