Menumbuhkan Budaya Literasi Sejak Dini

  • Bagikan

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd (Guru SMAN di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)

Setiap 14 September diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Sayangnya tidak sedikit masyarakat kini mulai bergeser kebiasaan dalam membaca, karena tidak hanya mencukupkan lewat perpustakaan. Karena banyak media lain yang bisa membantu dalam mendapatkan informasi yang lebih cepat dan dapat diakses di mana saja, hanya melalui sebuah gawai yang berada dalam genggaman tangan.

Selain itu, menurut hasil survei budaya literasi di negeri ini konon masih minim. Sebagaimana data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015. Penelitian PISA menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei.

Kedua, peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU). CCSU merilis peringkat literasi negara-negara dunia pada Maret 2016 dan Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman (Detik.com, 05/01/2019).

Dari itu, persoalan kurangnya pengunjung ke perpustaakan membuat Perpustakaan Daerah (Perpusda) terus berupaya meningkat kinerjanya. Seperti Kepala Seksi Layanan dan Kerja Sama Perpusda, Herlina Weriyanti yang mengatakan pihaknya berupaya meningkatkan literasi di Sultra, seperti menjalin berbagai kerja sama dengan Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten, serta berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Misalnya, di Konawe dibuka layanan perpustakaan keliling di Kecamatan Soropia, dan Lalonggasumeeto (Sultrakini.com, 21/02/2019).

Menilik Sebab Rendahnya Budaya Literasi
Persoalan minimnya budaya literasi bukan tanpa sebab, karena hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor tersebut di antaranya: Pertama, penggunaan gawai yang tak bijak. Tak dapat dipungkiri di era ini, penggunaan gawai seolah telah menjadi hal yang tak terpisahkan dari aktivitas kebanyakan orang, tak terkecuali anak kecil. Sayangnya tak jarang di antara pengguna yang tak bijak dalam memanfaatkannya. Sebagai contoh, tak sedikit orang tua untuk menenangkan buah hati agar tak rewel, mereka memberikan gawai yang berisi permainan. Jika hal itu menjadi sering dilakukan, tentu dapat menimbulkan efek negatif. Karena, jangankan bersosialisasi dengan teman sebaya, untuk menumbuhkan kecintaan terhadap budaya literasi bisa jadi akan lebih sulit lagi.

Kedua, lingkungan pergaulan yang tidak kondusif. Hal itu pun mempengaruhi kebiasaan seseorang. Karena sesungguhnya jika seseorang berada pada pergaulan yang jauh dari budaya literasi, maka tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada minimnya ketertarikan pada hal tersebut. Sebagai contoh, banyak anak-anak atau remaja kini, saat mereka berkumpul lebih disibukkan dengan gawainya. Walau mereka hanya sekedar chating melalui media sosial atau bermain game dengan gawainya.

Di samping itu, tak sedikit pula ada yang menganggap sepele atau tidak penting budaya literasi. Persoalan ini pun tak kalah serius, sebab dari hal itu bisa menghasilkan sesuatu yang negatif. Misalnya, karena informasi yang didapat tidak akurat atau malasnya dalam membaca berita hingga tuntas, tak jarang seseorang menyebarkan berita yang tidak benar ataupun belum terbukti kebenarannya. Hal ini pun diperparah jika tidak mengetahui sumber media yang terpercaya. Lagi-lagi timbul karena kemalasan membaca informasi hingga selesai.

Lebih dari itu, tidak adanya teladan dari orang tua. Karena sesungguhnya budaya literasi ada karena adanya kebiasaan yang dimulai dari lingkungan keluarga. Bagaimana mungkin orang tua menginginkan anaknya memiliki kecintaan terhadap literasi, sementara orang tuanya sendiri belum mampu memberikan contoh terhadap anak-anaknya.

Upaya Menumbuhkan Budaya Literasi

Untuk menumbuhkan adanya budaya literasi tentu perlu kerja sama terhadap pihak-pihak terkait. Upaya tersebut di antaranya: Peran lingkungan keluarga. Keluarga dalam hal ini orang tua banyak memiliki andil dalam membantu membentuk kebiasaan anak. Sebab orang tua merupakan contoh terdekat bagi seorang anak yang bisa dijadikan teladan. Karena itu sebelum orang tua mengharapkan anaknya tertarik pada budaya literasi, tentu orang tua terlebih dahulu harus memberi contoh konkrit, sembari mengarahkan anaknya.

Di sisi lain, orang tua juga membantu menyediakan hal-hal yang dapat menunjang budaya literasi. Seperti menyediakan buku bacaan di rumah atau membuat perpustakaan kecil, memiliki target untuk membeli buku baru pada waktu yang telah ditentukan. Bahkan dapat pula memberi hadiah berupa buku, jika mereka melakukan hal-hal positif, misal saat mendapat nilai yang baik atau juara di sekolahnya.

Jadi dengan adanya teladan dari orang tua ditambah tersedianya fasiltas yang memadai, besar harapan akan menumbuhkan ketertarikan anak pada budaya literasi sejak dini.

Tak hanya itu, dalam kalam-Nya yang pertama turun pun tentang perintah membaca. Ini menggambarkan betapa pentingnya aktivitas membaca. Karena membaca merupakan jendela dunia. Dari aktivitas itu banyak hal yang bisa kita ketahui dan dapat menambah wawasan seseorang menjadi lebih luas

Aktivitas membaca pun tak lepas dari menulis. Karena keduanya saling berkaitan. Sebagaimana seorang penulis akan lebih mudah dalam merangkai kata-kata karena ditopang oleh banyaknya kosakata yang ia miliki. Hal itu tidak lain didapat dari aktivitas membaca yang ia lakukan sebelumnya.

Bukankah karya-karya besar orang-orang hebat terdahulu hingga kini masih dapat ditemukan dan dibaca? Tentu tidak lain karena ilmu yang mereka miliki ditulis dan dibukukan, sehingga masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Seperti yang disampaikan Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya!”
Selanjutnya adanya peran masyarakat, karena jika masyarakat telah memiliki kesadaran akan pentingnya budaya literasi, maka ini akan sangat membantu menopang pembiasaan literasi yang telah didapat dari lingkungan keluarga. Karena hal itu, memiliki andil pula dalam membentuk kebiasaan anak. Karena sesungguhnya anak akan mudah terkondisikan dengan lingkungan di mana ia berada. Jika anak di kelilingi oleh teman-teman atau orang-orang yang giat dalam membaca, maka anak pun akan terpengaruh. Walaupun berawal dari keterpaksaan, namun lama-lama dapat menjadi kebiasaan.

Tak kalah penting adanya peran lingkungan sekolah. Karena lingkungan sekolah merupakan lembaga formal yang bisa membantu dalam membiasakan anak didik tentang pentingnya budaya literasi. Apalagi sekolah memiliki perpustakaan yang mempunyai banyak koleksi buku. Sekolah pun bisa mengarahkan kepada anak didik untuk membiasakan mengunjungi perpustakaan lewat kebijakan yang dibuat demi mewujudkan budaya literasi sejak dini.

Dengan demikian, bukan hal yang sulit untuk menumbuhkan budaya literasi sejak dini, jika ada sinergi antara peran lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Karena untuk membentuk suatu kebiasaan baru perlu adanya latihan dan dilakukan secara berulang, sehingga akan menjadi kebiasaan yang nantinya tidak dianggap sebagai beban, tetapi kesukaan. Wallahu a’lam. ([email protected])

 

  • Bagikan