Menyorot Tradisi 'Uang Panai'

  • Bagikan

Oleh : Sitti Aisyah Al-Fatih, SE

(Owner Rumah Jahit Aisyah)

Kata “uang panai”, saat ini menjadi sering kita dengar di sebut-sebut oleh orang-orang di pasar, angkot, kampus, dan lain-lain. Baik itu di kalangan orang dewasa hingga remaja, kata Uang Panai yang memiliki arti sejumlah uang yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon perempuan untuk biaya keperluan pernikahan.

Saat ini hangat diperbincangan di masyarakat, salah satu pemicunya adalah penayangan film Uang Panai di bioskop-bioskop Indonesia yang dimulai tanggal 25 Agustus lalu. Animo masyarakat untuk menonton film ini sangat tinggi terutama di daerah Sulawesi khususnya kota Kendari. Penonton film ini sudah mendekati angka 400 ribu yakni 350.948 (rakyatku.com10/9/2016). 

Film Uang Panai yang disutradarai oleh Halim Gani Safia dan dibintangi oleh Ikram Noer, Tumming, Abu, Nur Fadillah dan Cahya Ari Nagara (movie.co.id). Film ini menceritakan tentang kisah seorang pemuda Bugis-Makassar yang baru saja kembali dari perantauan yang tanpa sengaja dipertemukan kembali dengan seorang perempuan yang sudah lama ia kenal dan bermaksud melamarnya, namun niat tulus Anca harus terbendung oleh syarat pernikahan secara adat. Anca harus menyediakan uang panai dalam jumlah yang cukup fantastik di mata keluarga Anca.

Menyorot Tradisi “Uang Panai”

Film ini diangkat berdasarkan fakta yang terjadi di salah satu suku masyarakat. Namun terlepas dari film Uang Panai, jika kita melihat yang terjadi di kehidupan saat ini uang panai yang tinggi bukan hanya ada pada suku tertentu, tetapi sudah terjadi di mayoritas masyarakat yang hidup di system kapitalisme-sekular saat ini. Dengan alasan semua kebutuhan serba mahal, belum lagi jika dipengaruhi dengan tingkat pendidikan calon pengantin perempuan misalnya S1, S2, S3 ditambah cantik, maka uang panainya akan semakin mahal, dan anggapan masyarakat semakin tinggi uang panainya maka semakin tinggi pula citra diri keluarga mempelai perempuan di mata masyarakat.

Uang panai yang tinggi tidak menjadi masalah jika calon mempelai laki-laki menyanggupinya, tetapi faktanya biasa terjadi ada pihak laki-laki maupun perempuan membatalkan jika tidak menyanggupi permintaan uang belanja atau uang panai. Jika sudah seperti itu, inilah yang menjadi salah-satu potensi merebaknya pergaulan bebas hingga mengantarkan pada perzinaan di kalangan muda-mudi untuk mengambil jalan pintas. Dengan demikian, apabila sudah berzina dan hamil di luar nikah maka semua akan menjadi mudah yang dulunya uang belanja harus banyak tetapi ketika sudah hamil duluan semua menjadi mudah dan murah.

Sunggu miris, ketika pernikahan menjadi mahal maka zinapun menjadi murah atau mudah, jika kita melihat berdasarkan data BKKBN tahun 2013 saja, 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah (okezone.com, 13/2/13) dan di tahun 2014 mengalami peningkatan 46 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seks di luar nikah (zina) (Bkkbn.go.id, 12/08/2014).

Namun, jika melihat di lain pihak tuntutan gaya hidup mewah dan modernlah yang menjadi pemicu yang kuat dalam penentuan besarnya jumlah uang panai, seperti pesta yang mewah di hotel-hotel berbintang, pola konsumsi yang berlebihan dan tidak jarang mendatangkan artis lokal atau ibu kota sebagai bentuk hiburan bagi para tamu undangan, disertai gaya hidup mewah yang kerap menjadi ciri masyarakat saat ini. Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh pula pada semakin besarnya nominal uang panai.

Kembali Kepada Syari’ah Islam

Masyarakat menganggap uang belanja atau uang panai sebagai salah satu prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan, yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan.

Uang panai tidak sama dengan mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang saat ini terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai. 

Pernikahan adalah sunnah yang sangat dianjurkan di dalam Islam untuk menghindarkan manusia dari fitnah. Cara pernikahan itu mengantarkan kepada keberkahan dari Allah, salah satunya adalah menikah dilangsungkan tanpa harus memberatkan salah satu mempelai. Namun, saat ini tidak jarang uang panai diplesetkan sebagai mahar yang wajib ditunaikan.

Mahar dalam Islam hukunnya wajib tetapi berupa pemberian benda kepada pihak perempuan seperti, emas, rumah, sebidang tanah, dan lain-lain. Namun, terkadang uang panai memberatkan. Ini tidak masalah jika pihak laki-laki menyanggupinya. Faktanya, terkadang pihak laki-laki atau perempuan yang langsung membatalkan karena tidak mampu menyanggupinya.

Jika sudah begini kondisinya, inilah yang menjadi salah-satu potensi merebaknya pergaulan bebas hingga mengantarkan pada perzinaan di kalangan muda-mudi untuk mengambil jalan pintas, maka bersiap-siaplah bangsa ini akan mendapatkan azab Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Jika zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti penduduknya telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka” (HR. Al-Baihaqi)

Selain itu negara bertanggung jawab menerapkan Syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem ekonomi (nizom iqtisodi), sistem pergaulan (nizham ijtima’i), dan sistem pidana (nizham uqubat), serta negara bertanggung jawab untuk memberantas segala bentuk adat atau budaya yang bertentangan dengan syariah Islam.

Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara akan memberikan bantuan harta kepada kaum fakir dan miskin, baik melalui pembagian harta zakat maupun harta selain zakat. Maka dari itu, para pemuda yang miskin yang tidak mampu menikah karena tidak mempunya harta untuk membayar mahar atau uang panai akan mempunyai kesempatan untuk menikah.

Sebagaimana ini pernah diterapkan pada masa Khilafah di bawah kepemimpinan Umur Bin Abdul Aziz, ketika semua kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi, beliau menginstruksikan ke pada wali carilah para pemuda dan pemudi yang tidak mempunyai harta, dan ingin menikah. Nikahkanlah mereka, dan bayarlah maskawinnya.

Jadi, penerapan ekonomi yang adil akan berkontribusi besar menjaga moralitas generasi muda karena mereka akan terhindar dari perbuatan tercela seperti zina akibat ketidakmampuan dari segi ekonomi. Semua ini dapat terwujud jika syariah islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah yang akan membawa Rahmat bagi seluruh Alam.

Wallahu A’lam

  • Bagikan