Mimpi Sistem Demokrasi Berantas Korupsi

  • Bagikan
Nur Hikmah: Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Buton

Dinginnya dinding penjara seakan tak membuat para koruptor merenungi kesalahan yang telah diperbuat. Dipenjara tapi bebas, bebas menikmati fasilitas-fasilitas mewah seperti halnya rumah sendiri. Sungguh sebuah ironi yang disajikan oleh salah satu lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang dihuni oleh para koruptor. Seperti yang belum lama ini telah menjadi sorotan publik setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Operasi ini dilakukan pada Jum’at 20 Juli malam hingga 21 Juli dini hari.

Alih-alih ingin memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi tetapi malah terkesan sia-sia. Berbagai fasilitas yang dinikmati oleh para pelaku korupsi seolah terjadi pembiaran begitu saja. Bagaimana tidak praktik suap-menyuap yang masih terjadi secara massif di dalam Lapas. Seperti yang dilansir dari Okezone.News, Kamis, 26/7/2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap modus “jual-beli” fasilitas di dalam Lapas Sukamiskin. Dimana, Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, diduga mematok harga mulai dari Rp 200 hingga Rp 500 juta untuk para narapidana mendapatkan fasilitas istimewa di Lapas Sukamiskin. Masih dalam sumber yang sama, wakil ketua KPK, Saut Situmorang mengaku kecewa dan menyesalkan tindakan Wahid Husen yang memberikan fasilitas mewah di dalam Lapas, yang mayoritas berisi narapidana korupsi tersebut. Padahal, kata Saut, KPK telah bersusah payah untuk membuktikan perbuatan para terpidana korupsi hingga akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan.

Fasilitas mewah yang terbilang fantastis itu telah menjadi bukti bahwa para narapidana koruptor suka sekali dimanjakan dengan kemewahan bak hotel berbintang yang seharusnya tidak ada dalam ruangan sel tahanan koruptor.  Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kalapas Sukamiskin, disamping menguak tabir gelap adanya transaksi koruptor terhadap oknum Lapas, juga memperlihatkan kepada publik akan adanya berbagai fasilitas-fasilitas mewah untuk koruptor. Seperti yang dilansir dari Liputan6.com (24 Juli 2018), saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menayangkan dalam sebuah konferensi pers, di dalam Lapas Sukamiskin bisa dilihat pendingin ruangan (AC), kamar mandi beserta toilet duduk, televisi, rak buku, dan masih banyak lagi fasilitas mewah lainnya.

Apa yang terjadi di Lapas Sukamiskin telah menjadi peringatan keras bagi sistem yang ada sekarang ini. Bagaimana tidak, rentetan kasus korupsi yang terus menambah catatan gelap dalam memberantas korupsi yang nantinya akan sulit meredam benih-benih para koruptor selanjutnya. Terlebih lagi terdapat permainan antara oknum Lapas dan para narapidana kasus korupsi. Hingga sampai pada pemberian fasilitas-fasilitas mewah yang membuat nyaman para penghuni Lapas. Pemberantasan korupsi akan sulit terwujud jika pemberian efek jera hanya dengan memasukan mereka ke dalam jeruji besi. Karena apalah bedanya jika di dalam tahanan saja mereka dengan nyamannya menikmati fasilitas-fasilitas mewah nan megah seperti yang didapatkan di luar sana.

Sebab Maraknya Praktik Korupsi

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa korupsi pejabat dan kepala daerah masih terus terjadi? Padahal upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab maraknya kasus korupsi.

Pertama, penerapan sistem demokrasi yang merupakan sistem politik berbiaya tinggi menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah bahkan presiden, tidak mungkin tertutupi dengan gaji dan tunjangan selama menjabat.

Kedua, sistem sekularisme dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketaqwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Padahal sejatinya keduanya tidak boleh dipisahkan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang tercipta menyatu dalam diri para politisi, pejabat, aparatur dan pegawai.

Ketiga, korupsi telah mendarah daging, sementara sistem pengendalian masih lemah dan terkesan tebang pilih. Sebab, faktanya betapa banyak pihak-pihak yang sudah “terduga kuat” sebagai koruptor namun tetap saja dengan bebasnya berkeluyuran kemana-mana. Seperti halnya kasus Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merupakan kasus besar yang hingga kini belum menemukan titik terang, padahal kasus tersebut telah merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar.

Keempat, sistem hukum yang diterapkan sekarang sangatlah berbelit-belit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk bisa lolos. Sanksi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera. Berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar korupsi hanya dihukum 2 tahun oleh pengadilan. Setelah dikurangi remisi dan pengurangan masa tahanan lain, koruptor sebenarnya hanya menjalani hukuman penjara yang singkat.

Sistem Islam Mampu Berantas Korupsi

Pemberantasan korupsi akan sangat sulit terealisasikan jika sistem yang diterapkan masih dengan sistem yang ada sekarang. Pembenahan tidak cukup hanya terhadap institusi pencegah dan pemberantasan. Masalah korupsi yang tidak pernah tuntas bahkan cenderung meningkat tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang sedang diberlakukan saat ini justru menjadi sebab merajalelanya korupsi dan bahkan telah gagal dalam memberantas korupsi.

Oleh karena itu, diperlukan sistem lain yang akan mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya. Tidak lain adalah sistem Islam. sistem Islam mampu memberantas korupsi, mengingat:

Pertama, dasar akidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketaqwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat.

Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah tidak mahal. Sebab kepemimpinan Islam bersiat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan Khalifah. Sehingga tidak muncul kecurangan, persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik.

Ketiga,  politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar ma’ruf dan nahyi munkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.

Keempat, struktur dalam sistem Islam, semuanya berada dalam satu kepemimpinan kepala negara yakni imam atau khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi.

Kelima, praktek korupsi andai terjadi, bisa diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tidak terjadi.  Dalam syariah, kriteria harta ghulul, yakni harta yang diperoleh secara illegal itu jelas.  Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena factor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat dan sebagainya yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal, semua itu termasuk harta ghulul.

Sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindakan korupsi diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim).  Bisa disita seperti yang dilakukan khalifah Umar, atau tasyhir (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat.

Dengan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas.  Aturan Islam ini lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.  Islam menyelesaikan masalah dari hal yang mendasar sampai cabangnya.  Sistem Islam juga memiliki cara dalam pencegahan, hingga penyelesaian.

Tiada jalan lain dalam menyelesaikan masalah korupsi ini, kecuali menggunakan solusi yang bersumber dari sang Pencipta. Allah swt maha tahu apa yang terbaik bagi manusia. Karena itu sudah saatnya Islam menjadi solusi dan diterapkan secara kaffah di negeri ini.

Wallahu a’lam  bi showab.

 

Nur Hikmah: Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Buton

  • Bagikan