Miras Meluas, Tanggungjawab Siapa?

  • Bagikan
Wd. Deli Ana (Pemerhati Masalah Sosial, Member Akademi Menulis Kreatif).Foto:ist

Entah apa yang anda rasakan bila terciduk tinggal serumah dengan ribuan ton miras.   Histeris sudah pasti.   Ya,  kurang lebih itulah yang dirasakan Nurlinda,  seorang mahasiswi salah sebuah perguruan tinggi di kota Kendari.   Mengutip dari laman liputan6. com, Seorang perempuan membantu pengungkapan peredaran minuman keras atau miras tradisional usai menangis keras saat digerebek, Jumat, 20 Juli 2018, malam. “Dia kemudian tunjukkan salah satu kamar kos. Ternyata di dalam kamar kos itu, tersimpan sekitar 2 ton minuman keras jenis arak mata dan KW,” ujar Kapolsek Poasia, Kompol Arfah.

Ibarat bola salju yang semakin lama membesar,  sebelumnya  pernah terjadi hal  serupa. Akhir tahun lalu Kepolisian Resor Kendari juga menyita 1234,6 liter minuman keras tradisional jenis pongasi dan 992 botol minuman keras pabrikan dengan beragam merek.(sultrakini.com).      Kasus-kasus  ini tentu layak mendapat perhatian serius.   Dilihat dari jumlah terakhir,  dua ton sungguh mencengangkan.   Penulis sendiri sebagai warga Kendari tak pernah menduga peristiwa ini nyata.   Apalagi di wilayah  yang punya sebutan kota Bertakwa.   Bagaimanapun keberhasilan aparat membongkar gudang demi gudang miras  layak diapresiasi.   Pasti bukan hal yang mudah dilakukan. Harus dengan modal kerja keras dan kesungguhan untuk memutus rantai peredaran miras ini.  Namun di sisi lain menggelitik  tanya,  mungkinkah mata rantai ini akan  terputus tuntas.  Untuk itu perlu upaya mengkaji masalah secara komprehensif sampai ke level solusi.

Kenali Akar Masalah,  Cabut!

Ketika hidup didominasi materi maka berlaku layaknya hukum di rimba.   Siapa kuat dialah juaranya.  Sebab perlombaan mengejar materi selalu hanya menyisakan dua pihak, pemenang  dan pecundang. Bagi yang menang,  hidup nikmat bisa jadi jaminan. Namun risiko kehilangan belas kasihan dan  kemanusiaan.   Sedang yang kalah harus siap turun dari panggung kehidupan.   Demikianlah wujud hadirnya kapitalisme.  Asasnya adalah sekularisme yang memisahkan ruang kehidupan dari aturan Sang Khaliq.  Maka penerapannya meniscayakan segala sesuatu dinilai dengan fisik maupun uang.  Jauh dari timbangan halal dan haram.  Slogannya jelas,  there is no free lunch,  tak ada makan siang gratis.   Semua bisa dijualbeli demi receh.   Meski korban harga diri bahkan jiwa.   Tak peduli walau kemaslahatan umat manusia jadi taruhan.   Termasuk dalam hal miras.   Minuman keras yang jelas membahayakan masyarakat pun tetap dipandang bernilai jual selama masih ada yang menginginkan. Dalihnya berlindung di balik jargon kebebasan dan hak asasi manusia.  Padahal nyata terpampang dampak dari kecanduan miras.  Yang menonjol sudah tentu tindak kriminal.  Pencurian,  jambret,  rampok hanya beberapa diantaranya.  Tak jarang meningkat di level pemerkosaan hingga pembunuhan. Na’udzubillah.

Tentu wajar bila akhirnya kita berharap solusi dari para pengambil kebijakan yang bertanggungjawab mengayomi masyarakat.   Walau tampaknya masih jauh panggang dari api.  Terbukti Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol)  belum juga disahkan.  Di laman republika. co. id, Ketua Genam (Gerakan Nasional Anti Miras) Fahira Idris menilai bahaya miras, apalagi miras oplosan, setara dengan narkoba. Namun, ironisnya, sampai dengan sekarang tidak ada UU yang melarang minuman haram tersebut. “Kepada ketua DPR dan Presiden tolonglah instruksikan agar RUU ini segera dirampungkan. Sudah bertahun-tahun RUU ini molor disahkan. Bayangkan, RUU ini oleh DPR sedianya ditargetkan rampung Juni 2016, tapi sampai sekarang tidak jelas,” kata Fahira di Kota Yogyakarta, DIY.(7/4/2018). Draft  RUU tersebut pada pasal 5 memang mencantumkan kata “larangan” kepada semua jenis minuman yang mengandung alkohol.   Tepatnya, “Setiap orang dilarang memproduksi Minuman Beralkohol golongan A (alkohol 5%), golongan B (alkohol 5-20%) , golongan C (alkohol 20-55%), Minuman Beralkohol tradisional, dan Minuman Beralkohol campuran atau racikan.” (dpr. go. id).  Namun keampuhan RUU tak bisa teruji selama palu belum diketuk.   Sementara payung hukum yang berlaku hingga kini tidak pernah sampai pada pelarangan tapi hanya pengawasan dan pengendalian.  Diantaranya Perpres no.  74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol diikuti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.  Khusus Permendag, meski melarang penjualan minol di minimarket tapi membolehkan untuk dijual di supermarket dan hipermarket dengan harga tinggi.   Selain itu, usia pembeli 21 tahun ke atas juga difasilitasi membeli bir cukup dengan menunjukkan kartu identitas (KTP).

Sungguh ironis.   Terlihat semua upaya penyelesaian masalah terkait miras  justru menimbulkan kerumitan baru.   Itulah yang terjadi kini.  Saat minol tak terjangkau,  jangan heran milos (miras oplosan) jadi marak termasuk miras tradisional seperti tersebut di awal tulisan.  Selain bahan mudah didapat juga harga lebih murah.   Bisa diakses berbagai kalangan usia tak terkecuali anak-anak di bawah umur.  Lantas sampai kapan hal ini dibiarkan?  Belum saatnyakah kita sadar bahwa miras adalah biangnya kejahatan? Dan sekularismelah yang meniscayakan adanya miras? Benarlah sabda Rasul saw yang memperingatkan kita,  “Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barangsiapa yang meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.“(HR.Ath Thabari)

Miras,  Mutlak Haram!

Bertentangan dengan kapitalis-sekularisme,  Islam mendasarkan segala sesuatu pada iman.   Keimanan kepada Allah swt yang wajibul wujud (pasti adanya) mustahil menafikan segala yang datang dariNya.  Yaitu risalah yang dibawa Rasulullah Muhammad saw.  Di dalamnya memuat seperangkat aturan yang siap menuntun manusia menjalani hidupnya di dunia dan meraih kebahagiaan di akhirat.   Sebab kehidupan hanya sementara sedang akhirat kekal adanya.   Maka memperhatikan halal haram wajib kita jadikan panduan demi mencapai keridhoan Allah swt dan jannah di akhir pengembaraan kita di dunia. Semata karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sedang kita tidak.   Termasuk dalam hal minuman keras (khamr). Allah swt berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS.  Al Baqarah:219).  Kemudian secara tegas khamr pun diharamkan.  Firman Allah,  “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maidah:90).  Keharamannya kemudian berlaku mutlak tanpa melihat kadarnya. Dalam kitab Sunan Ibnu Majah, Rasul saw bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram, dan sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”.

Adapun pelaksanaannya bertumpu pada tiga pihak. Individu yang bertakwa,  masyarakat yang peduli dan negara yang bertanggungjawab menjamin aturan terterapkan secara kaffah.  Ketiganya bersinergi menjalankan peran masing-masing.  Bila ada yang kedapatan melanggar,  maka khalifah sebagai kepala negara sigap memberi sanksi yang membuat jera.  Dengan dorongan iman,  negara tak akan memberi celah sedikit pun bagi setiap kemaksiatan seperti miras beredar bebas.   Pada gilirannya keamanan kan terpancar di penjuru negeri. Kemilaunya kan gemerlap menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Wallaahu a’lam.

Wd.  Deli Ana

(Pemerhati Masalah Sosial,  Member Akademi Menulis Kreatif)

  • Bagikan