Miris, Uang Koin di Muna Nyaris Tak Laku Lagi

  • Bagikan
Ilustrasi (Foto: Google)

SULTRAKINI.COM: Ada apa dengan uang koin di Muna? Uang koin pecahan Rp.100, Rp.200 bahkan Rp.500 sudah hampir tak terlihat dalam transaksi jual beli di Pulau Barakati. Bukan saja di Raha bahkan dibeberapa kecamatan di Pulau Muna keadaan yang sama sering di temukan.

Melihat fenomena ini, timbul pertanyaan, apakah uang koin hanya dianggap sebagai pemberat saku pakaian, atau bahkan hanya pantas bermukim dikotak-kotak amal? Jangan-jangan hanya laris ketika orang kena masuk angin saja, lalu uang koin manjur buat kerokan. 

Dalam perenungan yang lain, mungkinkah uang koin kembali jadi mitos bahwa saat di buang di kolam renang yang keramat akan membwa keberuntungan? Ataukah mungkin saja nomimalnya yang terlalu kecil dibanding uang kertas sehingga nasibnya menjadi sangat miris akhir-akhir ini. Iya orang Raha memang sudah “kaya-kaya” sepertinya.

Tulisan ini saya buktikan berdasarkan pengalaman saya ketika pulang ke Raha. Beberapa bulan lalu dalam rangka menghadiri pesta pernikahan, saya menyempatkan diri untuk pulang. Saat hendak berbelanja disalah satu kios yang ada di kota kecil itu, niat saya membeli sabun mandi yang harganya Rp.2000. Dalam melakukan pembayaran saya menggunakan uang pecahan Rp.1000 kertas, pecahan Rp.500 koin, pecahan Rp.200 dua koin serta pecahan Rp.100 koin yang jika dijumlahkan genap Rp.2000, cukup untuk membeli sabun. 

Rupanya penjualnya menyuruh saya menukar uang receh itu dengan uang kertas pecahan Rp.1000 dengan alasan uang receh tak lagi laku. Hal serupa juga terjadi saat saya berkunjung disalah satu tempat wisata yang berada disebuah Kecamatan yang ada di Pulau Muna. Miris, uang yang saya bawah jauh dari perantauan dengan harapan untuk menambah uang jajan malah tak lagi laku di kampung halaman saya.

Ada apa dengan uang koin di Pulau Barakati? Padahal dalam Undang-undang UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan bahwa mata uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. 

UU ini nampaknya hampir tak berlaku di Pulau itu. Keberadaan uang koin telah terpinggirkan. Padahal dalam pasal 21 UU tentang Mata Uang dijelaskan, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.

Sementara pada pasal 23, mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah. Apabila seseorang menolak untuk menerima rupiah setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran maka akan dikenakan sanksi sesuai pasal 33 UU No 7 tahun 2011 berupa kurungan satu tahun dan denda Rp200 juta.

Tak berlakunya uang koin maka konsekuensinya bukan hanya soal kedaulatan, tapi jauh lebih dari itu. Misalnya seseorang membeli mie instan yang harganya Rp.2.500, tetapi karena uang koin Rp.500 tidak digunakan maka konsumen akan membayar Rp3.000. Jika kebiasaan ini terulang dan meluas maka dampaknya pada inflasi di daerah tersebut. Hal ini sama saja ada kenaikan harga barang, ketika jumlah nilai uang yang beredar lebih besar dari pada barang. 

Melihat masalah ini yang juga terjadi diberbagai daerah di Indonesia, BI sampai mengadakan kampanye Gerakan Peduli Uang Koin, namun keevektifannya belum optimal. Untuk itu kesadaran masyarakat dalam menghargai uang koin juga harus ditingkatkan. Masyarakat harus menyadari dan menghormati bahwa uang koin adalah bagian dari Rupiah yang juga sebagai alat tukar dalam transaksi jual beli yang sah berlakunya. Mengingat setiap Rupiah adalah simbol kedaulatan Negara dan untuk mencegah terjadinya inflasi di Kabupaten Muna.

Penulis: Muhammad Salman Saliha, (Mahasiswa Universitas Janabadra Yogyakarta, Jurusan Ilmu Hukum. Alamat di Raha: Jl. Paelangkuta No. 40, Alamat di Jogja: Jl. Timoho 2 Gang Alamanda no. 237a (Asrama Muna Yogyakarta)

  • Bagikan