Mooryati Soedibyo: Anak Muda Saat Ini Perlu Belajar Sejarah Melalui Film

  • Bagikan
Mooryati Soedibyo, Ilustrasi Foto: tabloidbintang.com
Mooryati Soedibyo, Ilustrasi Foto: tabloidbintang.com

SULTRAKINI.COM: Film bertemakan sejarah bukan hal baru di industri perfilman Indonesia. Dalam film Sultan Agung salah satunya: tahta, perjuangan, cinta yang berkutat pada kehidupan Raja Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Mooryati Soedibyo, eksekutif produser sekaligus penulis skenario film Sultan Agung, mengatakan bahwa generasi anak muda saat ini perlu belajar sejarah melalui film. Hal itu dikatakan Mooryati saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/11/2018) dikutip dari Kompas.com.

“Anak-anak sekarang senangannya film tentang apa? Cinta. Tapi milenial perlu belajar sejarah. (Film Sultan Agung) mengandung edukasi, pendidikan yang luar biasa. Sekarang pun masih digunakan,” kata Mooryati.

“Melindungi bangsa dan negara untuk bisa Bhineka Tunggal Ika itu diperlukan. Itulah yang saya inginkan. Kan sekarang remaja senangnya (film) ada cintanya. Jadi tahta perjuangan dan cinta. Ini merupakan sebuah hal yang penting untuk diliat anak-anak masa kini,” sambungnya.

Diketahui Mooryati meraih piala Festival Film Bandung 2018 kategori penulis skenario terpuji dalam film Sultan Agung di usia 90 tahun. Cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X Keraton ini berharap keterlibatannya membuat film Sultan Agung bisa diteruskan oleh pembuat film Indonesia dengan memproduksi film-film bersejarah.

Sementara itu, Sutradara Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta, Hanung Bramantyo, mengatakan film bertemakan sejarah tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Alasannya, film bertemakan sejarah biasanya tetap terselip unsur fiksi meski cerita utamanya berdasarkan kehidupan nyata.

Hanung mencontohkan, film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta ditunjang dengan berbagai riset mendalam mengenai kehidupan sosok Raja Mataram yang memiliki nama asli Sultan Agung Hanyokrokusumo. Meski berdasarkan riset mendalam, tidak semua elemen yang tampil dalam film ini adalah fakta.

Meski begitu, film tersebut bukan berarti tidak memiliki peran sama sekali dalam mengedukasi masyarakat mengenai sejarah. Hanung mengatakan film ini memiliki fungsi memperkenalkan dan mengingatkan generasi-generasi muda mengenai keberadaan dan peran tokoh-tokoh bersejarah di masa lalu yang mungkin luput dari perhatian.

“Bioskop (film) itu menjadi pemicu orang-orang belajar sejarah lebih dalam lagi, itu poinnya,” terang Hanung, dikutip dari Republika.co.id.

Dalam film ini, Gelar Sultan Agung Hanyakrukusuma disandang Raden Mas Rangsang tepat selepas ayahnya, Panembahan Hanyokrowati wafat. Bukan perkara mudah baginya menggantikan peran sang ayah, terlebih saat itu ia masih remaja.

Tokoh Sultan Agung digambarkan sebagai sosok yang ambisius dan kejam dalam literatur Belanda, salah satunya karena keputusannya menyerang Batavia.

Sultan Agung memiliki tugas besar, yakni harus menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa yang tercerai-berai oleh politik VOC yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen di bawah panji Mataram.

Di sisi lain, hati Sultan Agung tak lepas dari pergolakan. Ia harus mengorbankan cinta sejatinya kepada Lembayung (Putri Marino) dengan menikahi perempuan ningrat (Anindya Kusuma Putri) yang bukan pilihannya. Tentu bukan perkara gampang bagi Sultan Agung menerima perempuan ningrat tersebut.

Sultan Agung mengibarkan Perang Batavia sampai meninggalnya Coen dan runtuhnya benteng VOC. Dalam perjuangan ini, ia juga harus menghadapi berbagai pengkhianatan. Menjelang akhir hidupnya, Sultan Agung menghidupkan kembali padepokan tempatnya belajar, melestarikan tradisi, dan karya-karya budaya Mataram.

Film berdurasi 148 menit tersebut diperankan sederet aktor dan aktris ternama Indonesia, seperti Ario Bayu, Marthino Lio, Adinia Wirasati, Putri Marino, Lukman Sardi, Teuku Rifnu, Anindya Putri, Putri Marino, dan Christine Hakim.

Dari berbagai Sumber

Laporan: Saswita

  • Bagikan